Jumat, 08 April 2011

Otoritas Global demi Keberlangsungan Global: Kajian Teleologi Terhadap Global Sense of Survival

Robin Riwanda Mandagie



Salam damai



Sudah beberapa bulan ini saya menganggur tidak bersentuhan sama sekali dengan yang namanya tulisan dan jurnal ilmiah dalam bidang studi yang saya tekuni selama 3,5 tahun ini, yakni Hubungan Internasional. Tangan terasa nyeri ketika tidak ada beberapa frase sedikitpun yang dapat saya tuangkan dalam bentuk tulisan-tulisan ke-galau-an (menggunakan istilah populer dikalangan ABG) pemikiran saya yang terus-menerus menjadi final cause dalam kehidupan ber-akademis saya selama ini.

Ya, Hubungan Internasional. Kali ini saya sedikit bebas menulis karena tidak terikat oleh aturan-aturan moderen dalam tata cara penulisan ilmiah. I am being myslef, dan being myself ini sangat saya butuhkan dalam menuangkan pemikiran-pemikiran yang saya pendam selama ini.

Bidang studi apapun, pemikiran apapun, atau agama apapun tidak bisa tidak memiliki sebuah final cause yang sama, global, dan holistik, yang adalah salah satu sub-sistem dalam filosofi humanisme. Yaitu survival. Ketika sense of survival ini muncul sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, maka elemen-elemen yang ada didalam diri manusia tidak dapat tidak dipengaruhi oleh survival sebagai natural sense dari manusia. Agama contohnya mengajarkan orang untuk berbuat baik, mendapatkan banyak pahala, dengan iming-iming apa? Tentu dengan iming-iming afterlife survival. Entah liberalisme atau marxisme, entah ilmu eksak atau ilmu sosial, modernisme atau posmodernisme, semuanya muncul dan ada karena final cause yang tidak terelakkan ini. Sense of survival.

Masuk dalam bahasan area of expertise saya sebagai seorang penstudi Hubungan Internasional, maka saya akan membawa sense of survival ini ke ranah hubungan antar bangsa. Hubungan antar bangsa, atau lebih tepatnya hubungan antar negara bangsa menjadi sebuah sistem hubungan yang memiliki pola moderen ketika negara bangsa menjadi sistem yang baku sejak perjanjian Westphalia pada tahun 1648, yang dalam perkembangannya sistem negara bangsa ini berdampak besar pada lahirnya aliran realisme dan turunannya neo-realisme yang secara garis besar menekankan bahwa hubungan internasional adalah hubungan antar negara-negara nyang berdaulat, yang mana pilihan-pilihan yang rasional-lah yang men-drive suatu negara dalam membentuk pola interaksinya dengan negara lain. Dalam ranah pola hubungan antar negara, disinilah letak sense of survival­-nya, bagaimana suatu negara dengan negara lainnya saling berinteraksi demi memenuhi kepentingan-kepentingan survival mereka, entah dengan ber-poker face dengan gaya liberal dan neo-liberal, berhati-hati seperti gaya realis, atau terlalu jujur seperti seorang neokonservatif, dalam ranah sense of survival, secara teleologis, tidak membedakan antara realis, liberal, dan neokons, karena final cause mereka sama.

Sudah jelas sebelumnya bahwasannya sense of survival lah yang membentuk pola interaksi negara bangsa, sebagaimana negara bangsa itu terbentuk. Ya, jika anda membaca tulisan-tulisan Hobbes dan Locke tentang kontrak sosial, maka anda akan mengetahui bahwasannya negara bangsa terbentuk oleh karena ketakutan mereka-mereka yang tergabung sebagai warga negara pada kondisi sebagaimana yang dikatakan oleh Hobbes (1651) sebagai State of Nature, sebuah keadaan dimana situasi dan kondisi yang ada adalah liberalisme absolut, dimana anarki dan chaos memenuhi realm dari state of nature ini. Sebuah keadaan tanpa hukum ataupun tatanan tertentu, yang kuat-lah yang menang. Maka dari itu, didorong oleh sense of survival (yang tentu tidak hanya dipikirkan oleh mereka yang kuat tetapi juga yang lemah), secara kolektif mereka-mereka ini, tidak peduli yang kuat atau yang lemah mengkonstruk sebuah sistem yang berlandaskan kolektivisme individu, yaitu sebuah negara bangsa, dimana kedaulatan-kedaulatan privat yang mereka miliki dalam keadaan liberalisme absolut dalam kondisi state of nature, harus diserahkan pada suatu pihak yang dapat mereka tentukan secara konsensus (demokrasi), atau berdasarkan bloodline (monarki), atau bahkan divine mandate (teokrasi). Faktor-faktor inilah yang membentuk suatu tatanan negara bangsa yang memiliki order, lengkap dengan kedaulatan penuh yang didaptkan dari kedaulatan-kedaulatan individu didalamnya. Lantas yang jadi pertanyaan? Mengapa mereka mau membagi atau bahkan menyerahkan kedaulatan mereka seutuhnya pada sistem yang lebih besar? Tidak lain, dan tidak bisa tidak oleh karena final cause itu tadi, sense of survival.

Lantas bagaimana dengan sistem yang ada diatas negara bangsa? Yaitu sistem interaksi antar negara bangsa secara global? Tidak ada otoritas yang dapat mengekang negara-bangsa bukan? Karena segala sesuatu dikendalikan oleh pilihan rasional setiap negara. Maka ijinkan saya menggunakan term state of nature pada sistem interaksi antar bangsa yang ada. Selama beberapa dekade, atau bahkan abad ini, sistem negara bangsa terbukti sebagai sistem yang paling prevailing dalam lini evolusi struktur politik internasional. Oh apakah sistem politik internasional berevolusi? Tentu saja, kondisi state of nature dan aksi kolektif untuk menyelesaikan kondisi ini tidak hanya sekali terjadi ketika ada pemisahan otoritas antara negara dan gereja di Westphalia pada tahun 1648. Tetapi terjadi secara gradual sejak manusia itu ada sebagai suatu entitas. Mulai dari tribalisme, warlordisme, sistem kerajaan, prefektur, dan bahkan kekaisaran, hingga menuju sistem negara bangsa, dan hal ini menunjukkan dengan jelas bahwasannya sense of survival sebagai penggerak dan cause utama dari society of human untuk terus mengintegrasikan diri dan komunitasnya pada suatu tatanan yang lebih besar. Sejak manusia lahir sebagai suatu mahkluk hidup, hal ini terjadi. Inilah nature dari manusia. This is human nature.

Lantas mengapa kita masih terus menafikan suatu pemerintahan dunia tidak akan pernah terbentuk? Label pemimpi, euiforis, dan bahkan irasionalis terkadang sering dilabelkan pada kami orang-orang yang bermimpi, bahwa suatu saat pertikaian akah berakhir atau bahkan diminimalisir pada sistem yang berlaku secara global. Perlu diakui bahwasannya suatu tatanan atau sistem yang lebih tinggi tidak akan terbentuk jika tidak ada ancaman dalam sistem tersebut. Tidak akan warlordisme tanpa ancaman di sistem tribalisme. Tidak akan ada sistem kerajaan jika tidak ada ancaman di sistem warlordisme, tidak ada sistem pembagian kekuasaan secara prefektur dalam sistem kekaisaran jika tidak ada ancaman pada sistem kerajaan, dan tidak akan pernah ada sistem negara bangsa jika, otoritas-otoritas yang tumpang tindih antara kerajaan, prefektur, kekaisaran, otoritas agama, mengancam sistem yang ada pada pra-Westphalia. Jika demikian apa ancaman bagi sistem negara bangsa yang sejak 1648 sampai sekarang terbukti sebagai suatu sistem yang paling “kokoh” bertahan? Banyak sekali, dan ini bisa dijabarkan dalam beberapa realm dan kerangka pemikiran (dan akan jadi satu Skripsi atau Thesis jika dijabarkan secara komprehensif ;p)

Mulai dari ancaman terhadap peran negara bangsa yang mulai mendapatkan “angin” kontestasi dari beberapa aktor non-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam kajian Hubungan Internasional. Peran multinational corporations (MNCs) yang semakin ekstensif. Pergeseran-pergesran dan konflik kin belonging yang melibatkna perasaan-perasaan non-rasional negara sebagaimana negara seharusnya bertindak, ambigutias otoritas yang terjadi tidak secara lokal, tetapi transnasional, dan berbagai macam lagi. Jika akhirnya negara-negara terintegrasi pada suatu sistem yang lebih besar maka lini nya tidak akan beda jauh dengan integrasi aktor-aktor politik (entah individu atau komunitas) pada era pra-Westphalia. Jika melihat pengalaman-pengalaman linin evolusi struktur politik sebelumnya, integrasi negara bangsa ke sistem yang lebih besar sama sekali tidak mustahil. Justru sangat lumrah adanya, karena entitas-entitas politik yang ada sebelumnya melakukan hal yang sama.

Hal tersebut masih dalam ranah wacana pergeseran fungsi negara bangsa, belum wacana-wacana lainnya. Saya jadi teringat ketika saya menyampaikan ide-ide dan pemikiran saya ini di kelas Globalisasi dan Strategi. Seketika itu juga dosen saya mengatakan “Tidak akan ada pemerintahan dunia kecuali ada beberapa hal yang mengancam eksistensi manusia secara keseluruhan, seperti serangan Alien dari luar angkasa barangkali” seketika itu juga suasana kelas pecah, gemuruh tawa mengglegar di seluruh ruangan kelas oleh karena pendapat dosen saya yang cukup unik dan menggelitik itu. Mungkin beberapa orang begitu mendengar perkataan dosen saya itu akan langsung berpikir mengenai dongeng-dongeng sci-fi seperti Star Trek, Star Wars, ataupun Mass Effect Series, dimana pemerintah-pemerintah yang ada diseluruh belahan bumi terintegrasi secara supranasional demi melawan ancaman ekstraterestrial dari ras non-manusia. Tentu hal tersebut tidak mustahil tetapi terlalu berlebihan jika Alien masuk dalam wacana kajian Hubungan Internasional. Tidak perlu berpikir sampai ranah ekstraterestrial untuk menemukan ancaman yang berdampak secara holistik bagi seluruh umat manusia. Ancaman itu adalah keberlangsungan umat manusia diatas bumi ini.

Akhir-akhir ini sering kita dengan gerakan-gerakan sosial seperti green movement, yang mengkampanyekan bahwa hidup Bumi akan terancam jika manusia tidak memperbaiki polah kehidupannya yang sangat ekstraktif terhadap hasil-hasil bumi. Ancaman ini dinilai oleh komunitas internasional sebagai ancaman serius maka dari itu secara kolektif negara-negara bangsa berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tetapi dari beberapa konvensi yang digelar sampai yang terakhir di Cancun, Mexico tidak membuahkan hasil yang signifikan. Negara-negara bangsa tetap dengan kekeuh mempertahankan national interest-nya tanpa ada rasa kepedulian sedikitpun terhadap negara-bangsa lain. Sense of survival? Yes it is, but not in a bigger picture. Permasalahan yang dihadapi oleh UNFCCC selalu sama, bagaimana pembagian alokasi carbon trading dan dapat ditebaki, bahwa yang selalu ada diatas angin dalam carbon trading itu justru adalah negara-negara penghasil karbon terbesar yang mana jika mereka mengurangi emisi karbonnya beberapa persen saja, maka dampaknya pada perekonomian dunia akan terasa cukup signifikan. Hal inilah yang membuat UNFCCC masih berada dalam “kesuraman”. Carbon trading jadi seperti state of nature dimana negara yang memiliki posisi tawar yang paling kuat dialah yang menang. Benar-benar liberalisme yang absolut.

Berbicara mengenai sense of survival negara-negara bangsa harus sadar bahwasannya ada matter of survival yang lebih besar daripada national interest yang saling mereka adu di UNFCCC, khususnya carbon trading forum. Permasalahan tentang pemanasan bumi lebih serius dan berbahaya dari serangan Alien. Manusia harunsya sadar akan hal ini. Mereka membutuhkan otoritas diatas negara yang dapat secara coersive memaksa negara-negara bangsa by any means neccesary untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku, demi keberlangsungan bersama sebagai mahkluk hidup. Karena sense of survival, inilah final cause kita, inilah nature kita, sebagai manusia, yang tentu juga dengan dapat diterapkannya suatu pemerintan global yang memainkan peranan otoritas global, dapat meminimalisir, atau bahkan menghentikan pertikaian dimanapun manusia berada.



Amin.