Jumat, 03 Desember 2010

Diskursus Pembentukan Global Government

Wacana Pembentukan Global Government

Robin Riwanda Mandagie



Diskursus mengenai global government bukanlah suatu hal yang baru dalam discourse realm Ilmu Hubungan Internasional. Sejak perang dunia ke-2 berakhir diskursus ini menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Sosiologi, dan berbagai macam disiplin ilmu. Tetapi yang perlu diketahui adalah bahwasannya sebelum perang dingin berakhir, wacana-wacana tentang global government masih dalam ranah heuristik, dimana proposal, usulan, dan prediksi memenuhi ranah tersebut. Albert Einstein, seorang scholar dalam ilmu pasti mengatakan “Do i fear the tyranny of a world government? Of course i do. But i fear still more the coming of another war” (dikutip dalam Ferris, 1983, p.40).



Sebuah Persoalan Kemanan Global

Pernyataan Einstein ini adalah pernyataan yang wajar dalam era post-war pada saat itu mengingat kehancuran luar biasa di berbagai belahan dunia akibat dua perang dunia sebelumnya. Bahkan dengan mengetahui potensi perang yang akan lebih hebat lagi (perang nuklir), Einstein mengungkapkan kekhawatiranya dalam kalimat yang diucapkannya tersebut. Pengandai-andaian tentang sebuah pemerintahan global yang dapat mencegah terjadinya perang terbuka yang berpotensi terjadi dalam perang dingin tidak hanya dilakukan oleh Einstein. Luis Cabrera (2010) dalam tulisannya “World Government: Renewed Debate, Persitent Challenges” mengatakan bahwa tidak sedikit scholar seperti Mauricio Nabuco, Clark M. Eichelberger, Roger N. Baldwin, dan lain sebagainya yang mengkhawatirkan greater perils dalam era perang dingin.

Setelah perang dingin berakhir dengan cara damai (maksudnya tidak jadi perang nuklir) yang mana pada era sebelum tahun 1970an tidak ada yang berani dengan tegas mempredikis hal ini, keadaan yang ada berubah. Wacana tentang pembentukkan global government tidak lagi dibentuk oleh karena ketakutan mengenai kehancuran oleh karena perang nuklir. Sejak berakhirnya perang dingin pada awal deakde 1990an, yang terjadi justru ketidakteraturan struktur dalam politik internasional. Ketidakteraturan ini ditandai dengan banyaknya perdebatan antar scholar Hubungan Internasional tentang bagaimana "rupa" dari struktur internasional dalam era post-coldwar ini. Jika dalam era coldwar manuver politik suatu negara bangsa dapat diukur dengan menarik "benang merah" pada negara patronnya (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka pada era post-coldwar manuver politik dari setiap negara-bangsa menjadi intangible dan hampir tidak dapat diukur sama sekali. Perdebatan yang mendapat perhatian besar pada era awal post-coldwar ini adalah perdebatan antara Alexander Wendt dan Kenneth Waltz, dimana Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics mengkritik "struktur internasional" yang disampaikan oleh Waltz (1979) dalam tulisannya Theory of International Politics. Masuknya argumen konstruktivisme sosial dalam Hubungan Internasional yang dipoinir oleh Wendt ini membawa harapan baru bagi para pemimpi global government. Harapan itu adalah bahwa struktur yang ada dapat di resturuksasi tergantung bagaimana para elit secara global dan kolektif menyadari seberapa penting restrukturisasi struktur internasional harus dilakukan.

Tetapi diluar perdebatan antara Wendt dan Waltz, Hedley Bull (1977) memprediksikan bahwa akhir dari coldwar tidak akan lead pada restrukturisasi struktur sebagaimana yang disampaikan oleh Alexander Wendt, tetapi akan menuju sruktur anarki yang tak terelakkan. Hedley Bull menyebut kondisi ini sebagai "Neomedievalisme", sebuah keadaan dimana negara-bangsa dalam sistem negara-bangsa moderen ini menjadi obselete, dalam arti negara bangsa akan kehilangan sovereignty, akuntabilitas, dan perannya sebagai pemegang kekuasaan otoritatif tertinggi dalam struktur internasional. Statement Bull ini didukung oleh Mark R. Duffield (2001) dalam tulisannya "Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security", Senada dengan Bull, Duffield melihat apa yang dilihat oleh Bull yaitu struktur atau sistem keamanan nasional yang bertumpukan, ambigu, dan overlapping antara pemerintah (negara) dengan otoritas-otoritas lokal yang banyak didominasi warlords, pemberontak, mafia, gangster, triad, dll. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara weak atau failed saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Hal ini bagi Duffield menyebabkan semakin blurry-nya peran nation-states atau negara bangsa sebagai patron dan pemegang kontrak sosial dari warga-negaranya. Tidak sedikit warga negara pada negara tertentu yang membayar pajak pada negara, tetapi juga masih membayar protection money dari otoritas-otoritas lokal yang ada di daerahnya. Menurut Duffield fenomena ini terjadi akibat dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi membuka banyak ruang agar demokrasi, liberalisme, dan rasa-kemanusiaan untuk semakin berkembang dalam pikiran masyarakat, demikian juga para optimis global dan kaum developmentalis. Tetapi dalam berbagai sirkumstansi hal ini justru menjadi blunder bagi optimisme dari kaum optimis itu sendiri. Dengan semakin tertanamnya demokrasi dan liberalisme, maka negara-negara yang dulunya otoritarian dituntut untuk mengurangi "represinya" demi kelancaran demokrasi. Kesempatan seperti inilah yang banyak digunakan oleh sentral-sentral power tertentu untuk bangkit dan going rogue secara massal. Bukan saja bekerja secara lokal pada region tersendiri, tetapi seiring bertambah kuatnya poros-poros kekuatan non-negara ini membuat peran negara sebagai penjaga law & order semakin pudar. Hal inilah yang dimaksudkan Duffield dan Bull sebagai neo-medievalisme, dimana sistem keamanan internasional secara global sedang memasuki dark-age yang baru. Bukan saja bertambah kuat dan membuat peran negara semakin kabur, poros-poros kekuatan non-negara ini juga membangun aliansi dengan poros-poros kekuatan di negara lain secara transnasional. Contoh dapat dilihat pada organisasi-organisasi terorisme dan kriminal seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, Sindikat Triad, dll. Sehingga peran negara sebagai kontraktor sosial yang menyediakan perlindungan bagi warga negaranya menjadi tidak lagi relevan. Perlindungan-perlindungan cenderung bersifat privat, dan disediakan oleh aktor-aktor yang secara legalitas tidak memiliki legitimasi layaknya sebuah negara.





Global Government Melalui Apa?

Meskipun tidak pernah secara langsung mengkonfirmasi tentang adanya terminologi neo-medievalisme, Amitai Etzioni mengkonfirmasi dan sekaligus mengkhawatirkan tentang kondisi struktural yang sebagaimana dideskripsikan oleh Hedley Bull dan Mark R. Duffield. Etzioni beranggapan bahwa ancaman-ancaman postmodern seperti gerakan transnational non-state authorities seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, dan Sindikat Triad, tidak akan dapat diatasi oleh negara-bangsa sebagai otoritas tertinggi dalam struktur saat ini. Maka itu menurut Etzioni diperlukannya suatu bentuk dari supranasionalisme, dengan kata lain global government yang dipimpin oleh sebuah hegemon. Etzioni melihat bahwasannya global war on terror yang dipimpin oleh Amerika Serikat membuat Amerika Serikat sangat berpotensi untuk menjadi sebuah pemimpin dalam sebuah global government (Amitai Etzioni, 2004). Begitu juga dengan Michael Mandelbaum yang mengatkan bahwa Amerika Serikat telah melakukan peran secara global yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah global government, yang tertinggal hanyalah legitimasi dari negara-bangsa lainnya kepada Amerika Serikat sebagai global government.

Jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Mandelbaum dan Etzioni, Strobe Talbott justru melihat kepemimpinan dan manuver unilateralisme Amerika Serikat justru menjadi stumbling block bagi terbentukknya integrasi global yang akan menuju pada global government. Talbott justru melihat bahwa unilateralisme Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. akan menimbulkan resistensi dari berbagai macam pihak, bahkan beberapa negara bangsa tidak akan segan untuk menyatakana ketidaksenangannya dengan unilateralisme Amerika Serikat, terutama dari dunia Muslim. (Talbott, 2008). Pada tulisan Talbott yang sebelumnya "The Birth of Global Nation" Talbott mengatakan:

"The best mechanism for democracy, whether at the level of the multinational state or that of the planet as a whole, is not an all powerful Leviathan or centralized superstate, but a federation, a union of separate states that allocate certain powers to a central government while retaining many others from themselves" (Talbott, 1993: 71)



Talbott dalam hal ini dengan jelas menolak existensi global government yang berlandaskan supranasionalisme hegemonial. Talbott lebih menghendaki global government yang berlandaskan konsensus secara global. Bagi Talbott, Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) adalah sebuah langkah yang ideal bagi terbentukknya global government.

Herbert George Wells memiliki pandangan yang berbeda dengan Talbott. Pada tulisan John S. Partington yang mengutip Wells, Wells mengatakan bahwa terbentukknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan PBB tidak akan membuat global government terbentuk oleh karena tidak akan efektif dalam menghilangkan unsur sovereignty pada setiap nation-states yang ada (dikutip dalam Partington, 2003: 237). Wells melihat bahwa integrasi Eropa akan lebih kuat sebagai dasar global government daripada PBB. Hal ini di endorse oleh Partington (2003) bahwa European Union (EU) telah mengkonfirmasi prediksi Wells, dan Partington melihat bahwa EU akan menjadi patron yang baik dalam pembentukkan global government yang berlandaskan federalisme daripada leviathan atau negara kuat yang koersif. Mungkin banyak scholar Hubungan Internasional (khususnya realis) yang akan melihat fenomena diskursus global government secara skeptis oleh karena sovereignty bagi negara-bangsa adalah hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi baik Partington maupun Wells sependapat bahwa economic interdepence yang nantinya akan lead pada economic integration akan menjadi faktor utama yang dapat membuat soverignty menjadi obsolete. Maka dari itu baik Partington maupun Wells tidak hesitate untuk memprediksi dan mencotohkan bahwa EU adalah patron dan contoh yang baik dalam mengeliminasi konsep sovereignty dalam negara. Maka dari itu tidak akan mengherankan jika integrasi regional yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya semakin marak terjadi terutama setelah coldwar berakhir. Yang patut menjadi pertanyaan renungan adalah adalah apakah intensifikasi integrasi regional yang marak terjadi (terutama oleh karena economic interdependence) berpotensi melenyapkan konsep sovereignty dan membentuk global government setelahnya? Tentu diperlukan penelitan yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini.



Referensi:

Cabrera, Luis. (2010). "Review Article: World Government: Renewed Debate, Persistent Challanges". European Journals of International Relations. Sage Publications

Bull, Hedley. (1977). The Anarchical Society: Study of Order in World Politics. Columbia University Press.

Duffield, Mark R. (2001). Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security. "Non Liberal Political Complex & The New Wars". Zed Books

Etzioni, Amitai. (2004). From Empire to Community: A New Approach to International Relations. Palgrave Macmillan. New York.

Ferris, T. (1983). "The Other Einstein". Science 83, 4(8), 34-40.

Mandelbaum, Michael. (2005). The Case for Goliath: How America Acts As the World's Government in the Twenty First Century. Public Affairs. New York.

Partington, John S. (2003). "H.G. Wells and The World State: A Liberal Cosmopolitan in Totalitarian Age". International Relations. Sage Publication.

Talbott, Strobe. (1992). "The Birth of Global Nation". Time, 20 Juli

Talbott, Strobe. (2008). The Great Experiment: The Story of Ancient Empires, Modern States, and the Quest for a Global Nation. Simon and Schuster. New York.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of International Politcs. McGraw Hill. New York.

Wendt, Alexander. (1992). "Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics". International Organization. vol.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar