Senin, 03 Mei 2010

Konstruktivisme: Jembatan Antara Realisme dan Liberalisme Strukutral. Dekonstruksi Konsep Anarki

Prolog
Teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang unik. Teori ini disebut sebagai teori yang unik karena “ontologi yang sebenarnya” dari teori ini adalah konstruksi pemikiran manusia. Von Glaserfed mengasumsikan bahwa konstrukivisme adalah sebuah filsafat manusia yang emphasize bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi pemikiran manusia. Jadi singkat kata, pengetahuan yang dipandang oleh kebanyakan orang sebagai “acuan” dan bersifat obyektif, maka menurut Glaserfeld, pengetahuan itu bersifat subyektif yang berasal dari subyektifitas dan konstruksi pemikiran manusia penanam nilai-nilai normatif dalam sebuah “pengetahuan”[1]. Teori konstruktivisme banyak memiliki obyek kajian yang sangat berkaitan dengan bagaimana sugesti dari pemikiran setiap manusia itu begitu kuat dan hal ini dapat menyebabkan nilai-nilai positif tersendri dan menciptakan modernitas didalamnya[2].
Terminologi teori konstruktivisme pertama kali, secara umum diketahui bahwa digunakan oleh seorang psikolog bernama Jean Piaget. Jean Piget terkenal dengan kontribusinya pada teori konstruktivisme dalam terminologi “adaptasi kognitif”. Bagi Piget, konstruksi pemikiran manusia itu pada dasarnya sama dengan organisme-organisme yang ada didunia ini yang in case ingin bertahan hidup, maka perlu adaptasi didalamnya. Piglet menganalogikan sistem adaptasi ini kedalam konstruksi pemikiran manusia.
Lantas apa hubunganya dengan teori hubungan internasional? Adakah koherensi antara pengertian konstruktivisme secara umum dengan aplikasinya terhadap teori Ilmu Hubungan Internasional? Untuk mengetahui koherensi antara konstruktivisme dengan Ilmu Hubungan Internasional, perlu kita lihat kajian teoritis mengenai perdebatan realis dengan liberalis akan konsep “sistem internasional yang anarki”. Jika ditarik suatu pemikiran konstruktivis dari konsep tersebut maka ada suatu tesis dan postulat yang menarik seperti yang diungkapkan oleh Alexander Wendt yang menyatakan bahwa konsep mengenai sistem anarki internasional adalah “sesuatu” yang dibuat oleh aktor negara. Maka dari itu, berhubungan dengan teori-teori Ilmu Hubungan Internasional, terutama (neo)realis dan (neo)liberalis, akan dielaborasi lebih lanjut mengenai konsep pemikiran konstruktivisme dalam ranah Hubungan Internasional dan peran rasionalisme dalam “tuaian” kritik yang didapatnya sehingga konstruktivisme menjadi teori yang begitu populer bagi obyek ontologi Ilmu Hubungan Internasional

Overview Konstruktivisme dan Rasionalisme
Berbicara mengenai konstruktivisme tidak lepas dari bagaimana perkembangan konsep akan pemikiran-pemikiran konstruktivisme yang lahir dari kritiknya terhadap rasionalisme. Realisme dan liberalisme sama-sama setuju bahwa teori dan konsep rasionalisme adalah sebuah disposisi teoritis yang dimana interaksi negara secara interasional dapat dijelaskan. Maka dari itu, kedua teori ini (realisme dan liberalisme) “mengamini” pernyataan rasionalis bahwa sistem internsional yang anarki lah yang mendeterminasi perilaku dari negara. Singkat kata, rasionalisme adalah suatu terminologi yang menjadi suatu teori yang overlaps antara realisme dan liberalisme[3]. Hal inilah yang menjadi obyek kritik dari teoritisi konstruktivisme. Konstruktivisme mengkritik hal ini “habis-habisan” terutama dalam sistem anarki yang ditawarkan oleh rasionalisme. Kritik terhadap rasionalisme inilah yang akhirnya memunculkan suatu “jembatan” dalam perdebatan panjang antara realisme dan liberalisme dalam ranah sistem anarki internasional. Konstruktivisme menawarkan suatu alternatif konsep yang cukup “mengguncang” keadaan psikologi dari dua kelompok ini (realisme dan liberalisme, yang tergabung dalam satu pemikiran “rasionalisme” menurut orang-orang konstruktivis)[4]. Berikut ini adalah tabel pemebda antara pembahasan konstruktivisme dan rasionalisme
Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
- Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
- Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
- Menekankan pentingnya kekuatan Ide
- Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
- Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”

- Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
- Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
- Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
- Menekankan pentingnya kekuatan materi
- Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
- Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan materi dan hasil
- Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
- Struktur dan intersubyektivitas
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
- Individual-centrism
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
- Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI
-
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
- Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-
Sumber : Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37. Diambil dari :

http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html

Argumen via Media Realisme dan Idealisme: Anarchy Is What State Make Of It.
Dalam perkembangannya, sebagai suatu teori yang dominan dalam kajian studi Ilmu Hubungan Internasional, baik realisme dan liberalisme percaya bahwa sistem internasional itu bersifat anarki[5]. Baik secara struktural (neorealisme & neoliberalisme) ataupun tidak. Bagi pemikir konstruktivis, pernyataan ini hanyalah sebuah justifikasi belaka dari dua kalangan rasional ini, baik liberal maupun realis. Berbeda dengan pemikiran (neo)liberal dan (neo)realis yang berasumsi bahwa sistem internasional yang anarki lah yang menjadi faktor determinan bagi sikap suatu negara. Dalam asumsi neoliberal (yang berbau ideal), sistem anarki internasional adalah suatu sistem yang bersifat “memaksa” negara-negara dibawah sistem interansional itu saling berkooperasi dan bekerjasama berdasarkan prinsip interdependensi. Sedangkan asumsi (neo)realis adalah sistem anarki internasional bersifat konfliktual dan sekali lagi “memaksa” negara-negara dibawah sistem anarki internasional untuk saling bersifat agresif-preventif agar dapat survive dalam sistem internasional yang anarki. Sebenarnya asumsi inilah yang menjadi landasan pemikiran konstruktivis dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional. Menanggapi asumsi dari (neo)realis maupun neoliberalis, konstruktivisme hampir sama dengan asumsi awal konstruktivisme yang diungkapkan Von Glaserfeld, berasumsi bahwa, terminologi sistem internasional yang anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) dikonstruksikan oleh “keadaan psikologis” negara itu sendiri. Artinya adalah bagaimanapun sifat sistem internasional itu, baik konfliktual maupun kooperatif, hal tersebut terdeterminasikan oleh bagaimana cara state atau negara itu bertindak. Tentunya hal-hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan psikologis dari setiap negara. Dalam hal ini, Alexander Wendt memiliki versi dari konstruktivisme yang lebih radikal, yaitu konstruktivisme yang juga mengkritik asumsi konstruktivisme “reguler” yang menyatakan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”. Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”[6]

Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor[7]

Dari semua ekspalanasi yang ada, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konstruktivisme menjadi sebuah pemikiran dan paradigma yang populer dikalangan akademisi Ilmu Hubungan Internasional akibat keunikannya dalam memberikan terobosan dalam mengkrtitik kerangka berpikir baik dari rasionalisme, realisme, dan liberalisme. Dengan adanya suatu konsepsi baru mengenai konsep sistem internasional yang anarki menyebabkan lahirnya suatu breakthrough bagi pemikiran yang terkotakkan oleh liberalisme dan realisme. Akibat breakthrough yang dilakukan oleh konstruktivisme, lahir beberapa pemikiran seperti modernisme, postmodernisme, dan teori-teori mengenai gender[8]. Dengan sikap yang seperti “menjembatani” antara realis dan neoliberal dalam konsep sistem anarki internasionalnya, konstruktivisme memposisikan dirinya berada diantara neoliberalisme dan realisme, dengan demikian konstruktivisme dapat juga disebut sebagai suatu teori yang bersifat alternative theory.

[1] Ernst von Glasersfeld (1987) The construction of knowledge, Contributions to conceptual semantics. W Norton & Co Incorporated. 1st edition
[2] Slezak Peter. (2000) "A Critique of Radical Social Constructivism", in D.C. Philips, (ed.) 2000. Constructivism in Education: Opinions and Second Opinions on Controversial Issues. The University of Chicago Press.
[3] Andrew Linklater, (1996), Rationalism. Theory of International Relations. Macmillan Press Ltd. London
[4] Walter Kaufmann (2008). From Plato to Derrida. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall
[5] Robin Mandagie (2009). Realisme dan Neorealisme: Paham Dominan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Jurnal minggu ke-1 mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.
[6] Alexander Wendt (1992). Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics.
[7] Maja Zehfuss, (2002), “Constructivism in International Relations : The Politics of Reality”, Cambridge University Press, Cet.
[8] http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html diakses pada 12 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar