Minggu, 09 Mei 2010

Ancaman Terhadap Entitas Negara Melalui Globalisasi Ekonomi: Dapatkah 5 Tesis Hiperglobalisasi Dipertangguhkan? Review Artikel Globalization's Impact

Ancaman Terhadap Entitas Negara Melalui Globalisasi Ekonomi:
Dapatkah 5 Tesis Hiperglobalisasi Dipertangguhkan?
Review Artikel Globalization's Impact on State oleh Colint Hay
Robin Riwanda Mandagie

Silogisme antara globalisasi dengan negara-bangsa atau yang biasa disebut oleh akademisi Hubungan Internasional sebagai nation-states memiliki term perdebatan yang luas dalam realm diskurusus Hubungan Internasional. Meskipun sebagian besar orang berpendapat bahwa globalisasi mengancam entitas negara-bangsa, dalam artikel Globalization's Impact on States yang ditulis oleh Colin Hay memiliki sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Dimana sisi perbedaanya? Review artikel ini berusaha untuk mengeskposisikan sudut pandang tesis hiperglobalisasi yang dikritik oleh Colin Hay, argumentasi Colin Hay, dan juga review ini akan memberikan paradigma solutif terhadap posisi dan preposisi Colin Hay.

Colin Hay dalam menyampaikan argumentasinya mengenai efek globalisasi ekonomi terhadap entitas nation-states berlandaskan pada argumen dan tesis hiperglobalis mengenai tidak diperlukannya negara pada sistem yang globalized. Tesis hiperglobalisasi ini antara lain adalah, bahwa capital (modal) hanya mau berinvestasi pada situasi dan kondisi dimana investasi yang ditanam dapat mengembalikan modal beserta dengan keuntungannya, kedua oleh karena pasar untuk komoditas barang dan jasa telah terintegrasi secara global, dan konsekuesninya adalah kondisi dan sirkusmtansi perekonomian yang ada didalam nation-state harus berkompetisi untuk menciptakan "lingkungan" yang dapat menarik investasi secara global, salah satunya adalah tax reduction atau bahkan tax omittance, dengan demikian situasi yang kompetitif akan tercipta di suatu negara dan menarik banyak investor, yang ketiga adalah bahwa capital diuntungkan oleh mobilitas yang sempurna sehingga harga disinvestasi akan menjadi nihil, yang keempat capital akan berusaha dengan berbagai cara agar investasi yang ditanamnya dapat kembali dengan berlipat ganda. Cara yang digunakan dapat variatif. Mulai dari menekan negara untuk menekankan kebijakan yang tidak populer seperti flexible labour markets yang akhirnya sistem laborisasi akan mengarah pada outsourcing. Yang kelima, konsep negara yang mengayomi dan melindungi warga-negaranya (welfare state) tidak akan populer dalam sistem perekonomian global karena sistem ini tidak ramah pada capital yang ingin diinvestasikan, dan secara perlahan entitas nation-states yang erat dengan sistem kontrak-sosial ini akan gagal berfungsi sebagai negara yang welfaring elemen-elemen yang ada didakamnya termasuk warga negaranya.

Colin Hay sangat tidak menyetujui tesis hiperglobalisasi diatas. Hay banyak menyampaikan data-data empiris dan logika dalam mematahkan tesis hiperglobalisasi. Yang pertama adalah tidak cukup data dan fakta yang mendukung argumen pertama dan kedua dari tesis hiperglobalisasi. Menurut Hay argumen pertama dan kedua dari tesis hiperglobalisasi bersifat dubious dengan mengambil logika argumen ketiga yang tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena argumen ketiga adalah variabel pendukung dari argumen pertama dan kedua, yaitu bahwa capital bersifat fleksibel dan memiliki mobilitas yang tinggi, jadi bukan capital yang bergantung pada negara, tetapi negara-lah yang menyesuaikan diri terhadap capital. Hay membantah argumentasi ini dengan mengatakan bahwa jenis dari capital yang benar-benar fleksibel dan memiliki mobilitas yang tinggi adalah capital dalam bentuk investasi portofolio. Investasi lain seperti foreign direct investment (FDI) akan sangat rugi jika menarik investasinya dari suatu negara ke negara lain. Menurut Hay, kerugiannya akan lebih besar. Berbeda dengan FDI bagi Hay portofolio dapat lebih mobile dan fleksible oleh karena tunjangan teknologi. Meskipun investasi portofolio sangat mudah dan fleksibel, investasi jenis ini tidak secara langsung ataupun tidak langsung mengancam eksistensi, kapasitas, ataupun formalitasi fungsi dari suatu negara. Hal ini disebabkan investasi portofolio tidak bersentuhan secara nyata pada elemen negara bangsa secara entitas.

Bantahan Hay berikutnya adalah pada argumentasi tesis hiperglobalisasi yang keempat dan kelima. Kedua argumen ini menekankan bahwa welfare state tidak akan populer pada perekonomian global oleh karena sistem welfare yang banyak melindungi warga-negara termasuk buruh akan tidak kondusif bagi investasi dan revenue yang diterima dari investasi tersebut. Bantahan Hay pada permasalahan ini sangat sederhana. Argumen keempat dan kelima ini menurut Hay sangat sempit dan tidak memperhatikan data dan fakta empiris yang ada. Fakta empiris menunjukkan bahwa justru negara-negara yang mengedepankan welfare terhadap warga negaranya dapat menarik investasi dari berbagai capital owner yang ada di seluruh dunia. Sebagai contoh adalah kawasan Eropa utara dan Skandinavia. Negara-negara Skandinavia adalah negara-negara dengan rating tertinggi dalam hal welfare. Tetapi investasi terhadap negara-negara Skandinavia tidak kalah besar dengan negara-negara Eropa lainnya. Menurut Hay, para Hiperglobalis melupakan bahwa dengan welfare yang tinggi maka sumber daya manusia yang berpotensi untuk menghasilkan skilled labour juga semakin banyak, investor sudah dapat dipastikan akan memilih tenaga kerja yang skilled dengan morale dan motivasi yang tinggi dalam bekerja daripada harus menghabiskan biaya untuk memotivasi dan melatih tenaga kerja. Bahkan dengan sistem welfare bagi Hay outsourcing pun dapat diorganisir, jadi ada win-win solution antara capital owner dengan negara dalam hal ini.

Secara keseluruhan Hay banyak menekankan argumentasinya pada krisis peran nation-states secara ekonomi dan finansial tetapi hanya saja tidak sampai menghilangkan peran da kapasitasnya sebagai negara-bangsa yang berdaulat. Bagi reviewer, tulisan Hay sedikit menjurus pada "perlawanannya" terhadap herd-mental yang sering diasosiasikan pada proses globalisasi. Memang pada suatu sisi "mental kawanan" seperti yang dikatakan oleh Thomas L. Friedman tidak dapat dihindari oleh karena ketidakjelasan sistem finansial yang ada. Masyarakat global lebih cenderung mendewakan pasar sebagai acuan seberapa jauh seorang investor mau menginvestasikan capital-nya pada suatu negara sehingga orang lupa bahwa merek terbawa pada "mental kawanan" ini. Jadi permasalahan utama-nya adalah "mental kawanan" yang lacks of informations ini dikritik secara baik dan solutif oleh Hay dengan suatu preposisi dan argumen dasar: "Perhatikan fakta dan data di lapangan".



Referensi:
Friedman, Thomas L. (2000). Electronic Herd. "The Lexus and The Olive Tree". Anchor Books.
Hay, Colin. 2008. “Globalization’s Impact on States” dalam John Ravenhill ed., Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar