Jumat, 30 September 2011

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban: Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban

Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Perjuangan kemerdekaan Palestina yang begitu rumit akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan media, dan menjadi wacana yang menarik di kalangan penstudi Hubungan Internasional khususnya. Terutama ketika wacana ini masuk dalam PBB dan mendapat dukungan penuh dari negara-negara yang sebelumnya ragu, status-quo, dan bahkan tidak mendukung sama sekali Palestina menjadi salah satu anggota PBB yang memiliki hak suara secara penuh.

Babak Baru dan Fenomena Baru

Seperti yang dituliskan oleh A. Safril Mubah dalam Opini-nya di Jawa Pos tanggal 22 September 2011, perjalanan yang dilalui Palestina bukanlah hal yang mudah, berliku, dan justru cenderung terjal. Sejak terbunuhnya Yitzhak Rabin pada 4 November 1995, penulis sempat skeptis terhadap beberapa solusi dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Tetapi pada wacana Palestina dalam PBB kali ini berbeda. Dengan usaha untuk menembus PBB, kali ini dukungan terhadap upaya Palestina kian menguat. Mesir dan Turki yang enggan dalam mendukung kemerdekaan Palestina, kini menyatakan dukungan secara penuh pada Palestina. Solidaritas dari negara-negara Arab tidak pernah sekuat ini sehingga menyebabkan Israel dan Amerika Serikat (AS) terjepit dalam kontestasi politik global. Hal inilah yang mengingatkan penulis akan salah satu futurologis yang banyak dipuja tetapi banyak juga dicela oleh karena teori kontroversialnya, yaitu Samuel P. Huntington yang pernah meramalkan akan adanya “clash of civilization” yaitu benturan peradaban, dalam hal ini sebagaimana yang diramalkan oleh Huntington, ialah Arab versus Barat, tetapi dalam kasus ini penulis melihat bahwa term Arab versus Yahudi-Israel (dan pendukungnya- AS).

Garis Gagal Peradaban

Dalam menjelaskan konstelasi politik pada ramalan akan clash of civilization, Huntington menyampaikan suatu hal penting yang menjadi indikator akan clash tersebut yaitu fault-line atau garis gagal imajiner antar peradaban. Bagaimana kita dapat mengetahui garis gagal imajiner tersebut? Hal ini terlihat dari bagaimana reaksi negara-negara Arab, apakah mementingkan pilihan-pilihan rasional secara politis, atau kinship feeling antar sesama anggota Arab? Yang belum tentu memiliki keuntungan-keuntungan politis dan strategis didalamnya. Memang dukungan Mesir yang menjadi semakin tegas tidak lepas dari kondisi politik domestik setelah transisi rezim dari Husni Mubarak ke Omar Sulaiman. Tetapi secara sosiologis kinship feeling yang ada berkembang, apalagi kinship itu sebagai kepentingan politik dapat diakomodasi oleh rezim yang ada. Selain itu kinship terhadap Palestina semakin berkembang. Bukan saja antara Arab versus Israel, tetapi Islam versus Yahudi- Israel dan AS sebagai sekutunya. Hal ini terlihat dalam bagaimana semua negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam mendukung kemerdekaan dan pengakuan hak penuh Palestina di PBB.

Posisi Strategis Palestina

Entah perjuangan Palestina kali ini berhasil atau tidak, gelombang revolusi di negara-negara Arab menjadi trigger penting dalam menyulut kinship feeling di negara-negara Arab agar menjadi semakin solid dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Tentu saja hal ini membawa Palestina pada suatu babak dimana posisi tawar yang dimiliki oleh Palestina adalah suatu hal yang baru dan lebih kuat daripada sebelumnya. Jika negara-negara Arab pada akhirnya lebih memilih kinship feeling daripada kepentingan-kepentingan nasional dan pilihan-pilihan rasional yang menyebabkan dukungan terhadap Palestina bagai “tarik-ulur”, maka tidak diragukan lagi bahwasannya garis-gagal imajiner yang dibayangkan oleh Huntington benar adanya. Jika demikian, maka seharusnya hal ini dapat menjadi batu loncatan strategis yang sangat baik bagi Palestina yang telah sekian lama mengupayakan kemerdekaan dan hanya mendapatkan kekecewaan. Tetapi sekali lagi hal ini masih berupa wacana, penulis lebih senang melabelinya sebagai wacana posisi strategis Palestina, mengingat potensi apa yang akan terjadi pada Palestina di PBB dapat berupa opsi yang sangat luas dan tidak segampang itu diprediksikan.

Palestina nampaknya cukup cerdik dalam melihat fenomena ini, proposal agar Palestina dapat diterima sebagai anggota yang memiliki hak suara secara penuh, dan menyadari besar dukungan yang ada merupakan langkah awal Palestina menuju kemerdekaan. Ada baiknya mereka yang berkepentingan pada politik domestik palestina, yaitu Fatah dan Hamas meredakan konflik demi pencapaian yang lebih besar, yaitu kemerdekaan Palestina secara penuh.

Pluralisme di Ujung Tanduk?

“yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme?” (bahan renungan)

Sebuah Wacana Sensitif

Ketika kata “pluralisme” disajikan pada telinga anda, kira-kira apa yang pertama kali muncul dalam benak anda? Keberagaman? Kebersamaan? Atau bahkan ketidakpastian dalam memilih suatu iman kepercayaan secara spesifik? Arti dan definisi dari kata pluralisme ini begitu luas dan multi-interpretatif, bahkan karena begitu multi-interpretatifnya kata ini, salah satu institusi keagamaan yang ada di Indonesia mengharamkan terminologi pluralisme. Yang menjadi pertanyaan adalah, kalau bukan pluralisme yang “katanya” haram, lantas bagaimana kita menghadapi bangsa Indonesia yang sedemikian plural ini? Apa yang dapat kita gunakan sebagai pemersatu bagi bangsa yang kadar pluralitas-nya cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Tentu pengartian yang berbeda tidak saja membawa wacana yang sensitif ini pada perdebatan panas, tetapi juga berpotensi berujung pada aksi-aksi kekerasan bernuansa SARA yang dalam satu dekade ini menjadi semakin intensif.

Meningkatnya intensifitas isu dan bahkan insiden berbau SARA dalam waktu dekat ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di berbagai belahan Indonesia. Pro kontra adalah suatu hal yang tidak terelakkan mengingat definisi mengenai pluralisme pun masih kabur. Sebagian menyatakan haram, dan sebagian lagi menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu hal wajib demi menopang ke-bhinneka-an identitas di Indonesia. Kasus GKI Yasmin, Penusukan pendeta HKBP, Ahmadiyah, dan pengeboman Masjid di Cirebon, seharusnya dapat menjadi refleksi bagi kita, warga negara Indonesia. Bahwasannya ke-bhinneka-an kita memang benar-benar ada di ujung tanduk. Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya wacana pluralisme ini.

Redefinisi Pluralisme

Dengan keberadaan ke-bhinneka-an yang sedang berada pada ujung tanduk ini, maka seharusnya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme ini semakin digalakkan. Dengan digalakkan-nya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme maka bukan tidak mungkin terjadi kesaling-pahaman antara mereka yang menganut paham fundamental dan liberal. Bagi penulis secara pribadi pluralisme bukan saja penting, tetapi adalah suatu keharusan untuk menjalani hidup bersosial pada masyarakat yang tingkat pluralitasnya begitu tinggi seperti di Indonesia ini, jika tidak perpecahan yang berlandaskan SARA di masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme? Maka dari itu perlu dilakukan redifinisi yang melibatkan mereka-mereka yang tidak setuju terhadap pluralisme sebagai paham pemersatu bangsa.

Redefinisi pluralisme bagi penulis dapat dilakukan dengan langkah pertama yaitu memahami penolakan kaum fundamentalisme terhadap terminologi pluralisme. Penolakan utama mereka adalah asumsi kasar pluralisme yang menolak adanya kebenaran tunggal. Penolakan terhadap kebenaran tunggal ini mengancam esensi keimanan yang utama dimata mereka. Bagi penulis penolakan mereka cukup rasional, tetapi untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia penulis kira, kita tidak harus sampai menolak adanya kebenaran tunggal.

Unsur pluralisme terpenting yang harus ditekankan pada kondisi yang ada di Indonesia adalah toleransi. Apakah bertoleransi harus menolak kebenaran tunggal? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak untuk percaya pada kebenaran tunggal tertentu, tetapi diiringi dengan semangat toleransi dan saling menghargai yang tinggi antar umat beragama.

Sebagai contoh realistis saja, seorang Kristen wajib hukumnya untuk mempercayai Yesus/Isa Almasih sebagai putra Allah sebagai sebuah kebenaran tunggal yang mutlak. Seorang Muslim tentu tidak sependapat, apalagi umat Hindu dan Buddha. Seorang Muslim wajib hukumnya untuk beriman pada Allah SWT dan nabi-Nya Muhammad SAW, yang tentu menolak kepercayaan Kekristenan bahwa Yesus adalah putra Allah. Tetapi lepas dari itu semua, adakah dari ajaran agama kita masing-masing yang mengajarkan membenci seseorang dan tidak toleran terhadap kegiatan ibadahnya oleh karena perbedaan paham akan kebenaran? Sebagai seorang yang mengamini sila pertama dari Pancasila tentu kita harus bersandar pada kebenaran tunggal tertentu. Dengan bersandar pada kebenaran tunggal tertentu maka wajib hukumnya kita menolak kebenaran tunggal yang ditawarkan agama lain, tetapi ketidak-setujuan kita janganlah menjadi penghalang untuk saling mengasihi dan menghormati satu dengan yang lainnya.

Perbedaan, Pluralisme, dan Kasih Sebagai Pemersatu

Pluralisme menjadi berbahaya jika kita terlalu ekstrim dalam memahami tanpa mencerna makna fundamental dari pluralisme itu sendiri. Setidaknya redefinisi pluralisme dapat menunjukkan pada kita bahwa toleransi dalam suatu perbedaan itu luar biasa indah. Ketika Hanung Bramantyo pada slogan dalam film terbarunya “?” (Tanda Tanya) mengatakan “Masih Pentingkah Perbedaan?”. Jika diperbolehkan berpendapat bagi penulis perbedaan itu penting. Kita ada karena kita berbeda. Tetapi lebih dari itu semua gunakanlah kasih dan toleransi sebagai pemersatu bangsa yang penuh dengan perbedaan ini.

Senin, 27 Juni 2011

Libya: Antara Intervensi Kemanusiaan dan Global Governance

Robin Riwanda Mandagie

Penstudi Tata Kepemerintahan Global, Centre of Global and Strategic Studies (CSGS), Departemen Hubungan Internasional- Universitas Airlangga

Bad news is good news- Slogan ini menjadi sebuah realitas yang tidak dapat dihindari ketika media “mengeksploitasi” berita mengenai pergolakan yang terjadi di Mesir yang menuntut Mubarak untuk mundur dari kepemimpinannya. Bukan saja menjadi goodnews bagi media karena mendapat bahan headlines, tetapi juga bagi negara-negara lain dimana opresi dilakukan oleh kepala negara terhadap rakyatnya. Semangat emansipatoris, atau semangat pembebasan layaknya bagai sebuah domino sebagaimana diungkapkan pertama kali oleh presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 1954, Dwight Eisenhower, terjadi pada negara-negara diujung utara Afrika, mulai dari Maroko sampai Yaman, dan tidak terkecuali Libya. Yaitu penuntutan mundur terhadap Kolonel Muamar Gaddafi. Persoalan vertikal domestik antara pemimpin Libya dengan rakyatnya dengan sekejap menjadi persoalan global ketika AS dengan sekutunya membombardir Libya sejak 19 Maret 2011. Alasan utama AS dalam melakukan manuver militer adalah sederhana, oleh karena permintaan Liga Arab untuk memberlakukan no-flight zone di Libya pada 12 Maret 2011.

Dilema Intervensi Kemanusiaan

Pembenaran dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan berbagai negara anggota sekutu lainnya dalam membombardir Libya mungkin terkesan klise, yaitu intervensi kemanusiaan oleh karena beberapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dilkukan oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Tetapi latar belakang penyerangan pasukan sekutu ini di-backing oleh justifikasi yang kuat, yaitu resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada tahun 1973 untuk mencegah “ulah” Gaddafi lebih lanjut terhadap masyarakat di Benghazi. Frase “Take all necessary measures to protect civilian” ternyata diartikan secara literal oleh Amerika Serikat dan sekutunya ketika protes terjadi secara masal yang juga tidak lepas peran media dalam menyebarkan “virus protes” terhadap pemerintah pada negara-negara di sekitar kawasan Timur Tengah. J.L Hozgrefe (2003) dalam tulisannya “Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas” mengatakan bahwa intervensi kemanusiaan adalah tindakan yang melegalkan penggunaan senjata dan kekerasan militer untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah, bahkan melegalkan menyerang suatu Negara tertentu tanpa melihat prinsip-prinsip kedaulatan.

Disinilah poin penting dari dilema intervensi kemanusiaan, selain alasan-alasan mulia untuk melindungi warga sipil libya, tidak-mungkin-tidak AS tidak memiliki “udang dibalik batu”, yang tentunya tidak segampang itu AS dan sekutunya mau untuk mengeluarkan biaya operasi militer yang pastinya sangat mahal. Selain itu “maksud mulia” AS dan sekutunya untuk melindungi warga sipil Libya, justru dalam beberapa operasi militer terhitung sejak 19 Maret lalu, sudah puluhan, dan bahkan hamper mencapai ratusan korban warga sipil yang seharusnya mereka lindungi dari Gaddafi. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi kemanusiaan tidak hanya berbau politis, tetapi juga mengancam konsep kedaulatan negara-bangsa. Ditambah dengan era globalisasi, intervensi kemanusiaan menunjukkan konsep kedaulatan negara-bangsa sudah usang, digantikan oleh kedaulatan PBB, menuju suatu konsep global governance, atau suatu konsep tata kepemerintahan secara global.

Libya dan Global Governance: Sebuah Pintu Masuk dalam Menyadarkan Masyarakat Dunia

Sejak konsep tata kepemerintahan global atau global governance ini menjadi sesuatu yang booming ketika Preisden AS Woodrow Willson mengutarakan “The Fourteen Points”, yang merupakan cikal bakal dari pembentukan lembaga global governance terbesar saat ini, PBB, tidak sedikit yang bersikap pesimis akan efektifnya lembaga global governance, bahkan Dean Acheson, mantan menteri luar negeri AS mengatakan bahwa akan sangat idiot jika seseorang percaya pada efektifitas PBB (Carneiro, 2004). Tetapi kasus Libya, dan bahkan kasus-kasus intervensi kemanusiaan sebelum Libya menunjukkan bahwa era globalisasi membuat kepentingan dan persoalan domestik suatu Negara, menjadi suatu persoalan global, dan kasus Mesir yang kemudian berdampak pada Libya menunjukkan pada kita betapa senakin renta-nya konsep kedaulatan negara-bangsa, dan satu-satunya solusi yang dapat dipikirkan oleh Liga Arab dan kemudian diteruskan kepada DK-PBB adalah menerapkan konsep global governance dalam topeng intervensi kemanusiaan. Atas alasan apa? Tentu alasan utama mereka adalah stabilitas tatanan politik regional di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Tetapi tetap segala sesuatunya kembali kepada anda semua, para pembaca yang budiman. Apakah anda tetap percaya pada konsep tradisional-klasik tentang kedaulatan negara? Atau kasus Libya ini merupakan bukti bahwa dalam era globalisasi, sebuah tata kepemerintahan global sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas global? Silahkan memilih.


Referensi:

Holzgrefe. J.L.(2003). "The Humanitarian Intervention Debate." Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemnas. Ed. J.L. Holzgrefe and Robert O. Keohane. Cambridge: Cambridge University Press.

Carneiro, Robert L. (2004). "Political Unification of The World: Whether, When, and How-- Some Speculations". Cross-Cultural Research. Sage Publications

Problematika Regionalisme Afrika: Konflik Sudan di Darfur dan Collision of Interest dari Negara-Negara Core

Robin Riwanda Mandagie

Prolog
Benua dan kawasan yang memiliki negara-negara low developing terbanyak adalah Afrika. Sejak awal kemerdekaan, konflik terus menerus terjadi di kawasan yang secara sumber daya alam, memiliki daya yang cukup besar ini. Konflik-konflik yang terjadi di negara-negara Afrika, tentu berhubungan dengan berbagai macam faktor seperti permasalahan legitimasi pemerintahan, perbedaan threat perspective, dan konsepsi peran nasional untuk keamanan regional secara umum. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan regional di Afrika seperti yang sudah di elaborasi di atas, ditambah dengan kekayaan sumber daya alam Afrika yang begitu hebat, maka tidak heran sering terjadi pergesekan-pergesekan kepentingan dari negara-negara non-Afrika, yaitu negara-negara core seperti Amerika Serikat, Cina, Inggris, dll.
Dalam esai kali ini akan dibahas mendalam secara khusus pada suatu negara tertentu yaitu Sudan, sebagai contoh nyata akan bagaimana negara-negara core menggunakan isu-isu ketidakstabilan politik dan keamanan di negara-negara Afrika dalam memperoleh kepentingan-kepentingannya yang dalam kasus di Sudan adalah kepentingan masalah energi, yaitu minyak.
Sebelum era national revival yang terjadi di negara-negara Afrika dengan ideologi Pan-Africanismnya, Sudan masih ada dibawah pengaruh Mesir yang mulai menganeksasi Sudan pada tahun 1899, yang dimana Mesir pada saat itu juga masih ada dibawah pengaruh imperialisme oleh Inggris yang mulai masuk dan mengambil alih beberapa kepentingan pada tahun 1916, yaitu 17 tahun setelah salah satu negara protektoratnya (Mesir) mulai mengokupansi Sudan . Sejak eksplorasi oleh pemerintah Inggris, dan Sudan secara De Facto dan De Yure merdeka (lebih tepatnya dilepaskan) dari Inggris pada tahun 1959, semakin banak negara-negara yang mulai mengarahkan perhatiannya pada Sudan. Hal ini bertambah “ramai” ketika setelah dieksplorasi, ternyata di Sudan ditemukan sumber minyak yang cukup banyak dan hal ini tentu menarik perhatian banyak negara-negara industrial besar seperti Amerika Serikat dan Cina. Lantas bagaimana cara negara-negara ¬core untuk memperoleh minyak yang ada di Sudan? Salah satu cara adalah dengan mengandalkan ketidakstabilan politik yang ada di Sudan. Contohnya adalah konflik “gencocide” yang dituduhukan oleh International Criminal Court (ICC) kepada presiden rejim Janjaweed (milisi Arab), yaitu Presiden Omar Al-Bashir atas dugaan pembantaian masal terhadap 200.000 warga Darfur, dan menyebabkan jutaan warga Darfur untuk menungsi dan kehilangan tempat tinggalnya .

Konflik Darfur
Berbeda dengan beberapa civil war yang pernah terjadi di Sudan, Konflik bersenjata yang terjadi di Darfur bukan disebabkan oleh permasalahan konflik tradisional Sudan yaitu konflik agama. Konflik yang tepatnya terjadi di Darfur ini disebabkan murni bukan atas konflik agama, tetapi konflik etnis yang disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yang memberikan stimulus terhadap potensi-potensi konflik yang ada di Darfur.
Faktor utama penyebab pecahnya perang saudara di Darfur menyangkut dengan faktor-faktor survival bagaimana hidup di dalam realm Afrika yang sangat konfliktual. Konflik ini disebabkan oleh permasalahan dasar survival, yaitu kekeringan, overpopulation, dan desertifikasi . Oleh karena tiga faktor ini, para nomaden pastoralis Baggara (dalam bahasa Arab Baqqara) mulai mencari persediaan air ke arah selatan. Di daerah dimana para nomaden Baggara itu berusaha mendapatkan persediaan airnya, terjadilah “gesekan” dengan penduduk asli yang mayoritas adalah bangsa Afrika berkulit hitam. Karena adanya akar-akar konflik dalam sentimentil etnis antara masyarakat Afrika berkulit hitam dengan nomaden Baggara yang merupakan bagian dari ras Arab, akhirnya konflik terbuka pun meletus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 dua kelompok bersenjata melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Sudan yang pada saat itu didominasi oleh etnis ras Arab. Dua kelompok pemebrontak itu adalah Justice and Equality Movement (JEM) dan Sudanese Liberation Army/Movement (SLA/SLM). Kekerasan-kekerasan kerap terjadi dari tahun tersebut sampai pada masa sekarang, dan hal ini menyebabkan instabilitas politik dan keamanan yang ada di Darfur.
PBB menyatakan bahwa korban yang disebabkan oleh konflik yang terjadi di Darfur berjumlah 200.000 sampai 500.000. PBB juga menyatakan bahwa akibat konflik yang terjadi di Darfur, sekitar lebih dari 2.000.000 orang kehilangan tempat tinggalnya dan terpaksa mengungsi ke daerah teritorial Chad . Oleh karena alasan pertimbangan kemanusiaan yang serius, maka ICC menetapkan bahwa tersangka utama dari konflik yang ada di Darfur adalah presiden Sudan, yaitu Presiden Omar Al-Bashir.


Kepentingan Yang Beradu: Smoothness of China’s Art of War & Hardness of America’s Neoconservatism

Setelah ditemukannya “hotspot” mengenai kandungan minyak yang terdapat pada laut merah yang merupakan bagian dari wilayah perairan Sudan, maka negara-negara core industrial seperti Amerika Serikat dan Cina mulai mengarahkan pandangan foreign policy-nya kepada Sudan. Dalam mencapai kepentingan minyak yang ada di Sudan, Cina memanfaatkan salah satu strategi Sun Tzu “是故百戰百勝,非善之善者也;不戰而屈人之兵,善之善者也” Yang berarti menang (gain) yang baik adalah menang tanpa peperangan (battle) .
Dengan Mengadopsi strategi Sun Tzu dalam buku Art of War-nya, dalam mencapai kepentingan minyaknya di Sudan, Cina melakukan pendekatan yang halus terhadap pemerintah Sudan, dan berupaya bagi Sudan agar Presiden Omar Al-Bashir tidak sampai masuk dalam penghakiman oleh ICC. Oleh karena itu Cina berupaya untuk menggandeng pemerintahan resmi Sudan dan mengupayakan (memanfaatkan) pula konflik yang Darfur agar diselesaikan dengan menawarkan diri menjadi mediasi antara pihak pemberontak dengan pemerintah. Dengan demikian Cina akan mendapat “hati” Sudan, yang akan menghantar Cina untuk mendapatkan kesempatan untuk mengeksploitasi minyak secara dominan (saham Cina atas minyak yang ada di Sudan sebesar 40%) yang ada di laut merah daerah perairan Sudan . Dalam pembelaanya terhadap dukunganya terhadap Sudan, didepan ICC, Cina mengatakan bahwa tidak baik jika terus menerus menekan pemerintah resmi Sudan, khususnya rezim Omar Al-Bashir. Dalam segi ini Amerika Serikat menuduh bahwa Cina tidak melakukan apa-apa (apatis) terhadap krisis kemanusiaan yang ada di Darfur, Sudan.
Bukan hanya Cina seorang diri yang memiliki kepentingan akan minyak yang ada di Sudan. Amerika Serikat juga mengindikasikan dalam perilakunya bahwa Amerika Serikat juga meninginkan minyak yang ada di Sudan. Tetapi kendalanya adalah Amerika Serikat tidak berhasil dalam merebut hati Sudan seperti Cina merebutnya. Beberapa hari sebelum serangan teroris pada Amerika Serikat pada peristiwa 11 September 2001, yaitu tepatnya pada tanggal 6 September 2001 Presiden George W. Bush mengirimkan utusannya yaitu John Danforth (seorang mantan senator Amerika Serikat) untuk membuat empat point kesepakatan dengan Sudan mengenai perang sipil 18 tahun yang melanda Sudan. Dalam tujuannya mengirimkan Danforth ke Sudan, Amerika Serikat menyimpan agenda yang sama dengan Cina, yaitu bagaimana merebut perhatian Sudan. Ternyata pada akhirnya Danforth gagal memenuhi tujuan utama itu . Oleh karena itu Amerika Serikat mengubah haluan strateginya. Amerika Serikat yang dahulu ingin melakukan pendekatan yang halus untuk mendapatkan bagian dari minyak Sudan kini “terpaksa” menggunakan cara-cara neokonservatif khas Amerika Serikat yaitu melakukan tindakan-tindakan “pre-emptive” dengan menuduh Omar Al-Bhasir atas genocide yang terjadi pada tahun 2003 hingga sekarang yang menewaskan sekitar 200.00 sampai 500.000 orang di Darfur. Amerika Serikat pada akhirnya memanfaatkan konflik Darfur yang terjadi tahun 2003 untuk menjadi batu lompatan agar dengan melalui ICC dalam tempo kepentingan jangka panjang, Amerika Serikat (mungkin) dapat menganeksasi Sudan dan mendapatkan minyaknya secara total . Tidak seperti Cina, yang meskipun sebagai dominator dalam saham minyak di Sudan, Cina hanya mendapatkan 40% saham atas minyak yang terkandung dalam perairan Sudan. Sedangkan Amerika Serikat berupaya (secara halus) untuk meruntuhkan rezim Omar Al-Bashir yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat (ditolaknya Danforth), dengan menggunakan konflik di Darfur dan ICC sebagai alat untuk mencapai kepentingan totalnya terhadap minyak yang terkandung dalam teritorial perairan Sudan.

Reaksi Sudan Terhadap Kebijakan Luar Negeri Cina dan Amerika Serikat Terhadap Dirinya
Menaggapi sikap Cina dan Amerika Serikat yang terlihat begitu ingin mendapat bagian dalam kandungan minyak yang terdapat pada satu blok perairan yang ada di laut merah daerah teritorial perairan Sudan ini, pemerintah Sudan mengisyaratkan tendensinya pada Cina. Begitu pula dengan rakyat Sudan yang menggelar demonstrasi besar-besaran di Khourtum ibukota Sudan. Meskipun tidak menunjukan dukungannya pada Cina, demonstrasi besar yang terjadi di Khourtum mengutuk keras sikap Amerika Serikat yang dinilai “sembarangan” menuduh dalam forum ICC.
Tetapi bagi Cina, pemerintah Sudan secara resmi sangat membuka diri terhadap investasi saham Cina sebanyak 40% dalam sektor pertambangan minyak. Kedekatan antara Sudan dan Cina juga membuat kontrak investasi itu berjalan lancar. Cina dalam sekitar jangka waktu 20 tahun akan menanamkan modalnya pada Sudan, dan perjanjian itu diawali dengan pembukaan eksploitasi minyak yang dalam pembukaanya disetujui selama enam tahun. Bukan hanya itu saja, dalam konflik bersenjata yang terjadi di Darfur, dalam temuan terakhirnya pihak Amerika Serikat mensinyalir bahwasannya 90% senjata yang ada dalam konflik di Darfur adalah buatan Cina . Hal ini tentu secara tidak langsung mengindikasikan bahwasannya hubungan antara Cina dengan Sudan bukan saja baik, tapi “sangat” baik. Mengapa dikatakan demikian? Kerjasama yang dilakukan antara Cina dengan Sudan sudah tidak lagi dalam ranah ekonomi, tetapi sudah memasuki ranah pertahanan dan militer, yang level-nya lebih tinggi daripada kerjasama ekonomi biasa. Hal ini tentu saja membuat Amerika Serikat menjadi geram atas sikap Sudan dan Cina.

Efek Konflik Sudan Terhadap Masalah Keamanan Regional Afrika
Permasalahan yang terjadi di Sudan meskipun dalam kasus Darfur adalah permasalahan dalam tingkat nasional, tetapi dengan adanya inseminasi campur tangan oleh negara-negara core, maka konflik Darfur berdampak bagi dunia internasional. Dari sisi regionalpun, konflik yang terjadi di Darfur mempengaruhi hubungan antara Sudan dengan Chad. Chad dituduh oleh Sudan bahwa Chad membantu kelompok pemberontak untuk mengungsikan kelompoknya ke daerah teritorial Chad. Chad menampik tuduhan Sudan dengan alasan bahwa yang dilakukannya adalah berdasarkan kemanusiaan. Dengan adanya permasalahan baru antara Chad dengan Sudan yang disebabkan oleh permasalahan nasional semata, maka tidak menutup kemungkinan konflik bilateral antara Sudan degan Chad dapat berkembang menjadi konflik regional berdasarkan asas teori konsepsi peranan nasional.



Sources:
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/16/the-guardian-minyak-motif-amerika-di-sudan/ diakses pada 26 April 2009
http://www.youtube.com/watch?v=rpGNzb4FzYw&feature=related diakses pada 26 April 2009
Looking to water to find peace in Darfur". Reuters AlertNet. 2007-07-30. http://www.alertnet.org/db/blogs/1265/2007/06/30-100806-1.htm diakses pada 26 April 2009
Darfur: A ‘Plan B’ to Stop Genocide?". US Department of State. 2007-04-11. http://www.state.gov/p/af/rls/rm/82941.htm diakses oada 26 April 2009
Sun Zi's The Art of War text translated by Dr Han Hiong Tan 2001
http://www.kapanlagi.com/h/0000179496.html diakses pada 26 April 2009
John Prendergast, Senator Danforth’s Sudan Challenge: Building a Bridge to Peace, African Notes Number 5, January, 2002
http://farid1924.wordpress.com/2008/08/12/rebutan-minyak-dibalik-krisis-sudan/ diakses pada 26 April 2009
China - Sudan 90% of the weapons for Darfur come from China - Asia News". Asianews.it. http://www.asianews.it/index.php?l=en&art=11773. diakses pada 26 April 2009

Jumat, 08 April 2011

Otoritas Global demi Keberlangsungan Global: Kajian Teleologi Terhadap Global Sense of Survival

Robin Riwanda Mandagie



Salam damai



Sudah beberapa bulan ini saya menganggur tidak bersentuhan sama sekali dengan yang namanya tulisan dan jurnal ilmiah dalam bidang studi yang saya tekuni selama 3,5 tahun ini, yakni Hubungan Internasional. Tangan terasa nyeri ketika tidak ada beberapa frase sedikitpun yang dapat saya tuangkan dalam bentuk tulisan-tulisan ke-galau-an (menggunakan istilah populer dikalangan ABG) pemikiran saya yang terus-menerus menjadi final cause dalam kehidupan ber-akademis saya selama ini.

Ya, Hubungan Internasional. Kali ini saya sedikit bebas menulis karena tidak terikat oleh aturan-aturan moderen dalam tata cara penulisan ilmiah. I am being myslef, dan being myself ini sangat saya butuhkan dalam menuangkan pemikiran-pemikiran yang saya pendam selama ini.

Bidang studi apapun, pemikiran apapun, atau agama apapun tidak bisa tidak memiliki sebuah final cause yang sama, global, dan holistik, yang adalah salah satu sub-sistem dalam filosofi humanisme. Yaitu survival. Ketika sense of survival ini muncul sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, maka elemen-elemen yang ada didalam diri manusia tidak dapat tidak dipengaruhi oleh survival sebagai natural sense dari manusia. Agama contohnya mengajarkan orang untuk berbuat baik, mendapatkan banyak pahala, dengan iming-iming apa? Tentu dengan iming-iming afterlife survival. Entah liberalisme atau marxisme, entah ilmu eksak atau ilmu sosial, modernisme atau posmodernisme, semuanya muncul dan ada karena final cause yang tidak terelakkan ini. Sense of survival.

Masuk dalam bahasan area of expertise saya sebagai seorang penstudi Hubungan Internasional, maka saya akan membawa sense of survival ini ke ranah hubungan antar bangsa. Hubungan antar bangsa, atau lebih tepatnya hubungan antar negara bangsa menjadi sebuah sistem hubungan yang memiliki pola moderen ketika negara bangsa menjadi sistem yang baku sejak perjanjian Westphalia pada tahun 1648, yang dalam perkembangannya sistem negara bangsa ini berdampak besar pada lahirnya aliran realisme dan turunannya neo-realisme yang secara garis besar menekankan bahwa hubungan internasional adalah hubungan antar negara-negara nyang berdaulat, yang mana pilihan-pilihan yang rasional-lah yang men-drive suatu negara dalam membentuk pola interaksinya dengan negara lain. Dalam ranah pola hubungan antar negara, disinilah letak sense of survival­-nya, bagaimana suatu negara dengan negara lainnya saling berinteraksi demi memenuhi kepentingan-kepentingan survival mereka, entah dengan ber-poker face dengan gaya liberal dan neo-liberal, berhati-hati seperti gaya realis, atau terlalu jujur seperti seorang neokonservatif, dalam ranah sense of survival, secara teleologis, tidak membedakan antara realis, liberal, dan neokons, karena final cause mereka sama.

Sudah jelas sebelumnya bahwasannya sense of survival lah yang membentuk pola interaksi negara bangsa, sebagaimana negara bangsa itu terbentuk. Ya, jika anda membaca tulisan-tulisan Hobbes dan Locke tentang kontrak sosial, maka anda akan mengetahui bahwasannya negara bangsa terbentuk oleh karena ketakutan mereka-mereka yang tergabung sebagai warga negara pada kondisi sebagaimana yang dikatakan oleh Hobbes (1651) sebagai State of Nature, sebuah keadaan dimana situasi dan kondisi yang ada adalah liberalisme absolut, dimana anarki dan chaos memenuhi realm dari state of nature ini. Sebuah keadaan tanpa hukum ataupun tatanan tertentu, yang kuat-lah yang menang. Maka dari itu, didorong oleh sense of survival (yang tentu tidak hanya dipikirkan oleh mereka yang kuat tetapi juga yang lemah), secara kolektif mereka-mereka ini, tidak peduli yang kuat atau yang lemah mengkonstruk sebuah sistem yang berlandaskan kolektivisme individu, yaitu sebuah negara bangsa, dimana kedaulatan-kedaulatan privat yang mereka miliki dalam keadaan liberalisme absolut dalam kondisi state of nature, harus diserahkan pada suatu pihak yang dapat mereka tentukan secara konsensus (demokrasi), atau berdasarkan bloodline (monarki), atau bahkan divine mandate (teokrasi). Faktor-faktor inilah yang membentuk suatu tatanan negara bangsa yang memiliki order, lengkap dengan kedaulatan penuh yang didaptkan dari kedaulatan-kedaulatan individu didalamnya. Lantas yang jadi pertanyaan? Mengapa mereka mau membagi atau bahkan menyerahkan kedaulatan mereka seutuhnya pada sistem yang lebih besar? Tidak lain, dan tidak bisa tidak oleh karena final cause itu tadi, sense of survival.

Lantas bagaimana dengan sistem yang ada diatas negara bangsa? Yaitu sistem interaksi antar negara bangsa secara global? Tidak ada otoritas yang dapat mengekang negara-bangsa bukan? Karena segala sesuatu dikendalikan oleh pilihan rasional setiap negara. Maka ijinkan saya menggunakan term state of nature pada sistem interaksi antar bangsa yang ada. Selama beberapa dekade, atau bahkan abad ini, sistem negara bangsa terbukti sebagai sistem yang paling prevailing dalam lini evolusi struktur politik internasional. Oh apakah sistem politik internasional berevolusi? Tentu saja, kondisi state of nature dan aksi kolektif untuk menyelesaikan kondisi ini tidak hanya sekali terjadi ketika ada pemisahan otoritas antara negara dan gereja di Westphalia pada tahun 1648. Tetapi terjadi secara gradual sejak manusia itu ada sebagai suatu entitas. Mulai dari tribalisme, warlordisme, sistem kerajaan, prefektur, dan bahkan kekaisaran, hingga menuju sistem negara bangsa, dan hal ini menunjukkan dengan jelas bahwasannya sense of survival sebagai penggerak dan cause utama dari society of human untuk terus mengintegrasikan diri dan komunitasnya pada suatu tatanan yang lebih besar. Sejak manusia lahir sebagai suatu mahkluk hidup, hal ini terjadi. Inilah nature dari manusia. This is human nature.

