Jumat, 30 September 2011

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban: Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban

Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Perjuangan kemerdekaan Palestina yang begitu rumit akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan media, dan menjadi wacana yang menarik di kalangan penstudi Hubungan Internasional khususnya. Terutama ketika wacana ini masuk dalam PBB dan mendapat dukungan penuh dari negara-negara yang sebelumnya ragu, status-quo, dan bahkan tidak mendukung sama sekali Palestina menjadi salah satu anggota PBB yang memiliki hak suara secara penuh.

Babak Baru dan Fenomena Baru

Seperti yang dituliskan oleh A. Safril Mubah dalam Opini-nya di Jawa Pos tanggal 22 September 2011, perjalanan yang dilalui Palestina bukanlah hal yang mudah, berliku, dan justru cenderung terjal. Sejak terbunuhnya Yitzhak Rabin pada 4 November 1995, penulis sempat skeptis terhadap beberapa solusi dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Tetapi pada wacana Palestina dalam PBB kali ini berbeda. Dengan usaha untuk menembus PBB, kali ini dukungan terhadap upaya Palestina kian menguat. Mesir dan Turki yang enggan dalam mendukung kemerdekaan Palestina, kini menyatakan dukungan secara penuh pada Palestina. Solidaritas dari negara-negara Arab tidak pernah sekuat ini sehingga menyebabkan Israel dan Amerika Serikat (AS) terjepit dalam kontestasi politik global. Hal inilah yang mengingatkan penulis akan salah satu futurologis yang banyak dipuja tetapi banyak juga dicela oleh karena teori kontroversialnya, yaitu Samuel P. Huntington yang pernah meramalkan akan adanya “clash of civilization” yaitu benturan peradaban, dalam hal ini sebagaimana yang diramalkan oleh Huntington, ialah Arab versus Barat, tetapi dalam kasus ini penulis melihat bahwa term Arab versus Yahudi-Israel (dan pendukungnya- AS).

Garis Gagal Peradaban

Dalam menjelaskan konstelasi politik pada ramalan akan clash of civilization, Huntington menyampaikan suatu hal penting yang menjadi indikator akan clash tersebut yaitu fault-line atau garis gagal imajiner antar peradaban. Bagaimana kita dapat mengetahui garis gagal imajiner tersebut? Hal ini terlihat dari bagaimana reaksi negara-negara Arab, apakah mementingkan pilihan-pilihan rasional secara politis, atau kinship feeling antar sesama anggota Arab? Yang belum tentu memiliki keuntungan-keuntungan politis dan strategis didalamnya. Memang dukungan Mesir yang menjadi semakin tegas tidak lepas dari kondisi politik domestik setelah transisi rezim dari Husni Mubarak ke Omar Sulaiman. Tetapi secara sosiologis kinship feeling yang ada berkembang, apalagi kinship itu sebagai kepentingan politik dapat diakomodasi oleh rezim yang ada. Selain itu kinship terhadap Palestina semakin berkembang. Bukan saja antara Arab versus Israel, tetapi Islam versus Yahudi- Israel dan AS sebagai sekutunya. Hal ini terlihat dalam bagaimana semua negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam mendukung kemerdekaan dan pengakuan hak penuh Palestina di PBB.

Posisi Strategis Palestina

Entah perjuangan Palestina kali ini berhasil atau tidak, gelombang revolusi di negara-negara Arab menjadi trigger penting dalam menyulut kinship feeling di negara-negara Arab agar menjadi semakin solid dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Tentu saja hal ini membawa Palestina pada suatu babak dimana posisi tawar yang dimiliki oleh Palestina adalah suatu hal yang baru dan lebih kuat daripada sebelumnya. Jika negara-negara Arab pada akhirnya lebih memilih kinship feeling daripada kepentingan-kepentingan nasional dan pilihan-pilihan rasional yang menyebabkan dukungan terhadap Palestina bagai “tarik-ulur”, maka tidak diragukan lagi bahwasannya garis-gagal imajiner yang dibayangkan oleh Huntington benar adanya. Jika demikian, maka seharusnya hal ini dapat menjadi batu loncatan strategis yang sangat baik bagi Palestina yang telah sekian lama mengupayakan kemerdekaan dan hanya mendapatkan kekecewaan. Tetapi sekali lagi hal ini masih berupa wacana, penulis lebih senang melabelinya sebagai wacana posisi strategis Palestina, mengingat potensi apa yang akan terjadi pada Palestina di PBB dapat berupa opsi yang sangat luas dan tidak segampang itu diprediksikan.

Palestina nampaknya cukup cerdik dalam melihat fenomena ini, proposal agar Palestina dapat diterima sebagai anggota yang memiliki hak suara secara penuh, dan menyadari besar dukungan yang ada merupakan langkah awal Palestina menuju kemerdekaan. Ada baiknya mereka yang berkepentingan pada politik domestik palestina, yaitu Fatah dan Hamas meredakan konflik demi pencapaian yang lebih besar, yaitu kemerdekaan Palestina secara penuh.

Pluralisme di Ujung Tanduk?

“yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme?” (bahan renungan)

Sebuah Wacana Sensitif

Ketika kata “pluralisme” disajikan pada telinga anda, kira-kira apa yang pertama kali muncul dalam benak anda? Keberagaman? Kebersamaan? Atau bahkan ketidakpastian dalam memilih suatu iman kepercayaan secara spesifik? Arti dan definisi dari kata pluralisme ini begitu luas dan multi-interpretatif, bahkan karena begitu multi-interpretatifnya kata ini, salah satu institusi keagamaan yang ada di Indonesia mengharamkan terminologi pluralisme. Yang menjadi pertanyaan adalah, kalau bukan pluralisme yang “katanya” haram, lantas bagaimana kita menghadapi bangsa Indonesia yang sedemikian plural ini? Apa yang dapat kita gunakan sebagai pemersatu bagi bangsa yang kadar pluralitas-nya cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Tentu pengartian yang berbeda tidak saja membawa wacana yang sensitif ini pada perdebatan panas, tetapi juga berpotensi berujung pada aksi-aksi kekerasan bernuansa SARA yang dalam satu dekade ini menjadi semakin intensif.

Meningkatnya intensifitas isu dan bahkan insiden berbau SARA dalam waktu dekat ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di berbagai belahan Indonesia. Pro kontra adalah suatu hal yang tidak terelakkan mengingat definisi mengenai pluralisme pun masih kabur. Sebagian menyatakan haram, dan sebagian lagi menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu hal wajib demi menopang ke-bhinneka-an identitas di Indonesia. Kasus GKI Yasmin, Penusukan pendeta HKBP, Ahmadiyah, dan pengeboman Masjid di Cirebon, seharusnya dapat menjadi refleksi bagi kita, warga negara Indonesia. Bahwasannya ke-bhinneka-an kita memang benar-benar ada di ujung tanduk. Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya wacana pluralisme ini.

Redefinisi Pluralisme

Dengan keberadaan ke-bhinneka-an yang sedang berada pada ujung tanduk ini, maka seharusnya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme ini semakin digalakkan. Dengan digalakkan-nya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme maka bukan tidak mungkin terjadi kesaling-pahaman antara mereka yang menganut paham fundamental dan liberal. Bagi penulis secara pribadi pluralisme bukan saja penting, tetapi adalah suatu keharusan untuk menjalani hidup bersosial pada masyarakat yang tingkat pluralitasnya begitu tinggi seperti di Indonesia ini, jika tidak perpecahan yang berlandaskan SARA di masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme? Maka dari itu perlu dilakukan redifinisi yang melibatkan mereka-mereka yang tidak setuju terhadap pluralisme sebagai paham pemersatu bangsa.

Redefinisi pluralisme bagi penulis dapat dilakukan dengan langkah pertama yaitu memahami penolakan kaum fundamentalisme terhadap terminologi pluralisme. Penolakan utama mereka adalah asumsi kasar pluralisme yang menolak adanya kebenaran tunggal. Penolakan terhadap kebenaran tunggal ini mengancam esensi keimanan yang utama dimata mereka. Bagi penulis penolakan mereka cukup rasional, tetapi untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia penulis kira, kita tidak harus sampai menolak adanya kebenaran tunggal.

Unsur pluralisme terpenting yang harus ditekankan pada kondisi yang ada di Indonesia adalah toleransi. Apakah bertoleransi harus menolak kebenaran tunggal? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak untuk percaya pada kebenaran tunggal tertentu, tetapi diiringi dengan semangat toleransi dan saling menghargai yang tinggi antar umat beragama.

Sebagai contoh realistis saja, seorang Kristen wajib hukumnya untuk mempercayai Yesus/Isa Almasih sebagai putra Allah sebagai sebuah kebenaran tunggal yang mutlak. Seorang Muslim tentu tidak sependapat, apalagi umat Hindu dan Buddha. Seorang Muslim wajib hukumnya untuk beriman pada Allah SWT dan nabi-Nya Muhammad SAW, yang tentu menolak kepercayaan Kekristenan bahwa Yesus adalah putra Allah. Tetapi lepas dari itu semua, adakah dari ajaran agama kita masing-masing yang mengajarkan membenci seseorang dan tidak toleran terhadap kegiatan ibadahnya oleh karena perbedaan paham akan kebenaran? Sebagai seorang yang mengamini sila pertama dari Pancasila tentu kita harus bersandar pada kebenaran tunggal tertentu. Dengan bersandar pada kebenaran tunggal tertentu maka wajib hukumnya kita menolak kebenaran tunggal yang ditawarkan agama lain, tetapi ketidak-setujuan kita janganlah menjadi penghalang untuk saling mengasihi dan menghormati satu dengan yang lainnya.

Perbedaan, Pluralisme, dan Kasih Sebagai Pemersatu

Pluralisme menjadi berbahaya jika kita terlalu ekstrim dalam memahami tanpa mencerna makna fundamental dari pluralisme itu sendiri. Setidaknya redefinisi pluralisme dapat menunjukkan pada kita bahwa toleransi dalam suatu perbedaan itu luar biasa indah. Ketika Hanung Bramantyo pada slogan dalam film terbarunya “?” (Tanda Tanya) mengatakan “Masih Pentingkah Perbedaan?”. Jika diperbolehkan berpendapat bagi penulis perbedaan itu penting. Kita ada karena kita berbeda. Tetapi lebih dari itu semua gunakanlah kasih dan toleransi sebagai pemersatu bangsa yang penuh dengan perbedaan ini.

Senin, 27 Juni 2011

Libya: Antara Intervensi Kemanusiaan dan Global Governance

Robin Riwanda Mandagie

Penstudi Tata Kepemerintahan Global, Centre of Global and Strategic Studies (CSGS), Departemen Hubungan Internasional- Universitas Airlangga

Bad news is good news- Slogan ini menjadi sebuah realitas yang tidak dapat dihindari ketika media “mengeksploitasi” berita mengenai pergolakan yang terjadi di Mesir yang menuntut Mubarak untuk mundur dari kepemimpinannya. Bukan saja menjadi goodnews bagi media karena mendapat bahan headlines, tetapi juga bagi negara-negara lain dimana opresi dilakukan oleh kepala negara terhadap rakyatnya. Semangat emansipatoris, atau semangat pembebasan layaknya bagai sebuah domino sebagaimana diungkapkan pertama kali oleh presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 1954, Dwight Eisenhower, terjadi pada negara-negara diujung utara Afrika, mulai dari Maroko sampai Yaman, dan tidak terkecuali Libya. Yaitu penuntutan mundur terhadap Kolonel Muamar Gaddafi. Persoalan vertikal domestik antara pemimpin Libya dengan rakyatnya dengan sekejap menjadi persoalan global ketika AS dengan sekutunya membombardir Libya sejak 19 Maret 2011. Alasan utama AS dalam melakukan manuver militer adalah sederhana, oleh karena permintaan Liga Arab untuk memberlakukan no-flight zone di Libya pada 12 Maret 2011.

Dilema Intervensi Kemanusiaan

Pembenaran dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan berbagai negara anggota sekutu lainnya dalam membombardir Libya mungkin terkesan klise, yaitu intervensi kemanusiaan oleh karena beberapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dilkukan oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Tetapi latar belakang penyerangan pasukan sekutu ini di-backing oleh justifikasi yang kuat, yaitu resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada tahun 1973 untuk mencegah “ulah” Gaddafi lebih lanjut terhadap masyarakat di Benghazi. Frase “Take all necessary measures to protect civilian” ternyata diartikan secara literal oleh Amerika Serikat dan sekutunya ketika protes terjadi secara masal yang juga tidak lepas peran media dalam menyebarkan “virus protes” terhadap pemerintah pada negara-negara di sekitar kawasan Timur Tengah. J.L Hozgrefe (2003) dalam tulisannya “Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas” mengatakan bahwa intervensi kemanusiaan adalah tindakan yang melegalkan penggunaan senjata dan kekerasan militer untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah, bahkan melegalkan menyerang suatu Negara tertentu tanpa melihat prinsip-prinsip kedaulatan.

Disinilah poin penting dari dilema intervensi kemanusiaan, selain alasan-alasan mulia untuk melindungi warga sipil libya, tidak-mungkin-tidak AS tidak memiliki “udang dibalik batu”, yang tentunya tidak segampang itu AS dan sekutunya mau untuk mengeluarkan biaya operasi militer yang pastinya sangat mahal. Selain itu “maksud mulia” AS dan sekutunya untuk melindungi warga sipil Libya, justru dalam beberapa operasi militer terhitung sejak 19 Maret lalu, sudah puluhan, dan bahkan hamper mencapai ratusan korban warga sipil yang seharusnya mereka lindungi dari Gaddafi. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi kemanusiaan tidak hanya berbau politis, tetapi juga mengancam konsep kedaulatan negara-bangsa. Ditambah dengan era globalisasi, intervensi kemanusiaan menunjukkan konsep kedaulatan negara-bangsa sudah usang, digantikan oleh kedaulatan PBB, menuju suatu konsep global governance, atau suatu konsep tata kepemerintahan secara global.

Libya dan Global Governance: Sebuah Pintu Masuk dalam Menyadarkan Masyarakat Dunia

Sejak konsep tata kepemerintahan global atau global governance ini menjadi sesuatu yang booming ketika Preisden AS Woodrow Willson mengutarakan “The Fourteen Points”, yang merupakan cikal bakal dari pembentukan lembaga global governance terbesar saat ini, PBB, tidak sedikit yang bersikap pesimis akan efektifnya lembaga global governance, bahkan Dean Acheson, mantan menteri luar negeri AS mengatakan bahwa akan sangat idiot jika seseorang percaya pada efektifitas PBB (Carneiro, 2004). Tetapi kasus Libya, dan bahkan kasus-kasus intervensi kemanusiaan sebelum Libya menunjukkan bahwa era globalisasi membuat kepentingan dan persoalan domestik suatu Negara, menjadi suatu persoalan global, dan kasus Mesir yang kemudian berdampak pada Libya menunjukkan pada kita betapa senakin renta-nya konsep kedaulatan negara-bangsa, dan satu-satunya solusi yang dapat dipikirkan oleh Liga Arab dan kemudian diteruskan kepada DK-PBB adalah menerapkan konsep global governance dalam topeng intervensi kemanusiaan. Atas alasan apa? Tentu alasan utama mereka adalah stabilitas tatanan politik regional di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Tetapi tetap segala sesuatunya kembali kepada anda semua, para pembaca yang budiman. Apakah anda tetap percaya pada konsep tradisional-klasik tentang kedaulatan negara? Atau kasus Libya ini merupakan bukti bahwa dalam era globalisasi, sebuah tata kepemerintahan global sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas global? Silahkan memilih.


Referensi:

Holzgrefe. J.L.(2003). "The Humanitarian Intervention Debate." Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemnas. Ed. J.L. Holzgrefe and Robert O. Keohane. Cambridge: Cambridge University Press.

