Jumat, 03 Desember 2010

Diskursus Pembentukan Global Government

Wacana Pembentukan Global Government

Robin Riwanda Mandagie



Diskursus mengenai global government bukanlah suatu hal yang baru dalam discourse realm Ilmu Hubungan Internasional. Sejak perang dunia ke-2 berakhir diskursus ini menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Sosiologi, dan berbagai macam disiplin ilmu. Tetapi yang perlu diketahui adalah bahwasannya sebelum perang dingin berakhir, wacana-wacana tentang global government masih dalam ranah heuristik, dimana proposal, usulan, dan prediksi memenuhi ranah tersebut. Albert Einstein, seorang scholar dalam ilmu pasti mengatakan “Do i fear the tyranny of a world government? Of course i do. But i fear still more the coming of another war” (dikutip dalam Ferris, 1983, p.40).



Sebuah Persoalan Kemanan Global

Pernyataan Einstein ini adalah pernyataan yang wajar dalam era post-war pada saat itu mengingat kehancuran luar biasa di berbagai belahan dunia akibat dua perang dunia sebelumnya. Bahkan dengan mengetahui potensi perang yang akan lebih hebat lagi (perang nuklir), Einstein mengungkapkan kekhawatiranya dalam kalimat yang diucapkannya tersebut. Pengandai-andaian tentang sebuah pemerintahan global yang dapat mencegah terjadinya perang terbuka yang berpotensi terjadi dalam perang dingin tidak hanya dilakukan oleh Einstein. Luis Cabrera (2010) dalam tulisannya “World Government: Renewed Debate, Persitent Challenges” mengatakan bahwa tidak sedikit scholar seperti Mauricio Nabuco, Clark M. Eichelberger, Roger N. Baldwin, dan lain sebagainya yang mengkhawatirkan greater perils dalam era perang dingin.

Setelah perang dingin berakhir dengan cara damai (maksudnya tidak jadi perang nuklir) yang mana pada era sebelum tahun 1970an tidak ada yang berani dengan tegas mempredikis hal ini, keadaan yang ada berubah. Wacana tentang pembentukkan global government tidak lagi dibentuk oleh karena ketakutan mengenai kehancuran oleh karena perang nuklir. Sejak berakhirnya perang dingin pada awal deakde 1990an, yang terjadi justru ketidakteraturan struktur dalam politik internasional. Ketidakteraturan ini ditandai dengan banyaknya perdebatan antar scholar Hubungan Internasional tentang bagaimana "rupa" dari struktur internasional dalam era post-coldwar ini. Jika dalam era coldwar manuver politik suatu negara bangsa dapat diukur dengan menarik "benang merah" pada negara patronnya (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka pada era post-coldwar manuver politik dari setiap negara-bangsa menjadi intangible dan hampir tidak dapat diukur sama sekali. Perdebatan yang mendapat perhatian besar pada era awal post-coldwar ini adalah perdebatan antara Alexander Wendt dan Kenneth Waltz, dimana Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics mengkritik "struktur internasional" yang disampaikan oleh Waltz (1979) dalam tulisannya Theory of International Politics. Masuknya argumen konstruktivisme sosial dalam Hubungan Internasional yang dipoinir oleh Wendt ini membawa harapan baru bagi para pemimpi global government. Harapan itu adalah bahwa struktur yang ada dapat di resturuksasi tergantung bagaimana para elit secara global dan kolektif menyadari seberapa penting restrukturisasi struktur internasional harus dilakukan.

Tetapi diluar perdebatan antara Wendt dan Waltz, Hedley Bull (1977) memprediksikan bahwa akhir dari coldwar tidak akan lead pada restrukturisasi struktur sebagaimana yang disampaikan oleh Alexander Wendt, tetapi akan menuju sruktur anarki yang tak terelakkan. Hedley Bull menyebut kondisi ini sebagai "Neomedievalisme", sebuah keadaan dimana negara-bangsa dalam sistem negara-bangsa moderen ini menjadi obselete, dalam arti negara bangsa akan kehilangan sovereignty, akuntabilitas, dan perannya sebagai pemegang kekuasaan otoritatif tertinggi dalam struktur internasional. Statement Bull ini didukung oleh Mark R. Duffield (2001) dalam tulisannya "Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security", Senada dengan Bull, Duffield melihat apa yang dilihat oleh Bull yaitu struktur atau sistem keamanan nasional yang bertumpukan, ambigu, dan overlapping antara pemerintah (negara) dengan otoritas-otoritas lokal yang banyak didominasi warlords, pemberontak, mafia, gangster, triad, dll. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara weak atau failed saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Hal ini bagi Duffield menyebabkan semakin blurry-nya peran nation-states atau negara bangsa sebagai patron dan pemegang kontrak sosial dari warga-negaranya. Tidak sedikit warga negara pada negara tertentu yang membayar pajak pada negara, tetapi juga masih membayar protection money dari otoritas-otoritas lokal yang ada di daerahnya. Menurut Duffield fenomena ini terjadi akibat dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi membuka banyak ruang agar demokrasi, liberalisme, dan rasa-kemanusiaan untuk semakin berkembang dalam pikiran masyarakat, demikian juga para optimis global dan kaum developmentalis. Tetapi dalam berbagai sirkumstansi hal ini justru menjadi blunder bagi optimisme dari kaum optimis itu sendiri. Dengan semakin tertanamnya demokrasi dan liberalisme, maka negara-negara yang dulunya otoritarian dituntut untuk mengurangi "represinya" demi kelancaran demokrasi. Kesempatan seperti inilah yang banyak digunakan oleh sentral-sentral power tertentu untuk bangkit dan going rogue secara massal. Bukan saja bekerja secara lokal pada region tersendiri, tetapi seiring bertambah kuatnya poros-poros kekuatan non-negara ini membuat peran negara sebagai penjaga law & order semakin pudar. Hal inilah yang dimaksudkan Duffield dan Bull sebagai neo-medievalisme, dimana sistem keamanan internasional secara global sedang memasuki dark-age yang baru. Bukan saja bertambah kuat dan membuat peran negara semakin kabur, poros-poros kekuatan non-negara ini juga membangun aliansi dengan poros-poros kekuatan di negara lain secara transnasional. Contoh dapat dilihat pada organisasi-organisasi terorisme dan kriminal seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, Sindikat Triad, dll. Sehingga peran negara sebagai kontraktor sosial yang menyediakan perlindungan bagi warga negaranya menjadi tidak lagi relevan. Perlindungan-perlindungan cenderung bersifat privat, dan disediakan oleh aktor-aktor yang secara legalitas tidak memiliki legitimasi layaknya sebuah negara.





Global Government Melalui Apa?

Meskipun tidak pernah secara langsung mengkonfirmasi tentang adanya terminologi neo-medievalisme, Amitai Etzioni mengkonfirmasi dan sekaligus mengkhawatirkan tentang kondisi struktural yang sebagaimana dideskripsikan oleh Hedley Bull dan Mark R. Duffield. Etzioni beranggapan bahwa ancaman-ancaman postmodern seperti gerakan transnational non-state authorities seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, dan Sindikat Triad, tidak akan dapat diatasi oleh negara-bangsa sebagai otoritas tertinggi dalam struktur saat ini. Maka itu menurut Etzioni diperlukannya suatu bentuk dari supranasionalisme, dengan kata lain global government yang dipimpin oleh sebuah hegemon. Etzioni melihat bahwasannya global war on terror yang dipimpin oleh Amerika Serikat membuat Amerika Serikat sangat berpotensi untuk menjadi sebuah pemimpin dalam sebuah global government (Amitai Etzioni, 2004). Begitu juga dengan Michael Mandelbaum yang mengatkan bahwa Amerika Serikat telah melakukan peran secara global yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah global government, yang tertinggal hanyalah legitimasi dari negara-bangsa lainnya kepada Amerika Serikat sebagai global government.

Jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Mandelbaum dan Etzioni, Strobe Talbott justru melihat kepemimpinan dan manuver unilateralisme Amerika Serikat justru menjadi stumbling block bagi terbentukknya integrasi global yang akan menuju pada global government. Talbott justru melihat bahwa unilateralisme Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. akan menimbulkan resistensi dari berbagai macam pihak, bahkan beberapa negara bangsa tidak akan segan untuk menyatakana ketidaksenangannya dengan unilateralisme Amerika Serikat, terutama dari dunia Muslim. (Talbott, 2008). Pada tulisan Talbott yang sebelumnya "The Birth of Global Nation" Talbott mengatakan:

"The best mechanism for democracy, whether at the level of the multinational state or that of the planet as a whole, is not an all powerful Leviathan or centralized superstate, but a federation, a union of separate states that allocate certain powers to a central government while retaining many others from themselves" (Talbott, 1993: 71)



Talbott dalam hal ini dengan jelas menolak existensi global government yang berlandaskan supranasionalisme hegemonial. Talbott lebih menghendaki global government yang berlandaskan konsensus secara global. Bagi Talbott, Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) adalah sebuah langkah yang ideal bagi terbentukknya global government.

Herbert George Wells memiliki pandangan yang berbeda dengan Talbott. Pada tulisan John S. Partington yang mengutip Wells, Wells mengatakan bahwa terbentukknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan PBB tidak akan membuat global government terbentuk oleh karena tidak akan efektif dalam menghilangkan unsur sovereignty pada setiap nation-states yang ada (dikutip dalam Partington, 2003: 237). Wells melihat bahwa integrasi Eropa akan lebih kuat sebagai dasar global government daripada PBB. Hal ini di endorse oleh Partington (2003) bahwa European Union (EU) telah mengkonfirmasi prediksi Wells, dan Partington melihat bahwa EU akan menjadi patron yang baik dalam pembentukkan global government yang berlandaskan federalisme daripada leviathan atau negara kuat yang koersif. Mungkin banyak scholar Hubungan Internasional (khususnya realis) yang akan melihat fenomena diskursus global government secara skeptis oleh karena sovereignty bagi negara-bangsa adalah hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi baik Partington maupun Wells sependapat bahwa economic interdepence yang nantinya akan lead pada economic integration akan menjadi faktor utama yang dapat membuat soverignty menjadi obsolete. Maka dari itu baik Partington maupun Wells tidak hesitate untuk memprediksi dan mencotohkan bahwa EU adalah patron dan contoh yang baik dalam mengeliminasi konsep sovereignty dalam negara. Maka dari itu tidak akan mengherankan jika integrasi regional yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya semakin marak terjadi terutama setelah coldwar berakhir. Yang patut menjadi pertanyaan renungan adalah adalah apakah intensifikasi integrasi regional yang marak terjadi (terutama oleh karena economic interdependence) berpotensi melenyapkan konsep sovereignty dan membentuk global government setelahnya? Tentu diperlukan penelitan yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini.



Referensi:

Cabrera, Luis. (2010). "Review Article: World Government: Renewed Debate, Persistent Challanges". European Journals of International Relations. Sage Publications

Bull, Hedley. (1977). The Anarchical Society: Study of Order in World Politics. Columbia University Press.

Duffield, Mark R. (2001). Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security. "Non Liberal Political Complex & The New Wars". Zed Books

Etzioni, Amitai. (2004). From Empire to Community: A New Approach to International Relations. Palgrave Macmillan. New York.

Ferris, T. (1983). "The Other Einstein". Science 83, 4(8), 34-40.

Mandelbaum, Michael. (2005). The Case for Goliath: How America Acts As the World's Government in the Twenty First Century. Public Affairs. New York.

Partington, John S. (2003). "H.G. Wells and The World State: A Liberal Cosmopolitan in Totalitarian Age". International Relations. Sage Publication.

Talbott, Strobe. (1992). "The Birth of Global Nation". Time, 20 Juli

Talbott, Strobe. (2008). The Great Experiment: The Story of Ancient Empires, Modern States, and the Quest for a Global Nation. Simon and Schuster. New York.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of International Politcs. McGraw Hill. New York.

Wendt, Alexander. (1992). "Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics". International Organization. vol.46

Revolusi Teknologi dan Perang: Masuknya Era Perang Virtual

Review Artikel "Virtual War" dalam Virtual War: Kosovo and Beyond oleh Michael Ignatieff

Robin Riwanda Mandagie,



Masuknya gelombang revolusi dan teknologi pada sistem militer membawa suatu perubahan yang besar pada sistem militer itu sendiri. Perubahan yang besar dan sistemik ini menjadi kontroversial karena struktur militer yang sudah "pakem" menjadi serba efisien, presisi tinggi, dan efektif, yang mana membuat resorce untuk militer yang dulu membutuhkan banyak sekali sumber daya, dengan adanya revolusi teknologi, baik sumber daya, waktu, dan strategi menjadi lebih sederhana dan efektif. Michael Ignatieff mengambil suatu contoh kasus revolusi teknologi yang terjadi di sistem militer Amerika Serikat, yaitu Revolution in Military Affairs (RMA). Review ini akan membahas bagaimana militer Amerika Serikat sebagai founder dari revolusi militer, menghadapi shifting structure dalam lembaga militernya, dan serta membahas bagaimana revolusi teknolgi yang terjadi di militer Amerika Serikat membawa dunia pada "sistem perang" yang baru, yaitu perang virtual.

Kebutuhan manusia untuk segala sesuatu yang simple, efisien, dan efektif telah membawa masyarakat dunia pada era revoulsi informasi dan teknologi yang sedang berlangsung pada saat ini. Compression dalam segala aspek-pun mulai di-invent oleh para scientists, dan militer termasuk dalam aspek yang terkena dampak revolusi teknologi dan informasi. Keinginan untuk efisiensi sumber daya dan meningkatkan efektifitas dalam berperang memang diinginkan oleh semua negara, akan tetapi Amerika Serikat-lah yang pertamakali mengimplementasikan cara-cara bagaimana untuk membuat peperangan menjadi efisien dan efektif. Michale Ignatieff mencontohkan dalam artikelnya ketika Amerika Serikat menghancurkan jembatan Thanwa di Vietnam pada tahun 1972. Saat inilah ditemukannya Peluru Kendali (Rudal). Rudal ini ditembakkan dari pesawat yang mana rudal ini dikendalikan oleh seorang teknisi dari jarak jauh dengan kamera yang ditempelkan pada ujung rudal. Virtualisasi untuk menentukan target semacam ini bagi Ignatieff menjadi turning point dari classical engagement ke era perang virtual dengan precision weaponry. Presisi dan efisiensi pertempuran pada jembatan Thanwa membawa Amerika Serikat untuk lebih semangat dalam mengembangkan teknologi presisi dan efisiensi. Hal ini terlihat hanya dalam beberapa dekade Amerika Serikat telah mengembangkan beberapa peralatan tempur canggih yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebut saja cruise missile, unmaned drone, E-8 Joint Stars, dan lain sebagainya, adalah inovasi terbaru dalam militer Amerika Serikat. Prajurit tidak lagi bertarung dalam battlefiled, tetapi untuk meminimalisir korban dalam pihak sendiri dan pihak musuh (menghindari "pembunuhan yang tak perlu"), peperangan dilakukan melalui kamera, dan dengan teknologi presisi tinggi. Sehingga perang yang dahulunya "fakta" bagi para prajurit Amerika Serikat, dengan adanya revolusi teknologi dan RMA, perang menjadi "virtual" bagi prajurit dan segenap elemen militer Amerika Serikat.

Revolusi teknologi dalam militer Amerika Serikat secara integral tidak hanya terjadi pada peralatan perang saja, tetapi juga berdampak pada strategi militer Amerika Serikat. Kontroversi terjadi dalam hal ini, dimana dengan adanya RMA, berarti pengempisan bagi banyak divisi militer. Bilamana prajurit diperlukan ketika misil yang dilengkapi dengan rudal yang ditembakkan dari kejauhan ribuan mil dapat melululantahkan satu sasaran? Tentu saja pengempisan, karena hal itu berarti efisiensi. Demikian pula dengan pola penyerangan. Jika dulu Amerika Serikat sangat Clausewitzean dengan menerapkan "total war" (menyerang tepat pada musuh dan meluluhlantakan aspek militer musuh) dalam menghancurkan musuh, kini wacana tentang pergantian straegi yang lebih efisien mulai marak dibicarakan dikalangan pejabat Pentagon. Bagi Ignatieff virtual war tidak akan lengkap jika hanya diimplementasikan dengan shift dari pertempuran tradisional (battlefield battle) ke pertempuran virtual melalui kamera. Satu lagi elemen penting dari perang virtual adalah dengan mengacaukan informasi lawan, yakni bagaimana virtualisasi lawan menjadi target utama dalam suatu pertempuran. Ignatieff mengatakan bahwa strategi postmodern merupakan salah satu strategi utama dalam perang virtual, yang berarti memprioritaskan penyerangan pada nerve center musuh daripada ke musuh itu sendiri. Virtualisasi peperangan tidak hanya dimiliki Amerika Serikat (meskipun inisiatif pertama adalah Amerika Serikat). Maka dari itu strategi utama menyerang nerve center dari musuh membuat re-kreasi dari fog of war yang hilang akibat virtualisasi musuh. Dalam perang virtual misi utama adalah membuat musuh menjadi buta dengan menyerang nerve center seperti menebar virus ke sistem komputer lawan, menghancurkan sistem komunikasi, dan sistem pembangkit listrik. Tanpa sarana berikut fog of war dapat dikreasikan kembali pada lawan.

Dengan maraknya virtualisasi dalam peperangan sebagaimana diutarakan oleh Ignatieff, maka akan lebih mudah bagi publik untuk mengetahui dan bahkan berpartisipasi dalam perang. Sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ignatieff bagaimana strategi postmodern itu bermain jika penyerangan terjadi pada nerve center dan disebarkan oleh media sehingga menciptakan suatu teror tertentu pada lawan. Pelibatan media disini menggeser konsepsi perang yang dahulu adalah generals-elit centric, kini mencapai irisan dengan public, jadi dapat disebut juga trinitas generals-elit-public centric dalam perang virtual, yang banyak melibatkan ranah kognitif dari publik. David S. Alberts dalam tulisannya Understanding Information Age Warfare membuat tipologi kerangka berpikir peran publik dalam perang virtual, dan membaginya dalam tiga domain, yaitu domain fisik, informasi, dan kognitif yang ketiganya saling berdampak satu dengan yang lainnya. [1]




Domain fisik disni berarti bagaimana realitas sesungguhnya yang terjadi di battlefield dimana strategi postmodern (penyerangan terhadap nerve system) dialkukan. Kemudian domain informasi adalah bagaimana media mem-virtualisasikan kondisi yang ada pada domain fisik. Disini (biasanya) strategi perang virtual dibentuk dengan visualisasi dari domain fisik yang dikemas sedemikan rupa yang akhirnya dapat berpengaruh pada domain kognitif dari persepsi orang yang menyaksikan virtualized reality yang disampakan oleh domain informasi.

Tulisan Ignatieff (hal 197 - no.7 ttg The Legal War) secara jelas mengkonfirmasi pernyataan David Alberts bahwa sangat penting untuk memasukkan taktik bagaimana merebut public acceptance dalam strategi postmodern didalam perang virtual. Bagaimana mengemasnya, sehingga merebut apresiasi publik dan membuat suatu perang virtual menjadi perang virtual yang legal.

Yang menjadi pelajaran adalah bagaimana memanfaatkan pengetahuan tentang virtual sehingga strategi untuk menggunakan atau menghadapi perang virtual ini dapat diglobalisasikan. Tidak dapat dinafikan memang perang virtual memang nyata, benar-benar nyata atau paling tidak secara virtual memang nyata adanya. Sejauh virtualisasi itulah yang dibawa oleh revolusi teknologi terhadap nature perang. Dengan melibatkan publik, maka strategi perang dalam perang virtual hampir secara kompatibel dapat digunakan secara global. Yang menjadi pertanyaan untuk direnungkan lebih lanjut, dengan kompatibilitas yang memungkinkan, dapatkah Indonesia menggunakan strategi perang virtual dengan Malaysia jika traditional war engagement tidak mungkin dilakukan? Ingat, perang vitual bukanlah tentang peralatan canggih seperti unmanned drone milik Amerika Serikat, memang itu salah satu alat perang virtual, tetapi seperti yang dikatakan oleh Ignatieff, bahwa perang virtual adalah peperangan yang dilakukan di dipean kamera, monitor, dan diarahkan langsung pada will to fight dari lawan. Sangat mugkin dilakukan Indonesia, tetapi bagaimana metode dan caranya, tentu mebutuhkan penelitan yang advanced dalam hal ini.





Referensi

Ignatieff, Michael. (2000). "Virtual War". Virtual War: Kosovo and Beyond. New York: Picador

Alberts, David S., [et al.]. (2001). Understanding Information Age Warfare. CCRP Publications

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Review "Introduction" dalam Information Feudalism: Who Owns the Knowledge Economy. Oleh Peter Drahos & John Braithwaite

Robin Riwanda Mandagie



Dalam tulisannya "The Knowledge Economy” dalam Intellectual Capital, Thomas A. Stewart (1997) menjelaskan bagaimana informasi dapat menjadi substansi yang esensial dalam suatu komoditas, sehingga suatu komoditas tersebut dapat memiliki nilai yang dapat ditentukan oleh pemegang paten secara tidak terbatas. Kemampuan untuk mendeterminasi nilai ini bahkan dapat mentranformasi informasi menjadi suatu komoditas tersendiri, nilai dari hasil determinasi sang pemilik paten hanya mendapat check and balances dari konstelasi permintaan terhadap informasi yang dimiliki secara eksklusif oleh sang pemilik paten. Hal inilah yang secara spesifik dikhawatirkan oleh Drahos dan Braithwaite (2002) dalam tulisan yang kali ini di-re(interpretasi)view oleh penulis. Drahos dan Braithwaite mengkhawatirkan akan bagaimana hak eksklusif terhadap determinasi nilai oleh sang pemilik paten dan hak cipta yang tidak terbatas ini dapat menimbulkan suatu bentuk baru dari feudalisme di jaman medieval.

Drahos dan Braithwaite memulai tulisannya dengan redikotomi antara feudalisme medieval dan feudalisme informasi (neo-feudalisme). Feudalisme medieval adalah keadaan dimana petani, pemilik tanah, dan pekerja kasar menyerahkan kebebasan dan tanah-tanah yang mereka miliki untuk diserahkan pada tuan-tuan tanah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dari subyek submitance. Dengan demikian segala sesuatu yang mereka lakukan di tanah (yang dulu mereka punyai) sang tuan tanah (feudal), adalah hak dari sang pemilik tanah. Segala bentuk resources yang dulu common goods menjadi pirvate goods pada feudalisme medieval ini. Keadaan seperti ini tentu tidak berbeda jauh dengan bagaimana adanya hak cipta dan paten mengubah sources dari common goods menjadi private goods. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi, dalam berbagai macam manifestasinya seperti metode, teori, komoditas, ataupun pengetahuan (semata) berada pada hak privat dimana penggunaan terhadapnya, akan sama seperti penggunaan terhadap segala sesuatu yang ada diatas tanah sang pemilik tanah dalam era medieval. Hal inilah yang bagi Drahos dan Braithwatie dikhawatirkan akan menjadi suatu bentuk eksploitasi korporat tersendiri yang dapat menimbulkan inequalitas dalam masyarakat informasi. Penulis lebih suka dengan label: penjajahan struktural moderen.

Lantas bagaimana dengan tulisan-tulisan akademisi dalam jurnal ilmiah, atau novel-novel dan cerpen karangan seseorang? Jika hak rekognisi terhadap karya cipta seseorang dapat hak eksklusif apakah hal ini tetap dapat dikatakan sebagai sebuah eksploitasi atau penjajahan struktural yang moderen? Tentu tidak. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa adalah sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa Intellectual property rights berbahaya dalam level individual. Tapi lebih dari berbahaya jika diaplikasikan dalam level global dengan manifestasi dan eksekusi power dari hak cipta tersebut dalam tangan sebuah korporat mutlinasional. Drahos dan Braithwaite mengkonfirmasi pernyataan penulis "penjajahan struktural moderen" dengan contoh bagaimana Afrika Selatan pada masa pemerintahan Nelson Mandela mengalami penjajahan struktural moderen oleh karena hak paten dan hak cipta.

Drahos dan Braithwaite menyebutkan bahwa secara umum Afrika Selatan diketahui sebagai suatu negara yang memiliki angka penyakit HIV AIDS yang tinggi. Tentu tidak diragukan pula berapa orang yang sudah meninggal akibat terjangkit oleh HIV AIDS di Afrika. Dengan keadaan yang demikian, pada tanggal 12 Desember 1997 Presiden Mandela menanda tangani undang-undang dalam penyediaan obat paten dengan yang murah dengan cara mengimpor obat paten dari pasar termurah dengan biaya yang minim dalam hak cipta terhadap obat-obat paten tersebut. Hal ini mengundang kemarahan dari korporat-korporat yang memiliki hak paten terhadap Mandela dan menuntut Mandela dalam persidangan di Pretoria, Afrika Selatan.

Kasus Afirka Selatan dalam masa pemerintahan Mandela adalah salah satu contoh bagaimana kedaulatan negara sekalipun menjadi terdistorsi dengan adanya hak paten dan cipta. Salah satu rezim global yang menjadi alat untuk mengkokohkan peran hak paten dan cipta untuk terus melakukan eksploitasi dan feudalisme struktural adalah "Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights" (TRIPS), yang menjadi salah satu rezim hak cipta intelektual dalam wadah "World Trade Organization" (WTO). Inequalitas sangat terlihat pada rezim TRIPS. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa yang banyak diuntungkan dari TRIPS bukanlah negara-negara berkembang yang memegang kemampuan-kemampuan inovasi. Meskipun ada usaha-usaha untuk melakukan inovasi, negara-negara berkembang ini akan berhadapan dengan barriers hak-hak cipta dan paten untuk melakukan riset. Perlu diketahui bahwasannya metode-metode penelitian secara umum dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara-negara berkembang pada keadaan terjebak dalam eksploitasi oleh negara-negara maju yang memegang hak paten pada informasi-informasi penting untuk melakukan kemajuan. Drahos dan Braithwaite juga menyebutkan bahwa negara-negara yang paling diuntungkan oleh TRIPS adalah Amerika Serikat dan negara-negara major pada "European Union" (EU). Hal ini menunjukkan betapa feudalisme informasi pada masa ini lebih "kejam" daripada feudalisme lahan era medieval. Dampak eksploitatif lebih masif karena scope feudalisme ini terjadi antar negara-bangsa, dalam kata lain kontur eksploitasi-nya bersifat global, dengan "indoktrinasi" mindset pada TRIPS, sehingga ketika TRIPS secara faktual mengekspoitasi, obyek hegemoni (negara berkembang dan masyarakatnya) beranggapan bahwa TRIPS justru melindungi beberapa hak intelekutalitas mereka.

Kepenguasaan terhadap aset. Aspek inilah yang bergeser dari feudalisme lahan pada feudalisme informasi. Kepenguasaan aset-aset yang intagible ini telah merubah paradigma public goods secara keseluruhan. Asumsi mengenai public goods sebagaimana dikatakn oleh Drahos dan Braithwaite adalah seperti ini "Barang (atau sesuatu) yang boleh dikategorikan privat adalah sesuatu yang akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara massal sedangkan yang boleh dikategorikan milik umum adalah yang tidak akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara masal". Lantas apakah hak paten dan cipta harus dihapuskan? Tentu saja tidak sampai se-ekstrim itu. Penulis lebih pada pembatasan terhadap penggunaan hak paten dan cipta, yang teknisnya dapat di riset dan dibicarakan lebih lanjut dan sustainable.

Referensi:

Drahos, Peter & John Braithwaite. (2002). "Introduction". Who Owns Knowledge Economy?. Earthscan Publication: London

Stewart, Thomas A. (1997). “The Knowledge Economy”.dalam Intellectual Capital. Currency Book: New York

Sabtu, 19 Juni 2010

Korporat di Mata Dunia dalam Era Globalisasi: Lawan atau Kawan? i

Korporat di Mata Dunia dalam Era Globalisasi: Lawan atau Kawan?
Review Artikel "Corporations: Predatory or Beneficial?" Oleh Jagdish Bhwagwati dalam Buku In Defense of Globalization



Robin Riwanda Mandagie,




Prolog
Adalah hal yang tidak dapat dinafikan lagi bahwasannya dalam era globalisasi ini peran dari korporat multinasional atau multinational corporations (MNCs) begitu ekstensif, bahkan karena begitu ekstensifnya peran dari korporat, maka peran dan entitas dari negara pun menjadi saingan yang siap untuk digantikan oleh MNCs. Karena begitu ekstensifnya peran dari MNCs, maka eksistensi dan peran dari MNCs pada negara (terutama negara yang sedang berkembang) menuai banyak kritik dan resistensi dari pihak-pihak yang anti terhadap MNCs dan merambah kepada ketidaksenangan pihak-pihak tersebut pada proses globalisasi yang semakin intensif dalam beberapa dekade terakhir ini.

Kritik yang semakin meluas pada masyarakat global terhadap eksistensi, peran dan kapabilitas MNCs dalam overcoming suatu negara, membuat Jagdish Bhagwati "tergugah" dengan kondisi semacam ini. Maka dari itu dalam bukunya yang berjudul In Defense of Globalization, dalam bab "Corporations: Predatory or Beneficial" Bhagwati membela peran dan kapabilitas dari MNCs. Dalam tulisannya ini Bhagwati menuliskan pembelaan-pembelaanya melalui kritik-kritik umum terhadap globalisasi dan juga eksistensi dari MNCs yang merupakan pasca-kondisi dari proses globalisasi itu sendiri. Guiding Question utama yang dibahas pada artikel Bhagwati ini adala: Apakah peran MNCs yang begitu ekstensif secara global mengancam peran negara? Apakah eksistensi MNCs dalam investasi-nya terhadap suatu negara adalah hal yang menguntungkan atau sebaliknya? Review ini akan berusaha secara komprehensif dan mendalam dalam menjawab dua pertanyaan diatas berdasarkan paradigma dan perspektif dari Bhagwati.

Fenomena Race to The Bottom yang Tidak Masuk Akal
Colin Hay pernah menuliskan bahwasannya ada wacana yang berkata bahwa negara-negara (terutama negara-negara sedang berkembang dan negara kecil) berlomba-lomba dalam mengendurkan proteksionisme terhadap tariff dan barriers dari perdaganangan internasional. Dengan demikian mereka (negara-negara berkembang) berharap agar MNCs mau berinvestasi pada negaranya. Fenomena semacam inilah yang dinamakan Race to The Bottom. Jadi logikanya adalah bahwa dengan adanya fenomena Race to The Bottom, MNCs mendeterminasi negara dalam hal pertumbuhan ekonomi, hal ini disebut Hay sebagai hiperglobalisasi. Dari tesis hiperglobalisasi ini dapat diambil seuatu kesimpulan bahwasannya negara bergantung pada kapabilitas MNCs dalam memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri. Kritik yang banyak mengalir dalam kasus ini adalah bahwasannya dengan kondisi seperti ini MNCs dapat dengan semena-mena "menyetir" negara dalam menggapai interest dari MNCs. Dalam hal ini Bhagwati tidak mengelak bahwsannya fenomena Race to The Bottom memang terjadi, tetapi efek yang ditimbulkan dari fenomena Race to The Bottom sedikit berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Hay. Bhagwati melihat bahwasannya efeknya justru beneficial antara negara dengan MNCs. Dengan adanya MNCs disuatu negara maka perekonomian suatu negara akan mengalami lajur yang positif yang disebabkan oleh gross domestic products (GDP) yang meningkat oleh karena kesempatan kerja yang bertambah, dan dengan otomatis mengurangi pengangguran. Bukan hanya itu saja, bagi Bhagwati meski dia tidak menolak adanaya fenomena Race to The Bottom hal ini tidak semerta-merta MNCs dapat mendeterminasi peran dan kapabilitas negara. Satu hal yang harus diingat bahwasannya stakeholder yang ada di pihak MNCs tidak hanya satu, tetapi banyak sekali MNCs yang berusaha untuk mencari pasar-pasar (negara) yang kondusif dan menguntungkan tentunya. Dalam hal ini negara yang melakukan Race to The Bottom sangat diuntungkan. Oleh karena rates of profit yang semakin sempit maka persaingan tidak hanya terjadi dalam tingkatan negara, tetapi juga MNCs. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwasannya antara negara dengan MNCs berelasi secara beneficial.

Intrusi Politik dan Isu Eksploitasi Tenaga Kerja
Dalam hal Race to The Bottom salah satu faktor penting yang harus diperhatikan suatu negara dalam menarik investor asing agar berinvestasi di negara tersebut adalah stabilitas politik. Bhagwati memberikan banyak contoh dimana Central Intelligence Agency (CIA) menginterferensi pemerintahan yang tidak menguntungkan bagi pereknomian Amerika Serikat. Dalam hal ini Bhagwati menyampaikan sisi buruk relasi antara negara dengan MNCs. Dalam hal ini Bahgwati terlihat sedikit membingungkan dengan mengatakan bahwa alasan CIA dalam menginterferensi suatu negara yang tidak menguntungkan industri Amerika Serikat adalah Demokratisasi yang berlebihan bagi negara-negara berkembang yang underdeveloped. Baghwati juga mengatakan "Egregious political abuses come to light because democracy permits diverse non-governmental groups and individuals of consience to point the accusing finger at offending corporations and governments. Second, the accusing finger now has more salience in the age of televison and the internet." Dalam kalimat ini jelas yang ditakutkan Baghwati adalah dengan adanya demokratisasi yang berlebihan di negara yang belum siap akan menyebabkan instabilitas politik, dan instablilitas tersebut digunakan oleh oknum-oknum tertentu (accusing fingers) untuk memojokkan MNCs dengan tujuan dan motivasi politik.