Lantas mengapa kita masih terus menafikan suatu pemerintahan dunia tidak akan pernah terbentuk? Label pemimpi, euiforis, dan bahkan irasionalis terkadang sering dilabelkan pada kami orang-orang yang bermimpi, bahwa suatu saat pertikaian akah berakhir atau bahkan diminimalisir pada sistem yang berlaku secara global. Perlu diakui bahwasannya suatu tatanan atau sistem yang lebih tinggi tidak akan terbentuk jika tidak ada ancaman dalam sistem tersebut. Tidak akan warlordisme tanpa ancaman di sistem tribalisme. Tidak akan ada sistem kerajaan jika tidak ada ancaman di sistem warlordisme, tidak ada sistem pembagian kekuasaan secara prefektur dalam sistem kekaisaran jika tidak ada ancaman pada sistem kerajaan, dan tidak akan pernah ada sistem negara bangsa jika, otoritas-otoritas yang tumpang tindih antara kerajaan, prefektur, kekaisaran, otoritas agama, mengancam sistem yang ada pada pra-Westphalia. Jika demikian apa ancaman bagi sistem negara bangsa yang sejak 1648 sampai sekarang terbukti sebagai suatu sistem yang paling “kokoh” bertahan? Banyak sekali, dan ini bisa dijabarkan dalam beberapa realm dan kerangka pemikiran (dan akan jadi satu Skripsi atau Thesis jika dijabarkan secara komprehensif ;p)

Mulai dari ancaman terhadap peran negara bangsa yang mulai mendapatkan “angin” kontestasi dari beberapa aktor non-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam kajian Hubungan Internasional. Peran multinational corporations (MNCs) yang semakin ekstensif. Pergeseran-pergesran dan konflik kin belonging yang melibatkna perasaan-perasaan non-rasional negara sebagaimana negara seharusnya bertindak, ambigutias otoritas yang terjadi tidak secara lokal, tetapi transnasional, dan berbagai macam lagi. Jika akhirnya negara-negara terintegrasi pada suatu sistem yang lebih besar maka lini nya tidak akan beda jauh dengan integrasi aktor-aktor politik (entah individu atau komunitas) pada era pra-Westphalia. Jika melihat pengalaman-pengalaman linin evolusi struktur politik sebelumnya, integrasi negara bangsa ke sistem yang lebih besar sama sekali tidak mustahil. Justru sangat lumrah adanya, karena entitas-entitas politik yang ada sebelumnya melakukan hal yang sama.

Hal tersebut masih dalam ranah wacana pergeseran fungsi negara bangsa, belum wacana-wacana lainnya. Saya jadi teringat ketika saya menyampaikan ide-ide dan pemikiran saya ini di kelas Globalisasi dan Strategi. Seketika itu juga dosen saya mengatakan “Tidak akan ada pemerintahan dunia kecuali ada beberapa hal yang mengancam eksistensi manusia secara keseluruhan, seperti serangan Alien dari luar angkasa barangkali” seketika itu juga suasana kelas pecah, gemuruh tawa mengglegar di seluruh ruangan kelas oleh karena pendapat dosen saya yang cukup unik dan menggelitik itu. Mungkin beberapa orang begitu mendengar perkataan dosen saya itu akan langsung berpikir mengenai dongeng-dongeng sci-fi seperti Star Trek, Star Wars, ataupun Mass Effect Series, dimana pemerintah-pemerintah yang ada diseluruh belahan bumi terintegrasi secara supranasional demi melawan ancaman ekstraterestrial dari ras non-manusia. Tentu hal tersebut tidak mustahil tetapi terlalu berlebihan jika Alien masuk dalam wacana kajian Hubungan Internasional. Tidak perlu berpikir sampai ranah ekstraterestrial untuk menemukan ancaman yang berdampak secara holistik bagi seluruh umat manusia. Ancaman itu adalah keberlangsungan umat manusia diatas bumi ini.

Akhir-akhir ini sering kita dengan gerakan-gerakan sosial seperti green movement, yang mengkampanyekan bahwa hidup Bumi akan terancam jika manusia tidak memperbaiki polah kehidupannya yang sangat ekstraktif terhadap hasil-hasil bumi. Ancaman ini dinilai oleh komunitas internasional sebagai ancaman serius maka dari itu secara kolektif negara-negara bangsa berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tetapi dari beberapa konvensi yang digelar sampai yang terakhir di Cancun, Mexico tidak membuahkan hasil yang signifikan. Negara-negara bangsa tetap dengan kekeuh mempertahankan national interest-nya tanpa ada rasa kepedulian sedikitpun terhadap negara-bangsa lain. Sense of survival? Yes it is, but not in a bigger picture. Permasalahan yang dihadapi oleh UNFCCC selalu sama, bagaimana pembagian alokasi carbon trading dan dapat ditebaki, bahwa yang selalu ada diatas angin dalam carbon trading itu justru adalah negara-negara penghasil karbon terbesar yang mana jika mereka mengurangi emisi karbonnya beberapa persen saja, maka dampaknya pada perekonomian dunia akan terasa cukup signifikan. Hal inilah yang membuat UNFCCC masih berada dalam “kesuraman”. Carbon trading jadi seperti state of nature dimana negara yang memiliki posisi tawar yang paling kuat dialah yang menang. Benar-benar liberalisme yang absolut.

Berbicara mengenai sense of survival negara-negara bangsa harus sadar bahwasannya ada matter of survival yang lebih besar daripada national interest yang saling mereka adu di UNFCCC, khususnya carbon trading forum. Permasalahan tentang pemanasan bumi lebih serius dan berbahaya dari serangan Alien. Manusia harunsya sadar akan hal ini. Mereka membutuhkan otoritas diatas negara yang dapat secara coersive memaksa negara-negara bangsa by any means neccesary untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku, demi keberlangsungan bersama sebagai mahkluk hidup. Karena sense of survival, inilah final cause kita, inilah nature kita, sebagai manusia, yang tentu juga dengan dapat diterapkannya suatu pemerintan global yang memainkan peranan otoritas global, dapat meminimalisir, atau bahkan menghentikan pertikaian dimanapun manusia berada.



Amin.