Carneiro, Robert L. (2004). "Political Unification of The World: Whether, When, and How-- Some Speculations". Cross-Cultural Research. Sage Publications

Problematika Regionalisme Afrika: Konflik Sudan di Darfur dan Collision of Interest dari Negara-Negara Core

Robin Riwanda Mandagie

Prolog
Benua dan kawasan yang memiliki negara-negara low developing terbanyak adalah Afrika. Sejak awal kemerdekaan, konflik terus menerus terjadi di kawasan yang secara sumber daya alam, memiliki daya yang cukup besar ini. Konflik-konflik yang terjadi di negara-negara Afrika, tentu berhubungan dengan berbagai macam faktor seperti permasalahan legitimasi pemerintahan, perbedaan threat perspective, dan konsepsi peran nasional untuk keamanan regional secara umum. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan regional di Afrika seperti yang sudah di elaborasi di atas, ditambah dengan kekayaan sumber daya alam Afrika yang begitu hebat, maka tidak heran sering terjadi pergesekan-pergesekan kepentingan dari negara-negara non-Afrika, yaitu negara-negara core seperti Amerika Serikat, Cina, Inggris, dll.
Dalam esai kali ini akan dibahas mendalam secara khusus pada suatu negara tertentu yaitu Sudan, sebagai contoh nyata akan bagaimana negara-negara core menggunakan isu-isu ketidakstabilan politik dan keamanan di negara-negara Afrika dalam memperoleh kepentingan-kepentingannya yang dalam kasus di Sudan adalah kepentingan masalah energi, yaitu minyak.
Sebelum era national revival yang terjadi di negara-negara Afrika dengan ideologi Pan-Africanismnya, Sudan masih ada dibawah pengaruh Mesir yang mulai menganeksasi Sudan pada tahun 1899, yang dimana Mesir pada saat itu juga masih ada dibawah pengaruh imperialisme oleh Inggris yang mulai masuk dan mengambil alih beberapa kepentingan pada tahun 1916, yaitu 17 tahun setelah salah satu negara protektoratnya (Mesir) mulai mengokupansi Sudan . Sejak eksplorasi oleh pemerintah Inggris, dan Sudan secara De Facto dan De Yure merdeka (lebih tepatnya dilepaskan) dari Inggris pada tahun 1959, semakin banak negara-negara yang mulai mengarahkan perhatiannya pada Sudan. Hal ini bertambah “ramai” ketika setelah dieksplorasi, ternyata di Sudan ditemukan sumber minyak yang cukup banyak dan hal ini tentu menarik perhatian banyak negara-negara industrial besar seperti Amerika Serikat dan Cina. Lantas bagaimana cara negara-negara ¬core untuk memperoleh minyak yang ada di Sudan? Salah satu cara adalah dengan mengandalkan ketidakstabilan politik yang ada di Sudan. Contohnya adalah konflik “gencocide” yang dituduhukan oleh International Criminal Court (ICC) kepada presiden rejim Janjaweed (milisi Arab), yaitu Presiden Omar Al-Bashir atas dugaan pembantaian masal terhadap 200.000 warga Darfur, dan menyebabkan jutaan warga Darfur untuk menungsi dan kehilangan tempat tinggalnya .

Konflik Darfur
Berbeda dengan beberapa civil war yang pernah terjadi di Sudan, Konflik bersenjata yang terjadi di Darfur bukan disebabkan oleh permasalahan konflik tradisional Sudan yaitu konflik agama. Konflik yang tepatnya terjadi di Darfur ini disebabkan murni bukan atas konflik agama, tetapi konflik etnis yang disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yang memberikan stimulus terhadap potensi-potensi konflik yang ada di Darfur.
Faktor utama penyebab pecahnya perang saudara di Darfur menyangkut dengan faktor-faktor survival bagaimana hidup di dalam realm Afrika yang sangat konfliktual. Konflik ini disebabkan oleh permasalahan dasar survival, yaitu kekeringan, overpopulation, dan desertifikasi . Oleh karena tiga faktor ini, para nomaden pastoralis Baggara (dalam bahasa Arab Baqqara) mulai mencari persediaan air ke arah selatan. Di daerah dimana para nomaden Baggara itu berusaha mendapatkan persediaan airnya, terjadilah “gesekan” dengan penduduk asli yang mayoritas adalah bangsa Afrika berkulit hitam. Karena adanya akar-akar konflik dalam sentimentil etnis antara masyarakat Afrika berkulit hitam dengan nomaden Baggara yang merupakan bagian dari ras Arab, akhirnya konflik terbuka pun meletus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 dua kelompok bersenjata melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Sudan yang pada saat itu didominasi oleh etnis ras Arab. Dua kelompok pemebrontak itu adalah Justice and Equality Movement (JEM) dan Sudanese Liberation Army/Movement (SLA/SLM). Kekerasan-kekerasan kerap terjadi dari tahun tersebut sampai pada masa sekarang, dan hal ini menyebabkan instabilitas politik dan keamanan yang ada di Darfur.
PBB menyatakan bahwa korban yang disebabkan oleh konflik yang terjadi di Darfur berjumlah 200.000 sampai 500.000. PBB juga menyatakan bahwa akibat konflik yang terjadi di Darfur, sekitar lebih dari 2.000.000 orang kehilangan tempat tinggalnya dan terpaksa mengungsi ke daerah teritorial Chad . Oleh karena alasan pertimbangan kemanusiaan yang serius, maka ICC menetapkan bahwa tersangka utama dari konflik yang ada di Darfur adalah presiden Sudan, yaitu Presiden Omar Al-Bashir.


Kepentingan Yang Beradu: Smoothness of China’s Art of War & Hardness of America’s Neoconservatism

Setelah ditemukannya “hotspot” mengenai kandungan minyak yang terdapat pada laut merah yang merupakan bagian dari wilayah perairan Sudan, maka negara-negara core industrial seperti Amerika Serikat dan Cina mulai mengarahkan pandangan foreign policy-nya kepada Sudan. Dalam mencapai kepentingan minyak yang ada di Sudan, Cina memanfaatkan salah satu strategi Sun Tzu “是故百戰百勝,非善之善者也;不戰而屈人之兵,善之善者也” Yang berarti menang (gain) yang baik adalah menang tanpa peperangan (battle) .
Dengan Mengadopsi strategi Sun Tzu dalam buku Art of War-nya, dalam mencapai kepentingan minyaknya di Sudan, Cina melakukan pendekatan yang halus terhadap pemerintah Sudan, dan berupaya bagi Sudan agar Presiden Omar Al-Bashir tidak sampai masuk dalam penghakiman oleh ICC. Oleh karena itu Cina berupaya untuk menggandeng pemerintahan resmi Sudan dan mengupayakan (memanfaatkan) pula konflik yang Darfur agar diselesaikan dengan menawarkan diri menjadi mediasi antara pihak pemberontak dengan pemerintah. Dengan demikian Cina akan mendapat “hati” Sudan, yang akan menghantar Cina untuk mendapatkan kesempatan untuk mengeksploitasi minyak secara dominan (saham Cina atas minyak yang ada di Sudan sebesar 40%) yang ada di laut merah daerah perairan Sudan . Dalam pembelaanya terhadap dukunganya terhadap Sudan, didepan ICC, Cina mengatakan bahwa tidak baik jika terus menerus menekan pemerintah resmi Sudan, khususnya rezim Omar Al-Bashir. Dalam segi ini Amerika Serikat menuduh bahwa Cina tidak melakukan apa-apa (apatis) terhadap krisis kemanusiaan yang ada di Darfur, Sudan.
Bukan hanya Cina seorang diri yang memiliki kepentingan akan minyak yang ada di Sudan. Amerika Serikat juga mengindikasikan dalam perilakunya bahwa Amerika Serikat juga meninginkan minyak yang ada di Sudan. Tetapi kendalanya adalah Amerika Serikat tidak berhasil dalam merebut hati Sudan seperti Cina merebutnya. Beberapa hari sebelum serangan teroris pada Amerika Serikat pada peristiwa 11 September 2001, yaitu tepatnya pada tanggal 6 September 2001 Presiden George W. Bush mengirimkan utusannya yaitu John Danforth (seorang mantan senator Amerika Serikat) untuk membuat empat point kesepakatan dengan Sudan mengenai perang sipil 18 tahun yang melanda Sudan. Dalam tujuannya mengirimkan Danforth ke Sudan, Amerika Serikat menyimpan agenda yang sama dengan Cina, yaitu bagaimana merebut perhatian Sudan. Ternyata pada akhirnya Danforth gagal memenuhi tujuan utama itu . Oleh karena itu Amerika Serikat mengubah haluan strateginya. Amerika Serikat yang dahulu ingin melakukan pendekatan yang halus untuk mendapatkan bagian dari minyak Sudan kini “terpaksa” menggunakan cara-cara neokonservatif khas Amerika Serikat yaitu melakukan tindakan-tindakan “pre-emptive” dengan menuduh Omar Al-Bhasir atas genocide yang terjadi pada tahun 2003 hingga sekarang yang menewaskan sekitar 200.00 sampai 500.000 orang di Darfur. Amerika Serikat pada akhirnya memanfaatkan konflik Darfur yang terjadi tahun 2003 untuk menjadi batu lompatan agar dengan melalui ICC dalam tempo kepentingan jangka panjang, Amerika Serikat (mungkin) dapat menganeksasi Sudan dan mendapatkan minyaknya secara total . Tidak seperti Cina, yang meskipun sebagai dominator dalam saham minyak di Sudan, Cina hanya mendapatkan 40% saham atas minyak yang terkandung dalam perairan Sudan. Sedangkan Amerika Serikat berupaya (secara halus) untuk meruntuhkan rezim Omar Al-Bashir yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat (ditolaknya Danforth), dengan menggunakan konflik di Darfur dan ICC sebagai alat untuk mencapai kepentingan totalnya terhadap minyak yang terkandung dalam teritorial perairan Sudan.

Reaksi Sudan Terhadap Kebijakan Luar Negeri Cina dan Amerika Serikat Terhadap Dirinya
Menaggapi sikap Cina dan Amerika Serikat yang terlihat begitu ingin mendapat bagian dalam kandungan minyak yang terdapat pada satu blok perairan yang ada di laut merah daerah teritorial perairan Sudan ini, pemerintah Sudan mengisyaratkan tendensinya pada Cina. Begitu pula dengan rakyat Sudan yang menggelar demonstrasi besar-besaran di Khourtum ibukota Sudan. Meskipun tidak menunjukan dukungannya pada Cina, demonstrasi besar yang terjadi di Khourtum mengutuk keras sikap Amerika Serikat yang dinilai “sembarangan” menuduh dalam forum ICC.
Tetapi bagi Cina, pemerintah Sudan secara resmi sangat membuka diri terhadap investasi saham Cina sebanyak 40% dalam sektor pertambangan minyak. Kedekatan antara Sudan dan Cina juga membuat kontrak investasi itu berjalan lancar. Cina dalam sekitar jangka waktu 20 tahun akan menanamkan modalnya pada Sudan, dan perjanjian itu diawali dengan pembukaan eksploitasi minyak yang dalam pembukaanya disetujui selama enam tahun. Bukan hanya itu saja, dalam konflik bersenjata yang terjadi di Darfur, dalam temuan terakhirnya pihak Amerika Serikat mensinyalir bahwasannya 90% senjata yang ada dalam konflik di Darfur adalah buatan Cina . Hal ini tentu secara tidak langsung mengindikasikan bahwasannya hubungan antara Cina dengan Sudan bukan saja baik, tapi “sangat” baik. Mengapa dikatakan demikian? Kerjasama yang dilakukan antara Cina dengan Sudan sudah tidak lagi dalam ranah ekonomi, tetapi sudah memasuki ranah pertahanan dan militer, yang level-nya lebih tinggi daripada kerjasama ekonomi biasa. Hal ini tentu saja membuat Amerika Serikat menjadi geram atas sikap Sudan dan Cina.

Efek Konflik Sudan Terhadap Masalah Keamanan Regional Afrika
Permasalahan yang terjadi di Sudan meskipun dalam kasus Darfur adalah permasalahan dalam tingkat nasional, tetapi dengan adanya inseminasi campur tangan oleh negara-negara core, maka konflik Darfur berdampak bagi dunia internasional. Dari sisi regionalpun, konflik yang terjadi di Darfur mempengaruhi hubungan antara Sudan dengan Chad. Chad dituduh oleh Sudan bahwa Chad membantu kelompok pemberontak untuk mengungsikan kelompoknya ke daerah teritorial Chad. Chad menampik tuduhan Sudan dengan alasan bahwa yang dilakukannya adalah berdasarkan kemanusiaan. Dengan adanya permasalahan baru antara Chad dengan Sudan yang disebabkan oleh permasalahan nasional semata, maka tidak menutup kemungkinan konflik bilateral antara Sudan degan Chad dapat berkembang menjadi konflik regional berdasarkan asas teori konsepsi peranan nasional.



Sources:
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/16/the-guardian-minyak-motif-amerika-di-sudan/ diakses pada 26 April 2009
http://www.youtube.com/watch?v=rpGNzb4FzYw&feature=related diakses pada 26 April 2009
Looking to water to find peace in Darfur". Reuters AlertNet. 2007-07-30. http://www.alertnet.org/db/blogs/1265/2007/06/30-100806-1.htm diakses pada 26 April 2009
Darfur: A ‘Plan B’ to Stop Genocide?". US Department of State. 2007-04-11. http://www.state.gov/p/af/rls/rm/82941.htm diakses oada 26 April 2009
Sun Zi's The Art of War text translated by Dr Han Hiong Tan 2001
http://www.kapanlagi.com/h/0000179496.html diakses pada 26 April 2009
John Prendergast, Senator Danforth’s Sudan Challenge: Building a Bridge to Peace, African Notes Number 5, January, 2002
http://farid1924.wordpress.com/2008/08/12/rebutan-minyak-dibalik-krisis-sudan/ diakses pada 26 April 2009
China - Sudan 90% of the weapons for Darfur come from China - Asia News". Asianews.it. http://www.asianews.it/index.php?l=en&art=11773. diakses pada 26 April 2009

Jumat, 08 April 2011

Otoritas Global demi Keberlangsungan Global: Kajian Teleologi Terhadap Global Sense of Survival

Robin Riwanda Mandagie



Salam damai



Sudah beberapa bulan ini saya menganggur tidak bersentuhan sama sekali dengan yang namanya tulisan dan jurnal ilmiah dalam bidang studi yang saya tekuni selama 3,5 tahun ini, yakni Hubungan Internasional. Tangan terasa nyeri ketika tidak ada beberapa frase sedikitpun yang dapat saya tuangkan dalam bentuk tulisan-tulisan ke-galau-an (menggunakan istilah populer dikalangan ABG) pemikiran saya yang terus-menerus menjadi final cause dalam kehidupan ber-akademis saya selama ini.

Ya, Hubungan Internasional. Kali ini saya sedikit bebas menulis karena tidak terikat oleh aturan-aturan moderen dalam tata cara penulisan ilmiah. I am being myslef, dan being myself ini sangat saya butuhkan dalam menuangkan pemikiran-pemikiran yang saya pendam selama ini.

Bidang studi apapun, pemikiran apapun, atau agama apapun tidak bisa tidak memiliki sebuah final cause yang sama, global, dan holistik, yang adalah salah satu sub-sistem dalam filosofi humanisme. Yaitu survival. Ketika sense of survival ini muncul sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, maka elemen-elemen yang ada didalam diri manusia tidak dapat tidak dipengaruhi oleh survival sebagai natural sense dari manusia. Agama contohnya mengajarkan orang untuk berbuat baik, mendapatkan banyak pahala, dengan iming-iming apa? Tentu dengan iming-iming afterlife survival. Entah liberalisme atau marxisme, entah ilmu eksak atau ilmu sosial, modernisme atau posmodernisme, semuanya muncul dan ada karena final cause yang tidak terelakkan ini. Sense of survival.