Tetapi isu intrusi politik dalam satu dekade ini kurang begitu "menarik" dibandingakn dengan isu neglecting oleh MNCs kepada negara obyek foreign direct investment-nya (FDI). Isu neglect ini dapat dimanifestasikan dalam berbagai hal. Kerusakan lingkungan, disparitas keuntungan antara negara dan MNCs, dan yang lebih intensif dalam kritik adalah isu eksploitasi ketenagakerjaan. Sistem ketenagakerjaan outsourcing menjadi begitu populer bagi MNCs oleh karena efektifitas dan efisiensi yang ditawarkan oleh sistem ini. Dalam kasus Ogoniland, Nigeria, Royal Dutch/Shell dikritik oleh berbagai macam elemen yang ada di Nigeria. Mulai dari kaum environmentalis, sampai pada serikat buruh. Bagi mereka pendapatan yang didapat oleh pemegan modal tidak setara dengan kerja keras yang dilakukan oleh bruh lokal. Counter Bhagwati pada kritik seperti ini sangat cerdas. Bhagwati justru menyampaikan data bahwasannya pada tahun 1997 sekelompok orang muda membajak kapal yang mengangkut barang dagangan milik Chevron - Shell. Tetapi yang mereka tuntut tidaklah sama dengan apa yang disampaikan melalui kritik oleh serikat buruh mengenai eksploitasi. Melainkan mereka menuntut agar dipekerjakan oleh Chevron dan Shell. Dengan ini silahkan disimpulkan sendiri, eksploitasi atau tidak. MNCs lawan, atau kawan.

Referensi:
Bhagwati, Jagdish. (2004). "Corporations: Predatory or Beneficial?" dalam buku In Defense of Globalization. Oxford: Oxford university Press
Hay, Colin.(2008). “Globalization’s Impact on States” dalam John Ravenhill ed., Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press



Mohon maaf kalo pengetahuan ekonomi saya kurang... secara saya bukan anak ekonomi.. terlebih ekonomi makro yang masyaallah.... njelimetnya...

Minggu, 09 Mei 2010

Ancaman Terhadap Entitas Negara Melalui Globalisasi Ekonomi: Dapatkah 5 Tesis Hiperglobalisasi Dipertangguhkan? Review Artikel Globalization's Impact

Ancaman Terhadap Entitas Negara Melalui Globalisasi Ekonomi:
Dapatkah 5 Tesis Hiperglobalisasi Dipertangguhkan?
Review Artikel Globalization's Impact on State oleh Colint Hay
Robin Riwanda Mandagie

Silogisme antara globalisasi dengan negara-bangsa atau yang biasa disebut oleh akademisi Hubungan Internasional sebagai nation-states memiliki term perdebatan yang luas dalam realm diskurusus Hubungan Internasional. Meskipun sebagian besar orang berpendapat bahwa globalisasi mengancam entitas negara-bangsa, dalam artikel Globalization's Impact on States yang ditulis oleh Colin Hay memiliki sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Dimana sisi perbedaanya? Review artikel ini berusaha untuk mengeskposisikan sudut pandang tesis hiperglobalisasi yang dikritik oleh Colin Hay, argumentasi Colin Hay, dan juga review ini akan memberikan paradigma solutif terhadap posisi dan preposisi Colin Hay.

Colin Hay dalam menyampaikan argumentasinya mengenai efek globalisasi ekonomi terhadap entitas nation-states berlandaskan pada argumen dan tesis hiperglobalis mengenai tidak diperlukannya negara pada sistem yang globalized. Tesis hiperglobalisasi ini antara lain adalah, bahwa capital (modal) hanya mau berinvestasi pada situasi dan kondisi dimana investasi yang ditanam dapat mengembalikan modal beserta dengan keuntungannya, kedua oleh karena pasar untuk komoditas barang dan jasa telah terintegrasi secara global, dan konsekuesninya adalah kondisi dan sirkusmtansi perekonomian yang ada didalam nation-state harus berkompetisi untuk menciptakan "lingkungan" yang dapat menarik investasi secara global, salah satunya adalah tax reduction atau bahkan tax omittance, dengan demikian situasi yang kompetitif akan tercipta di suatu negara dan menarik banyak investor, yang ketiga adalah bahwa capital diuntungkan oleh mobilitas yang sempurna sehingga harga disinvestasi akan menjadi nihil, yang keempat capital akan berusaha dengan berbagai cara agar investasi yang ditanamnya dapat kembali dengan berlipat ganda. Cara yang digunakan dapat variatif. Mulai dari menekan negara untuk menekankan kebijakan yang tidak populer seperti flexible labour markets yang akhirnya sistem laborisasi akan mengarah pada outsourcing. Yang kelima, konsep negara yang mengayomi dan melindungi warga-negaranya (welfare state) tidak akan populer dalam sistem perekonomian global karena sistem ini tidak ramah pada capital yang ingin diinvestasikan, dan secara perlahan entitas nation-states yang erat dengan sistem kontrak-sosial ini akan gagal berfungsi sebagai negara yang welfaring elemen-elemen yang ada didakamnya termasuk warga negaranya.

Colin Hay sangat tidak menyetujui tesis hiperglobalisasi diatas. Hay banyak menyampaikan data-data empiris dan logika dalam mematahkan tesis hiperglobalisasi. Yang pertama adalah tidak cukup data dan fakta yang mendukung argumen pertama dan kedua dari tesis hiperglobalisasi. Menurut Hay argumen pertama dan kedua dari tesis hiperglobalisasi bersifat dubious dengan mengambil logika argumen ketiga yang tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena argumen ketiga adalah variabel pendukung dari argumen pertama dan kedua, yaitu bahwa capital bersifat fleksibel dan memiliki mobilitas yang tinggi, jadi bukan capital yang bergantung pada negara, tetapi negara-lah yang menyesuaikan diri terhadap capital. Hay membantah argumentasi ini dengan mengatakan bahwa jenis dari capital yang benar-benar fleksibel dan memiliki mobilitas yang tinggi adalah capital dalam bentuk investasi portofolio. Investasi lain seperti foreign direct investment (FDI) akan sangat rugi jika menarik investasinya dari suatu negara ke negara lain. Menurut Hay, kerugiannya akan lebih besar. Berbeda dengan FDI bagi Hay portofolio dapat lebih mobile dan fleksible oleh karena tunjangan teknologi. Meskipun investasi portofolio sangat mudah dan fleksibel, investasi jenis ini tidak secara langsung ataupun tidak langsung mengancam eksistensi, kapasitas, ataupun formalitasi fungsi dari suatu negara. Hal ini disebabkan investasi portofolio tidak bersentuhan secara nyata pada elemen negara bangsa secara entitas.

