Sabtu, 01 Mei 2010

Teori Konflik: Studi Perdamaian

Prolog : Antara Konflik Makro & Mikro

Bahasan mengenai konflik dan teori mengenai konflik merupakan suatu bahasan tersendiri yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai sebuah obyek ontologis. Mengapa kajian mengenai konflik menurut subyektifitas saya sebagai penulis sangat menarik? Karena jika kita berbicara mengenai konflik, itu berarti kita akan memasuki dua dimensi konflik, yaitu dimensi konflik makro dan mikro[1]. Dua dimensi ini berbicara dalam ranah ontologi yang berbeda. Ketika dengan pendekatan mikro kita menganalisis sebuah konflik, maka lingkup ontologisnya adalah ranah psikologi. Sedangkan jika kita menganalisis sebuah masalah dalam dimensi makro, maka pendekatan-pendekatan yang kita lakukan akan cenderung bersifat sosiologis. Dalam ranah mikro, konflik selalu berbicara mengenai bagaimana konstruksi pemikiran seseorang dapat menjadi sumber konflik bagi dirinya sendiri, dimana terjadi banyak pertentangan pertentangan yang hanya dapat dianalisis melalui pendekatan analisis psikologi atau psikoanalisis. Sedangkan dalam ranah makro, lebih menekankan pada dinamika struktur sosial dimana interaksi antar individu dapat menyebabkan konflik.

Berbagai argumen mengenai apakah pendekatan makro dan mikro dapat terintegrasikan dalam satu bahasan pun menjadi suatu perdebatan yang panjang. Salah satu scholar menyampaikan dalam tulisannya bahwa jika kedua dimensi konflik ini dikaji secara bersamaan dengan pendekatan kasuistik yang sama maka akan menjadi tidak absurd dan rasional. Dalam dimensi mikro, keadaan psikologis seseoranglah yang determinan apakah sikap atau behaviour orang tersebut konfliktual atau tidak (hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor dalam konstruksi psikologis dan pemikiran orang tersebut). Jika ditarik garis, kondisi personal (mikro) seseorang dikorelasikan dengan masyarakat atau society maka secara tidak langsung akan merambah pada ranah makro, karena berhubungan dengan society[2]. Dalam ranah makro, jika dihubungkan dengan state dan individu pemegang inti decision making process sebagai aktor dari dimensi mikro, maka menurut Alex Thio, dalam pendekatan sosiologis, keadaan psikologis seseorang tersebut akan mempengaruhi kebijakan yang diambilnya, meskipun melalui konsensus bersama, tetapi tetap pada final decision making bergantung pada satu individu pemegan inti kebijakan, dan hal ini sangat bias personal.

Evolusi Teori Konflik

Berbicara mengenai evolusi-evolusi dalam teori konflik, Dr. Günther Ossimitz mengemukakannya lebih dalam pada penekananya terhadap bagaimana perubahan-perubahan konflik dan evolusi yang ada diindikasikan lewat bagaimana konflik tersebut dapat diselesaikan. Dalam artikelnya yang berjudul The Evolution of Conflicts, Dr. Günther Ossimitz menyatakan bahwa ada enam tahapan evolusi penyelesaian konflik[4]. Yang pertama adalah escape. Opsi melarikan diri adalah opsi yang paling tradisional jika seseorang ingin terhindar daripada suatu konflik. Permasalahan utamanya adalah bahwa jika seseorang memilih opsi melarikan diri dari sebuah konflik maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah suatu problemsolving tetapi lebih cenderung pada avoidance dimana konflik yang dihadapi suatu individu yang melarikan diri tersebut tidak benar-benar terselesaikan. Dalam hal ini Peter Senge mengutarakan “The main disadvantage of escape is that the conflict is just avoided, not really solved or even addressed. A modern variant of this habit to avoid painful confrontations is a strategy which has been coined ‘shifting the burden’”[5]. Yang kedua adalah destruction. Konsepsi mengenai destruction berbicara mengenai bagaimana dalam menghadapi konflik yang terjadi dalam suatu interaksi adalah dengan cara menghancurkan aktor oposisi biner yang kita hadapi. Hal ini muncul dari perkembangan pemikiran sebelumnya yang adalah escape. Konsep destruction ini muncul ketika individu yang terlibat dalam suatu konflik merasa bahwa konsep melarikan diri tidak dapat digunakan terus menerus, dan harus ada penyelesaian terhadap konflik tersebut dengan cara menyingkirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dengan individu tersebut. Yang ketiga adalah submission. Konsep mengenai submisi adalah suatu konsep yang lebih modern, dimana pihak yang menang tidak semerta-merta mendestruksikan pihak yang kalah, tetapi pihak yang menang ini enslave pihak yang mengalami kekalahan demi kemajuannya sendiri. Kemudian adalah delegation. Konsep pendelegasian pihak ketiga ini adalah sebuah konstruksi pemikiran yang lebih moderen bagi “mereka” yang sangat menjunjung tinggi nilai kooperasi liberalisme dan neoliberalisme. Dengan adanya delegasi dari pihak ketiga yang netral, maka kepentingan dari dua pihak yang berkonflik akan diupayakan untuk dapat terselesaikan dengan hasil yang tidak destruktif maupun submisif, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hasil yang disampaikan oleh pihak ketiga adalah destruktif atau submisif. Selanjutnya adalah compromise. Compromise atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kompromi adalah tahapan selanjtnya dari evolusi (resolusi) konflik yang merupakan suatu perjanjian antara pihak yang saling terlibat konflik dengan cara menegosiasikan kepentingannya agar konflik dapat terselesaikan dengan cara yang ideal yaitu win-win.

Berikutnya adalah suatu tingkat mutakhir dari artikel Dr. Günther Ossimitz, yaitu konsensus. Konsensus adalah satu langkah lebih utopis dari compromise karena dalam konsensus terbentuklah suatu kesepakatan bersama yang tingkat kepuasannya melebihi terminologi compromise.

Arguments of Violence, Peace, & Peace Research

Argumen mengenai kekerasan atau violence dikemukakan oleh Johan Galtung. Johan Galtung adalah seorang aktivis yang sangat banyak merumuskan konsep-konsep peacemaking­-nya dalam artikel-artikelnya, salah satunya yang paling terkenal adalah Violence, Peace, Peace Research. Dalam argumennya mengenai kekerasan, Galtung mengatakan bahwa dasar (basis, bukan faktor) adalah structural violence. Dalam hal ini Galtung mendeskripsikan structural violence sebagai berikut widely defined as the systematic ways in which a regime prevents individuals from achieving their full potential. Institutionalized racism and sexism are examples of this.”[6] Selain itu Galtung juga berkontribusi dalam konsepsinya akan terminologi perdamaian. Menurut galtung, dalam terminologi perdamaian ada dua sub-terminologi didalamnya yaitu positive peace dan negative peace. Terminologi positive peace dapat dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Sedangkan terminologi negative peace diartikan oleh Galtung sebagai absennya konflik. Baik konflik yang bernuansa kekerasan atau tidak.

Terminologi mengenai Peace Research juga muncul dalam jurnal Galtung sebagai alat untuk menemukan inovasi-inovasi baru mengenai peace building dan resolusi konflik. Berbagai penulis juga mengkonfirmasikan pernyataan Galtung melalui tulisannya bahwa peace research mengkonfrimasi akan inovasi-inovasi terbaru dalam terminologi resolusi konflik[7], dengan demikian harapan idealisme dan utopisme akan terbentuknya suatu sistem global yang damai lama-kelamaan dengan munculnya orang-orang seperti Galtung, mengindikasikan bahwa sebenarnya impian kooperasi dari idealisme orang-orang liberalisme bukanlah hal yang absurd dan irasional. Tetapi lebih menekankannya pada proses dimana konflik, sebenarnya dapat dipelajari secara obyektif dengan pendekatan yang non-interestual. Dengan demikian akan menghasilkan banyak alternatif-alternatif sesuai dengan perkembangan evolusi teori konflik dan resolusinya, dan bagaimana peran peace research untuk terus berupaya untuk menemukan inovasi-inovasi dalam proses resolusi konflik.

Bibliografi:

Dougherty, James E. & Robert Platzgraff. (1986). Contending Theories of International Relations: a Comprehensive Survey. New York, Longman

Yazid, Muhammad, Konflik dan perubahan Sosial, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-25.html diakses pada 5 Mei 2009

Thio, Alex. (2009), Sociology A Brief Introduction, Pearson.

http://wwwu.uni-klu.ac.at/gossimit/ifsr/evolconf.pdf Diakses pada 5 Mei 2009

M Senge, Peter. (1990): The Fifth Discipline: the Art and Practice of the Learning

Organization (1st ed) New York: Doubleday

Galtung, Johan. (1969), Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 167-191

De Wall, Frans B. M. (2000). Primates––A natural heritage of conflict resolution. Science 289: 586-590



[1] James E. Dougherty & Robert Platzgraff Jr. 1986. Contending Theories of International Relations: a Comprehensive Survey. New York, Longman

[2] Muhammad Yazid, Konflik dan perubahan Sosial, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-25.html diakses pada 5 Mei 2009

[3] Alex Thio. 2009. Sociology A Brief Introduction, Pearson.

[4] http://wwwu.uni-klu.ac.at/gossimit/ifsr/evolconf.pdf Diakses pada 5 Mei 2009

[5] Peter M Senge. 1990: The Fifth Discipline: the Art and Practice of the Learning

Organization (1st ed) New York: Doubleday

[6] Johan Galtung. 1969. Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 167-191

[7], Frans de Waal B. M. 2000. Primates––A natural heritage of conflict resolution. Science 289: 586-590

Tidak ada komentar:

Posting Komentar