Masuk dalam bahasan area of expertise saya sebagai seorang penstudi Hubungan Internasional, maka saya akan membawa sense of survival ini ke ranah hubungan antar bangsa. Hubungan antar bangsa, atau lebih tepatnya hubungan antar negara bangsa menjadi sebuah sistem hubungan yang memiliki pola moderen ketika negara bangsa menjadi sistem yang baku sejak perjanjian Westphalia pada tahun 1648, yang dalam perkembangannya sistem negara bangsa ini berdampak besar pada lahirnya aliran realisme dan turunannya neo-realisme yang secara garis besar menekankan bahwa hubungan internasional adalah hubungan antar negara-negara nyang berdaulat, yang mana pilihan-pilihan yang rasional-lah yang men-drive suatu negara dalam membentuk pola interaksinya dengan negara lain. Dalam ranah pola hubungan antar negara, disinilah letak sense of survival­-nya, bagaimana suatu negara dengan negara lainnya saling berinteraksi demi memenuhi kepentingan-kepentingan survival mereka, entah dengan ber-poker face dengan gaya liberal dan neo-liberal, berhati-hati seperti gaya realis, atau terlalu jujur seperti seorang neokonservatif, dalam ranah sense of survival, secara teleologis, tidak membedakan antara realis, liberal, dan neokons, karena final cause mereka sama.

Sudah jelas sebelumnya bahwasannya sense of survival lah yang membentuk pola interaksi negara bangsa, sebagaimana negara bangsa itu terbentuk. Ya, jika anda membaca tulisan-tulisan Hobbes dan Locke tentang kontrak sosial, maka anda akan mengetahui bahwasannya negara bangsa terbentuk oleh karena ketakutan mereka-mereka yang tergabung sebagai warga negara pada kondisi sebagaimana yang dikatakan oleh Hobbes (1651) sebagai State of Nature, sebuah keadaan dimana situasi dan kondisi yang ada adalah liberalisme absolut, dimana anarki dan chaos memenuhi realm dari state of nature ini. Sebuah keadaan tanpa hukum ataupun tatanan tertentu, yang kuat-lah yang menang. Maka dari itu, didorong oleh sense of survival (yang tentu tidak hanya dipikirkan oleh mereka yang kuat tetapi juga yang lemah), secara kolektif mereka-mereka ini, tidak peduli yang kuat atau yang lemah mengkonstruk sebuah sistem yang berlandaskan kolektivisme individu, yaitu sebuah negara bangsa, dimana kedaulatan-kedaulatan privat yang mereka miliki dalam keadaan liberalisme absolut dalam kondisi state of nature, harus diserahkan pada suatu pihak yang dapat mereka tentukan secara konsensus (demokrasi), atau berdasarkan bloodline (monarki), atau bahkan divine mandate (teokrasi). Faktor-faktor inilah yang membentuk suatu tatanan negara bangsa yang memiliki order, lengkap dengan kedaulatan penuh yang didaptkan dari kedaulatan-kedaulatan individu didalamnya. Lantas yang jadi pertanyaan? Mengapa mereka mau membagi atau bahkan menyerahkan kedaulatan mereka seutuhnya pada sistem yang lebih besar? Tidak lain, dan tidak bisa tidak oleh karena final cause itu tadi, sense of survival.

Lantas bagaimana dengan sistem yang ada diatas negara bangsa? Yaitu sistem interaksi antar negara bangsa secara global? Tidak ada otoritas yang dapat mengekang negara-bangsa bukan? Karena segala sesuatu dikendalikan oleh pilihan rasional setiap negara. Maka ijinkan saya menggunakan term state of nature pada sistem interaksi antar bangsa yang ada. Selama beberapa dekade, atau bahkan abad ini, sistem negara bangsa terbukti sebagai sistem yang paling prevailing dalam lini evolusi struktur politik internasional. Oh apakah sistem politik internasional berevolusi? Tentu saja, kondisi state of nature dan aksi kolektif untuk menyelesaikan kondisi ini tidak hanya sekali terjadi ketika ada pemisahan otoritas antara negara dan gereja di Westphalia pada tahun 1648. Tetapi terjadi secara gradual sejak manusia itu ada sebagai suatu entitas. Mulai dari tribalisme, warlordisme, sistem kerajaan, prefektur, dan bahkan kekaisaran, hingga menuju sistem negara bangsa, dan hal ini menunjukkan dengan jelas bahwasannya sense of survival sebagai penggerak dan cause utama dari society of human untuk terus mengintegrasikan diri dan komunitasnya pada suatu tatanan yang lebih besar. Sejak manusia lahir sebagai suatu mahkluk hidup, hal ini terjadi. Inilah nature dari manusia. This is human nature.

Lantas mengapa kita masih terus menafikan suatu pemerintahan dunia tidak akan pernah terbentuk? Label pemimpi, euiforis, dan bahkan irasionalis terkadang sering dilabelkan pada kami orang-orang yang bermimpi, bahwa suatu saat pertikaian akah berakhir atau bahkan diminimalisir pada sistem yang berlaku secara global. Perlu diakui bahwasannya suatu tatanan atau sistem yang lebih tinggi tidak akan terbentuk jika tidak ada ancaman dalam sistem tersebut. Tidak akan warlordisme tanpa ancaman di sistem tribalisme. Tidak akan ada sistem kerajaan jika tidak ada ancaman di sistem warlordisme, tidak ada sistem pembagian kekuasaan secara prefektur dalam sistem kekaisaran jika tidak ada ancaman pada sistem kerajaan, dan tidak akan pernah ada sistem negara bangsa jika, otoritas-otoritas yang tumpang tindih antara kerajaan, prefektur, kekaisaran, otoritas agama, mengancam sistem yang ada pada pra-Westphalia. Jika demikian apa ancaman bagi sistem negara bangsa yang sejak 1648 sampai sekarang terbukti sebagai suatu sistem yang paling “kokoh” bertahan? Banyak sekali, dan ini bisa dijabarkan dalam beberapa realm dan kerangka pemikiran (dan akan jadi satu Skripsi atau Thesis jika dijabarkan secara komprehensif ;p)

Mulai dari ancaman terhadap peran negara bangsa yang mulai mendapatkan “angin” kontestasi dari beberapa aktor non-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam kajian Hubungan Internasional. Peran multinational corporations (MNCs) yang semakin ekstensif. Pergeseran-pergesran dan konflik kin belonging yang melibatkna perasaan-perasaan non-rasional negara sebagaimana negara seharusnya bertindak, ambigutias otoritas yang terjadi tidak secara lokal, tetapi transnasional, dan berbagai macam lagi. Jika akhirnya negara-negara terintegrasi pada suatu sistem yang lebih besar maka lini nya tidak akan beda jauh dengan integrasi aktor-aktor politik (entah individu atau komunitas) pada era pra-Westphalia. Jika melihat pengalaman-pengalaman linin evolusi struktur politik sebelumnya, integrasi negara bangsa ke sistem yang lebih besar sama sekali tidak mustahil. Justru sangat lumrah adanya, karena entitas-entitas politik yang ada sebelumnya melakukan hal yang sama.

Hal tersebut masih dalam ranah wacana pergeseran fungsi negara bangsa, belum wacana-wacana lainnya. Saya jadi teringat ketika saya menyampaikan ide-ide dan pemikiran saya ini di kelas Globalisasi dan Strategi. Seketika itu juga dosen saya mengatakan “Tidak akan ada pemerintahan dunia kecuali ada beberapa hal yang mengancam eksistensi manusia secara keseluruhan, seperti serangan Alien dari luar angkasa barangkali” seketika itu juga suasana kelas pecah, gemuruh tawa mengglegar di seluruh ruangan kelas oleh karena pendapat dosen saya yang cukup unik dan menggelitik itu. Mungkin beberapa orang begitu mendengar perkataan dosen saya itu akan langsung berpikir mengenai dongeng-dongeng sci-fi seperti Star Trek, Star Wars, ataupun Mass Effect Series, dimana pemerintah-pemerintah yang ada diseluruh belahan bumi terintegrasi secara supranasional demi melawan ancaman ekstraterestrial dari ras non-manusia. Tentu hal tersebut tidak mustahil tetapi terlalu berlebihan jika Alien masuk dalam wacana kajian Hubungan Internasional. Tidak perlu berpikir sampai ranah ekstraterestrial untuk menemukan ancaman yang berdampak secara holistik bagi seluruh umat manusia. Ancaman itu adalah keberlangsungan umat manusia diatas bumi ini.

Akhir-akhir ini sering kita dengan gerakan-gerakan sosial seperti green movement, yang mengkampanyekan bahwa hidup Bumi akan terancam jika manusia tidak memperbaiki polah kehidupannya yang sangat ekstraktif terhadap hasil-hasil bumi. Ancaman ini dinilai oleh komunitas internasional sebagai ancaman serius maka dari itu secara kolektif negara-negara bangsa berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tetapi dari beberapa konvensi yang digelar sampai yang terakhir di Cancun, Mexico tidak membuahkan hasil yang signifikan. Negara-negara bangsa tetap dengan kekeuh mempertahankan national interest-nya tanpa ada rasa kepedulian sedikitpun terhadap negara-bangsa lain. Sense of survival? Yes it is, but not in a bigger picture. Permasalahan yang dihadapi oleh UNFCCC selalu sama, bagaimana pembagian alokasi carbon trading dan dapat ditebaki, bahwa yang selalu ada diatas angin dalam carbon trading itu justru adalah negara-negara penghasil karbon terbesar yang mana jika mereka mengurangi emisi karbonnya beberapa persen saja, maka dampaknya pada perekonomian dunia akan terasa cukup signifikan. Hal inilah yang membuat UNFCCC masih berada dalam “kesuraman”. Carbon trading jadi seperti state of nature dimana negara yang memiliki posisi tawar yang paling kuat dialah yang menang. Benar-benar liberalisme yang absolut.

Berbicara mengenai sense of survival negara-negara bangsa harus sadar bahwasannya ada matter of survival yang lebih besar daripada national interest yang saling mereka adu di UNFCCC, khususnya carbon trading forum. Permasalahan tentang pemanasan bumi lebih serius dan berbahaya dari serangan Alien. Manusia harunsya sadar akan hal ini. Mereka membutuhkan otoritas diatas negara yang dapat secara coersive memaksa negara-negara bangsa by any means neccesary untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku, demi keberlangsungan bersama sebagai mahkluk hidup. Karena sense of survival, inilah final cause kita, inilah nature kita, sebagai manusia, yang tentu juga dengan dapat diterapkannya suatu pemerintan global yang memainkan peranan otoritas global, dapat meminimalisir, atau bahkan menghentikan pertikaian dimanapun manusia berada.



Amin.

Jumat, 03 Desember 2010

Diskursus Pembentukan Global Government

Wacana Pembentukan Global Government

Robin Riwanda Mandagie



Diskursus mengenai global government bukanlah suatu hal yang baru dalam discourse realm Ilmu Hubungan Internasional. Sejak perang dunia ke-2 berakhir diskursus ini menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Sosiologi, dan berbagai macam disiplin ilmu. Tetapi yang perlu diketahui adalah bahwasannya sebelum perang dingin berakhir, wacana-wacana tentang global government masih dalam ranah heuristik, dimana proposal, usulan, dan prediksi memenuhi ranah tersebut. Albert Einstein, seorang scholar dalam ilmu pasti mengatakan “Do i fear the tyranny of a world government? Of course i do. But i fear still more the coming of another war” (dikutip dalam Ferris, 1983, p.40).



Sebuah Persoalan Kemanan Global

Pernyataan Einstein ini adalah pernyataan yang wajar dalam era post-war pada saat itu mengingat kehancuran luar biasa di berbagai belahan dunia akibat dua perang dunia sebelumnya. Bahkan dengan mengetahui potensi perang yang akan lebih hebat lagi (perang nuklir), Einstein mengungkapkan kekhawatiranya dalam kalimat yang diucapkannya tersebut. Pengandai-andaian tentang sebuah pemerintahan global yang dapat mencegah terjadinya perang terbuka yang berpotensi terjadi dalam perang dingin tidak hanya dilakukan oleh Einstein. Luis Cabrera (2010) dalam tulisannya “World Government: Renewed Debate, Persitent Challenges” mengatakan bahwa tidak sedikit scholar seperti Mauricio Nabuco, Clark M. Eichelberger, Roger N. Baldwin, dan lain sebagainya yang mengkhawatirkan greater perils dalam era perang dingin.

Setelah perang dingin berakhir dengan cara damai (maksudnya tidak jadi perang nuklir) yang mana pada era sebelum tahun 1970an tidak ada yang berani dengan tegas mempredikis hal ini, keadaan yang ada berubah. Wacana tentang pembentukkan global government tidak lagi dibentuk oleh karena ketakutan mengenai kehancuran oleh karena perang nuklir. Sejak berakhirnya perang dingin pada awal deakde 1990an, yang terjadi justru ketidakteraturan struktur dalam politik internasional. Ketidakteraturan ini ditandai dengan banyaknya perdebatan antar scholar Hubungan Internasional tentang bagaimana "rupa" dari struktur internasional dalam era post-coldwar ini. Jika dalam era coldwar manuver politik suatu negara bangsa dapat diukur dengan menarik "benang merah" pada negara patronnya (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka pada era post-coldwar manuver politik dari setiap negara-bangsa menjadi intangible dan hampir tidak dapat diukur sama sekali. Perdebatan yang mendapat perhatian besar pada era awal post-coldwar ini adalah perdebatan antara Alexander Wendt dan Kenneth Waltz, dimana Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics mengkritik "struktur internasional" yang disampaikan oleh Waltz (1979) dalam tulisannya Theory of International Politics. Masuknya argumen konstruktivisme sosial dalam Hubungan Internasional yang dipoinir oleh Wendt ini membawa harapan baru bagi para pemimpi global government. Harapan itu adalah bahwa struktur yang ada dapat di resturuksasi tergantung bagaimana para elit secara global dan kolektif menyadari seberapa penting restrukturisasi struktur internasional harus dilakukan.

Tetapi diluar perdebatan antara Wendt dan Waltz, Hedley Bull (1977) memprediksikan bahwa akhir dari coldwar tidak akan lead pada restrukturisasi struktur sebagaimana yang disampaikan oleh Alexander Wendt, tetapi akan menuju sruktur anarki yang tak terelakkan. Hedley Bull menyebut kondisi ini sebagai "Neomedievalisme", sebuah keadaan dimana negara-bangsa dalam sistem negara-bangsa moderen ini menjadi obselete, dalam arti negara bangsa akan kehilangan sovereignty, akuntabilitas, dan perannya sebagai pemegang kekuasaan otoritatif tertinggi dalam struktur internasional. Statement Bull ini didukung oleh Mark R. Duffield (2001) dalam tulisannya "Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security", Senada dengan Bull, Duffield melihat apa yang dilihat oleh Bull yaitu struktur atau sistem keamanan nasional yang bertumpukan, ambigu, dan overlapping antara pemerintah (negara) dengan otoritas-otoritas lokal yang banyak didominasi warlords, pemberontak, mafia, gangster, triad, dll. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara weak atau failed saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Hal ini bagi Duffield menyebabkan semakin blurry-nya peran nation-states atau negara bangsa sebagai patron dan pemegang kontrak sosial dari warga-negaranya. Tidak sedikit warga negara pada negara tertentu yang membayar pajak pada negara, tetapi juga masih membayar protection money dari otoritas-otoritas lokal yang ada di daerahnya. Menurut Duffield fenomena ini terjadi akibat dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi membuka banyak ruang agar demokrasi, liberalisme, dan rasa-kemanusiaan untuk semakin berkembang dalam pikiran masyarakat, demikian juga para optimis global dan kaum developmentalis. Tetapi dalam berbagai sirkumstansi hal ini justru menjadi blunder bagi optimisme dari kaum optimis itu sendiri. Dengan semakin tertanamnya demokrasi dan liberalisme, maka negara-negara yang dulunya otoritarian dituntut untuk mengurangi "represinya" demi kelancaran demokrasi. Kesempatan seperti inilah yang banyak digunakan oleh sentral-sentral power tertentu untuk bangkit dan going rogue secara massal. Bukan saja bekerja secara lokal pada region tersendiri, tetapi seiring bertambah kuatnya poros-poros kekuatan non-negara ini membuat peran negara sebagai penjaga law & order semakin pudar. Hal inilah yang dimaksudkan Duffield dan Bull sebagai neo-medievalisme, dimana sistem keamanan internasional secara global sedang memasuki dark-age yang baru. Bukan saja bertambah kuat dan membuat peran negara semakin kabur, poros-poros kekuatan non-negara ini juga membangun aliansi dengan poros-poros kekuatan di negara lain secara transnasional. Contoh dapat dilihat pada organisasi-organisasi terorisme dan kriminal seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, Sindikat Triad, dll. Sehingga peran negara sebagai kontraktor sosial yang menyediakan perlindungan bagi warga negaranya menjadi tidak lagi relevan. Perlindungan-perlindungan cenderung bersifat privat, dan disediakan oleh aktor-aktor yang secara legalitas tidak memiliki legitimasi layaknya sebuah negara.





Global Government Melalui Apa?

Meskipun tidak pernah secara langsung mengkonfirmasi tentang adanya terminologi neo-medievalisme, Amitai Etzioni mengkonfirmasi dan sekaligus mengkhawatirkan tentang kondisi struktural yang sebagaimana dideskripsikan oleh Hedley Bull dan Mark R. Duffield. Etzioni beranggapan bahwa ancaman-ancaman postmodern seperti gerakan transnational non-state authorities seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, dan Sindikat Triad, tidak akan dapat diatasi oleh negara-bangsa sebagai otoritas tertinggi dalam struktur saat ini. Maka itu menurut Etzioni diperlukannya suatu bentuk dari supranasionalisme, dengan kata lain global government yang dipimpin oleh sebuah hegemon. Etzioni melihat bahwasannya global war on terror yang dipimpin oleh Amerika Serikat membuat Amerika Serikat sangat berpotensi untuk menjadi sebuah pemimpin dalam sebuah global government (Amitai Etzioni, 2004). Begitu juga dengan Michael Mandelbaum yang mengatkan bahwa Amerika Serikat telah melakukan peran secara global yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah global government, yang tertinggal hanyalah legitimasi dari negara-bangsa lainnya kepada Amerika Serikat sebagai global government.

Jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Mandelbaum dan Etzioni, Strobe Talbott justru melihat kepemimpinan dan manuver unilateralisme Amerika Serikat justru menjadi stumbling block bagi terbentukknya integrasi global yang akan menuju pada global government. Talbott justru melihat bahwa unilateralisme Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. akan menimbulkan resistensi dari berbagai macam pihak, bahkan beberapa negara bangsa tidak akan segan untuk menyatakana ketidaksenangannya dengan unilateralisme Amerika Serikat, terutama dari dunia Muslim. (Talbott, 2008). Pada tulisan Talbott yang sebelumnya "The Birth of Global Nation" Talbott mengatakan:

"The best mechanism for democracy, whether at the level of the multinational state or that of the planet as a whole, is not an all powerful Leviathan or centralized superstate, but a federation, a union of separate states that allocate certain powers to a central government while retaining many others from themselves" (Talbott, 1993: 71)



Talbott dalam hal ini dengan jelas menolak existensi global government yang berlandaskan supranasionalisme hegemonial. Talbott lebih menghendaki global government yang berlandaskan konsensus secara global. Bagi Talbott, Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) adalah sebuah langkah yang ideal bagi terbentukknya global government.

Herbert George Wells memiliki pandangan yang berbeda dengan Talbott. Pada tulisan John S. Partington yang mengutip Wells, Wells mengatakan bahwa terbentukknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan PBB tidak akan membuat global government terbentuk oleh karena tidak akan efektif dalam menghilangkan unsur sovereignty pada setiap nation-states yang ada (dikutip dalam Partington, 2003: 237). Wells melihat bahwa integrasi Eropa akan lebih kuat sebagai dasar global government daripada PBB. Hal ini di endorse oleh Partington (2003) bahwa European Union (EU) telah mengkonfirmasi prediksi Wells, dan Partington melihat bahwa EU akan menjadi patron yang baik dalam pembentukkan global government yang berlandaskan federalisme daripada leviathan atau negara kuat yang koersif. Mungkin banyak scholar Hubungan Internasional (khususnya realis) yang akan melihat fenomena diskursus global government secara skeptis oleh karena sovereignty bagi negara-bangsa adalah hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi baik Partington maupun Wells sependapat bahwa economic interdepence yang nantinya akan lead pada economic integration akan menjadi faktor utama yang dapat membuat soverignty menjadi obsolete. Maka dari itu baik Partington maupun Wells tidak hesitate untuk memprediksi dan mencotohkan bahwa EU adalah patron dan contoh yang baik dalam mengeliminasi konsep sovereignty dalam negara. Maka dari itu tidak akan mengherankan jika integrasi regional yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya semakin marak terjadi terutama setelah coldwar berakhir. Yang patut menjadi pertanyaan renungan adalah adalah apakah intensifikasi integrasi regional yang marak terjadi (terutama oleh karena economic interdependence) berpotensi melenyapkan konsep sovereignty dan membentuk global government setelahnya? Tentu diperlukan penelitan yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini.



Referensi:

Cabrera, Luis. (2010). "Review Article: World Government: Renewed Debate, Persistent Challanges". European Journals of International Relations. Sage Publications

Bull, Hedley. (1977). The Anarchical Society: Study of Order in World Politics. Columbia University Press.

Duffield, Mark R. (2001). Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security. "Non Liberal Political Complex & The New Wars". Zed Books

Etzioni, Amitai. (2004). From Empire to Community: A New Approach to International Relations. Palgrave Macmillan. New York.

Ferris, T. (1983). "The Other Einstein". Science 83, 4(8), 34-40.

Mandelbaum, Michael. (2005). The Case for Goliath: How America Acts As the World's Government in the Twenty First Century. Public Affairs. New York.

Partington, John S. (2003). "H.G. Wells and The World State: A Liberal Cosmopolitan in Totalitarian Age". International Relations. Sage Publication.

Talbott, Strobe. (1992). "The Birth of Global Nation". Time, 20 Juli

Talbott, Strobe. (2008). The Great Experiment: The Story of Ancient Empires, Modern States, and the Quest for a Global Nation. Simon and Schuster. New York.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of International Politcs. McGraw Hill. New York.

Wendt, Alexander. (1992). "Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics". International Organization. vol.46

Revolusi Teknologi dan Perang: Masuknya Era Perang Virtual

Review Artikel "Virtual War" dalam Virtual War: Kosovo and Beyond oleh Michael Ignatieff

Robin Riwanda Mandagie,



Masuknya gelombang revolusi dan teknologi pada sistem militer membawa suatu perubahan yang besar pada sistem militer itu sendiri. Perubahan yang besar dan sistemik ini menjadi kontroversial karena struktur militer yang sudah "pakem" menjadi serba efisien, presisi tinggi, dan efektif, yang mana membuat resorce untuk militer yang dulu membutuhkan banyak sekali sumber daya, dengan adanya revolusi teknologi, baik sumber daya, waktu, dan strategi menjadi lebih sederhana dan efektif. Michael Ignatieff mengambil suatu contoh kasus revolusi teknologi yang terjadi di sistem militer Amerika Serikat, yaitu Revolution in Military Affairs (RMA). Review ini akan membahas bagaimana militer Amerika Serikat sebagai founder dari revolusi militer, menghadapi shifting structure dalam lembaga militernya, dan serta membahas bagaimana revolusi teknolgi yang terjadi di militer Amerika Serikat membawa dunia pada "sistem perang" yang baru, yaitu perang virtual.

Kebutuhan manusia untuk segala sesuatu yang simple, efisien, dan efektif telah membawa masyarakat dunia pada era revoulsi informasi dan teknologi yang sedang berlangsung pada saat ini. Compression dalam segala aspek-pun mulai di-invent oleh para scientists, dan militer termasuk dalam aspek yang terkena dampak revolusi teknologi dan informasi. Keinginan untuk efisiensi sumber daya dan meningkatkan efektifitas dalam berperang memang diinginkan oleh semua negara, akan tetapi Amerika Serikat-lah yang pertamakali mengimplementasikan cara-cara bagaimana untuk membuat peperangan menjadi efisien dan efektif. Michale Ignatieff mencontohkan dalam artikelnya ketika Amerika Serikat menghancurkan jembatan Thanwa di Vietnam pada tahun 1972. Saat inilah ditemukannya Peluru Kendali (Rudal). Rudal ini ditembakkan dari pesawat yang mana rudal ini dikendalikan oleh seorang teknisi dari jarak jauh dengan kamera yang ditempelkan pada ujung rudal. Virtualisasi untuk menentukan target semacam ini bagi Ignatieff menjadi turning point dari classical engagement ke era perang virtual dengan precision weaponry. Presisi dan efisiensi pertempuran pada jembatan Thanwa membawa Amerika Serikat untuk lebih semangat dalam mengembangkan teknologi presisi dan efisiensi. Hal ini terlihat hanya dalam beberapa dekade Amerika Serikat telah mengembangkan beberapa peralatan tempur canggih yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebut saja cruise missile, unmaned drone, E-8 Joint Stars, dan lain sebagainya, adalah inovasi terbaru dalam militer Amerika Serikat. Prajurit tidak lagi bertarung dalam battlefiled, tetapi untuk meminimalisir korban dalam pihak sendiri dan pihak musuh (menghindari "pembunuhan yang tak perlu"), peperangan dilakukan melalui kamera, dan dengan teknologi presisi tinggi. Sehingga perang yang dahulunya "fakta" bagi para prajurit Amerika Serikat, dengan adanya revolusi teknologi dan RMA, perang menjadi "virtual" bagi prajurit dan segenap elemen militer Amerika Serikat.

Revolusi teknologi dalam militer Amerika Serikat secara integral tidak hanya terjadi pada peralatan perang saja, tetapi juga berdampak pada strategi militer Amerika Serikat. Kontroversi terjadi dalam hal ini, dimana dengan adanya RMA, berarti pengempisan bagi banyak divisi militer. Bilamana prajurit diperlukan ketika misil yang dilengkapi dengan rudal yang ditembakkan dari kejauhan ribuan mil dapat melululantahkan satu sasaran? Tentu saja pengempisan, karena hal itu berarti efisiensi. Demikian pula dengan pola penyerangan. Jika dulu Amerika Serikat sangat Clausewitzean dengan menerapkan "total war" (menyerang tepat pada musuh dan meluluhlantakan aspek militer musuh) dalam menghancurkan musuh, kini wacana tentang pergantian straegi yang lebih efisien mulai marak dibicarakan dikalangan pejabat Pentagon. Bagi Ignatieff virtual war tidak akan lengkap jika hanya diimplementasikan dengan shift dari pertempuran tradisional (battlefield battle) ke pertempuran virtual melalui kamera. Satu lagi elemen penting dari perang virtual adalah dengan mengacaukan informasi lawan, yakni bagaimana virtualisasi lawan menjadi target utama dalam suatu pertempuran. Ignatieff mengatakan bahwa strategi postmodern merupakan salah satu strategi utama dalam perang virtual, yang berarti memprioritaskan penyerangan pada nerve center musuh daripada ke musuh itu sendiri. Virtualisasi peperangan tidak hanya dimiliki Amerika Serikat (meskipun inisiatif pertama adalah Amerika Serikat). Maka dari itu strategi utama menyerang nerve center dari musuh membuat re-kreasi dari fog of war yang hilang akibat virtualisasi musuh. Dalam perang virtual misi utama adalah membuat musuh menjadi buta dengan menyerang nerve center seperti menebar virus ke sistem komputer lawan, menghancurkan sistem komunikasi, dan sistem pembangkit listrik. Tanpa sarana berikut fog of war dapat dikreasikan kembali pada lawan.

Dengan maraknya virtualisasi dalam peperangan sebagaimana diutarakan oleh Ignatieff, maka akan lebih mudah bagi publik untuk mengetahui dan bahkan berpartisipasi dalam perang. Sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ignatieff bagaimana strategi postmodern itu bermain jika penyerangan terjadi pada nerve center dan disebarkan oleh media sehingga menciptakan suatu teror tertentu pada lawan. Pelibatan media disini menggeser konsepsi perang yang dahulu adalah generals-elit centric, kini mencapai irisan dengan public, jadi dapat disebut juga trinitas generals-elit-public centric dalam perang virtual, yang banyak melibatkan ranah kognitif dari publik. David S. Alberts dalam tulisannya Understanding Information Age Warfare membuat tipologi kerangka berpikir peran publik dalam perang virtual, dan membaginya dalam tiga domain, yaitu domain fisik, informasi, dan kognitif yang ketiganya saling berdampak satu dengan yang lainnya. [1]




Domain fisik disni berarti bagaimana realitas sesungguhnya yang terjadi di battlefield dimana strategi postmodern (penyerangan terhadap nerve system) dialkukan. Kemudian domain informasi adalah bagaimana media mem-virtualisasikan kondisi yang ada pada domain fisik. Disini (biasanya) strategi perang virtual dibentuk dengan visualisasi dari domain fisik yang dikemas sedemikan rupa yang akhirnya dapat berpengaruh pada domain kognitif dari persepsi orang yang menyaksikan virtualized reality yang disampakan oleh domain informasi.

Tulisan Ignatieff (hal 197 - no.7 ttg The Legal War) secara jelas mengkonfirmasi pernyataan David Alberts bahwa sangat penting untuk memasukkan taktik bagaimana merebut public acceptance dalam strategi postmodern didalam perang virtual. Bagaimana mengemasnya, sehingga merebut apresiasi publik dan membuat suatu perang virtual menjadi perang virtual yang legal.

Yang menjadi pelajaran adalah bagaimana memanfaatkan pengetahuan tentang virtual sehingga strategi untuk menggunakan atau menghadapi perang virtual ini dapat diglobalisasikan. Tidak dapat dinafikan memang perang virtual memang nyata, benar-benar nyata atau paling tidak secara virtual memang nyata adanya. Sejauh virtualisasi itulah yang dibawa oleh revolusi teknologi terhadap nature perang. Dengan melibatkan publik, maka strategi perang dalam perang virtual hampir secara kompatibel dapat digunakan secara global. Yang menjadi pertanyaan untuk direnungkan lebih lanjut, dengan kompatibilitas yang memungkinkan, dapatkah Indonesia menggunakan strategi perang virtual dengan Malaysia jika traditional war engagement tidak mungkin dilakukan? Ingat, perang vitual bukanlah tentang peralatan canggih seperti unmanned drone milik Amerika Serikat, memang itu salah satu alat perang virtual, tetapi seperti yang dikatakan oleh Ignatieff, bahwa perang virtual adalah peperangan yang dilakukan di dipean kamera, monitor, dan diarahkan langsung pada will to fight dari lawan. Sangat mugkin dilakukan Indonesia, tetapi bagaimana metode dan caranya, tentu mebutuhkan penelitan yang advanced dalam hal ini.





Referensi

Ignatieff, Michael. (2000). "Virtual War". Virtual War: Kosovo and Beyond. New York: Picador

Alberts, David S., [et al.]. (2001). Understanding Information Age Warfare. CCRP Publications