Bantahan Hay berikutnya adalah pada argumentasi tesis hiperglobalisasi yang keempat dan kelima. Kedua argumen ini menekankan bahwa welfare state tidak akan populer pada perekonomian global oleh karena sistem welfare yang banyak melindungi warga-negara termasuk buruh akan tidak kondusif bagi investasi dan revenue yang diterima dari investasi tersebut. Bantahan Hay pada permasalahan ini sangat sederhana. Argumen keempat dan kelima ini menurut Hay sangat sempit dan tidak memperhatikan data dan fakta empiris yang ada. Fakta empiris menunjukkan bahwa justru negara-negara yang mengedepankan welfare terhadap warga negaranya dapat menarik investasi dari berbagai capital owner yang ada di seluruh dunia. Sebagai contoh adalah kawasan Eropa utara dan Skandinavia. Negara-negara Skandinavia adalah negara-negara dengan rating tertinggi dalam hal welfare. Tetapi investasi terhadap negara-negara Skandinavia tidak kalah besar dengan negara-negara Eropa lainnya. Menurut Hay, para Hiperglobalis melupakan bahwa dengan welfare yang tinggi maka sumber daya manusia yang berpotensi untuk menghasilkan skilled labour juga semakin banyak, investor sudah dapat dipastikan akan memilih tenaga kerja yang skilled dengan morale dan motivasi yang tinggi dalam bekerja daripada harus menghabiskan biaya untuk memotivasi dan melatih tenaga kerja. Bahkan dengan sistem welfare bagi Hay outsourcing pun dapat diorganisir, jadi ada win-win solution antara capital owner dengan negara dalam hal ini.

Secara keseluruhan Hay banyak menekankan argumentasinya pada krisis peran nation-states secara ekonomi dan finansial tetapi hanya saja tidak sampai menghilangkan peran da kapasitasnya sebagai negara-bangsa yang berdaulat. Bagi reviewer, tulisan Hay sedikit menjurus pada "perlawanannya" terhadap herd-mental yang sering diasosiasikan pada proses globalisasi. Memang pada suatu sisi "mental kawanan" seperti yang dikatakan oleh Thomas L. Friedman tidak dapat dihindari oleh karena ketidakjelasan sistem finansial yang ada. Masyarakat global lebih cenderung mendewakan pasar sebagai acuan seberapa jauh seorang investor mau menginvestasikan capital-nya pada suatu negara sehingga orang lupa bahwa merek terbawa pada "mental kawanan" ini. Jadi permasalahan utama-nya adalah "mental kawanan" yang lacks of informations ini dikritik secara baik dan solutif oleh Hay dengan suatu preposisi dan argumen dasar: "Perhatikan fakta dan data di lapangan".



Referensi:
Friedman, Thomas L. (2000). Electronic Herd. "The Lexus and The Olive Tree". Anchor Books.
Hay, Colin. 2008. “Globalization’s Impact on States” dalam John Ravenhill ed., Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press

Selasa, 04 Mei 2010

Akhir Siklus Sistem Internasional dan Munculnya New World Order: Jatuh Bangunnya Superpower, Pengembangan Tidak Seimbang, dan Non/Multi/Unipolaritas

Akhir Siklus Sistem Internasional dan Munculnya New World Order: Jatuh Bangunnya Superpower, Pengembangan Tidak Seimbang, dan Non/Multi/Unipolaritas

By: Me

Prolog
Apa yang akan muncul dalam benak ketika pertamakali kata "siklus" memasuki telinga? tentu suatu proses "peremajaan" dan penyegaran adalah suatu proses yang pasti terjadi pada suatu siklus. Jika dihubungakan pada sistem internasional, khususnya sistem politik internasional, hal ini akan menuju pada jatuh bangunnya suatu civilization. Proses jatuh-bangunnya peradaban atau civilization adalah hal yang sangat lumrah terjadi. Jika level analisis negara dianalogikan dengan level analisis individu, maka sebuah negara (dalam term realisme negara sebagai pemegang power), adalah sama halnya dengan manusia. Manusia lahir, tumbuh, berkembang, maju, menua, dan akhirnya mati. begitu pula dengan negara. Peradaban-Peradaban besar seperti Mesir Kuno, Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Makedonia, Mongolia, dll. pada akhirnya mengalami declining condition dan mati. Demikian pula dengan negara-negara besar yang ada pada sistem internasional kontemporer. Oleh karena kesadaran mereka akan siklus ini, maka negara-negara besar yang sudah maju berusaha untuk mengatasi permasalahn struktural mengenai siklus ini. paper ini akan berusaha secara verstehen untuk mengekesposisi permasalahan ini. Dalam usaha negara-negara besar (yang notabene adalah negara-negara "tua" yang secara kapital, sudah terakumulasi dengan "baik") untuk mengatasi masalah ini, akan muncul beberapa konsep seperti unevent global development dan konsep non-multi-uni polaritas yang masih diperdebatkan dalam ranah teoritis hubungan internasional.

Jatuh-Bangunnya Superpower
Neoliberal-Institutionalism adalah salah satu teori mainstream Hubungan Internasional yang banyak diwacanakan dan diimplementasikan oleh kaum globalis (yang kebanyakan orangnya adalah penganut mahzab English School). Secara superficial, teori ini mengumandangkan bahwa konstruksi teori mereka adalah berdasarkan idealisme-idealisme internasional dimana negara-negara tidak harus terkurung pada struktur versi neorealisme dimana struktur memaksa negara menjadi "jahat". Tetapi apakah benar kenyataanya demikian? Nietszche dan Foucault mengatakan bahwa ada relasi antara konsep power dan knowledge, oleh karena negara-negara besar ini memiliki akumulasi kapital yang besar, maka knowledge dan moralitas masyarakat akademisi hubungan internasional mengenai neoliberal-institutionalism bisa mereka (negara besar) determinasikan melalui power yang mereka miliki. Untuk mengatasi permasalahan ini Foucault membongkar permasalahan ini dengan konsep genealogi dimana faktor-faktor distorsi, konstruksi dan kepentingan yang membangun sebuah moralitas dan pengetahuan dipertanyakan.
Ditelusuri secara genealogis, teori neoliberal-institutionalism ternyata tidak se-idealis yang selalu didengungkan oleh para penganutnya. Berkaitan dengan jatuh bangunnya superpower yang adalah sebuah siklus yang harus dihadapi oleh setiap entitas negara, maka negara-negara besar berusaha untuk membentuk suatu tatanan dunia baru melalui neoliberal-institutionalisme-nya yang dimana driving force dari bentuk konstruksi neoliberalisme ini, adalah rasa "takut" dari negara-negara besar akan suatu siklus, bahwa setiap negara adalah fail(ing/ed) states dan akan menuju pada tahapan akhir dari suatu siklus tersebut yaitu kematian. Usaha negara-negara besar (dan tua) untuk mengehentikan dan sekaligus mengakhiri siklus nihilisme negara ini adalah dengan membentuk struktur baru atau tatanan dunia baru melalui neoliberalisme.

Pengembangan Global Yang Tidak Seimbang (Uneven Global Development)
Salah satu kritik yang paling mendasar yang sering diajukan kepada neoliberalisme berasal dari neo-marxisme yang melihat permasalahan laten yang disebabkan oleh neoliberalisme, yaitu pendikitomian antara "The Haves" dan "The Have Nots". konstelasi perekonomian dan perpolitikan internasional (dimana keduanya saling mendeterminasi satu sama lain) dari penerapan neoliberalisme secara struktural memaksa konsep "The Haves" dan "The Have Nots" ini terjadi sehingga pada dasarnya, negara-negara dunia ketiga, atau dalam terminologi neo-marxisme disebut sebagai pheriperal countries. Jadi negara-negara dunia ketiga ini adalah "korban" yangh harus di korbankan demi kelangsungan hidup dari negara-negara maju yang sudah pada kondisi declining. Mengapa hal ini harus terjadi? mengapa tidak berjalan secara paralel antara negara berkembang dan maju? dalam sistem neoliberalisme kondisi yang seimbang tidak dapat berjalan. Mengacu pada trickle down effect dengan penerapan terbalik (bottom-up bukan top-down) negara-negara kecil yang masih muda, dan masih dalam tahap berkembang, dimana masa depan dari negara-negara ini masih luas, harus "dikebiri" demi kepentingan negara-negara maju yang hampir mati agar tetap hidup. Dengan cara apa? Sekali lagi dengan menerapkan neoliberalisme sehingga sistem kelas internasional dapat terwujud. Bukan hanya itu saja, dengan adanya institusionalisasi internasional, status quo sistem kelas internasional akan tetap terjaga, dan dengan demikian siklus jatuh-bangun superpower tidak akan terjadi karena institusi internasional yang adalah manifestasi dari neoliberal-institusionalisme tidak akan membiarkan hal ini terjadi dengan alasan, mempertahankan stabilitas internasional melalui sebuah hegemon.

Sistem Polaritas Kontemporer (Non/Multi/Uni-Polaritas)
Eksistensi hegemon dalam mengatur stabilitas internasional secara signifikan terjadi pada waktu perang dingin. Kontrol hegemon terhadap negara-negara proxy sangat terlihat dengan jelas pada sistem politik internasional pada perang dingin. tetap pada era pasca perang dingin, sistem polaritas yang bergantung pada hegemon demi tercapainya stabilitas internasional belum terlihat secara signifikan. Berbagai pihak pun memiliki opini yang beragam mengenai sistem internasional pada masa sekarang ini. Ada yang mengakatan bahwa sistem internasional sepeninggalan bipolaritas antara Uni Soviet dan Amerika Serikat berubah menjadi unipolaritas yang dimana Amerika Serikat bertindak sebagai hegemon tunggal dalam sistem internasional. Ada juga yang mengkatan bahwa setelah berakhirnya sistem bipolar perang Dingin, yang muncul adalah kekuatan-kekuatan baru yang tergabung dalam beberapa organisasi regional yang menjadi saingan-saingan baru bagi Amerika Serikat seperti EU, ASEAN, Mercosur, Comundidad Angina, SAARC, dll. Hal inilah yang banyak disebutkan sebagai multipolaritas dalam hubungan dan sistem internasional. Bahkan ada pendapat yang terlihat “sedikit” radikal dalam menanggapi fenomena polaritas dalam hubungan internasional. Penulis seperti Richard Haas adalah salah satu yang beranggapan bahwa sistem internasional pasca perang dingin adalah sebuah sistem dalam satu tatanan yang nonpolar. Konsep dari nonpolaritas sendiri dalam perspektif penulis cenderung terlihat sebagai suatu bentuk multipolaritas dalam diksi yang berbeda, tetapi Haas menjustifikasi diksi barunya itu dengan mengkontraskan multipolaritas dan nonpolaritas. “In contrast to multipolarity -- which involves several distinct poles or concentrations of power -- a nonpolar international system is characterized by numerous centers with meaningful power”.
Ketiga konsep ini saling berhubungan satu-sama lain, Negara maju untuk "memecahkan" siklus jatuh-bangunnya negara, berusaha untuk menciptakan tatanan dunia baru, dimana negara maju mengandalkan ketidak-jelasan konsep polaritas dengan menerapkan neoliberal-institusionalism sehingga terjadi uneven global development demi kelangsunga hidup negara-negara maju.

Referensi
Brown, Wendy (2005). "Neoloberalism and the End of Liberal Democracy" dalam Edgework: critical essays on knowledge and politics Princeton University Press.
Cunningham, Conor (2002), Genealogy of Nihilism: Philosophies of Nothing & the Difference of Theology, New York, NY: Routledge.
Dahendrof, Ralph (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford University Press
Drehle, David Von. (2006). The Multipolar Unilateralist. http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/03/03/AR2006030302055.html diakses pada 19 Maret 2010
Foucault, Michel (1981). The History of Sexuality, vol. 1, Harmondsworth: Penguin.
Haas, Richard N. (2008). The Age of Nonpolarity: What Will Follow U.S Dominance. http://www.foreignaffairs.com/articles/63397/richard-n-haass/the-age-of-nonpolarity diakses pada 19 Maret 2010
Thompson, William R. (1988) On Global War: Historical-Structural Approaches to World Politics. Columbia, SC: University of South Carolina Press.

Senin, 03 Mei 2010

Global Nuclear Concern: Iran Rejects Nuclear Charges

Taken from: http://news.yahoo.com/s/ap/20100503/ap_on_re_us/un_nuclear_treaty

CHARLES J. HANLEY

UNITED NATIONS – Iran's President Mahmoud Ahmadinejad on Monday rejected allegations his country is developing nuclear weapons, saying Washington has offered not "a single credible proof."

In the first day of a monthlong conference reviewing the Nuclear Nonproliferation Treaty, Ahmadinejad dismissed charges that Tehran's uranium enrichment program is designed to produce bombs, long-standing suspicions that are leading the U.S. and others to seek another round of U.N. economic sanctions against Iran.

Addressing delegations of 189 treaty nations, the Iranian leader denounced the Obama administration's refusal to rule out the use of U.S. nuclear weapons.

"Regrettably, the government of the United States has not only used nuclear weapons, but also continues to threaten to use such weapons against other countries, including Iran," Ahmadinejad said.

He referred to the new U.S. Nuclear Posture Review's provision retaining an option to use U.S. atomic arms against countries not in compliance with the nonproliferation pact, a charge Washington lays against Iran.

Ahmadinejad also invited U.S. President Barack Obama to join a "humane movement" that would set a timetable for abolishing all atomic arms, weapons he called "disgusting and shameful."

As the Iranian president spoke, the U.S. delegation, of working-level staff, walked out of the General Assembly hall, as did several European delegations, including the French and British.

U.S. Secretary of State Hillary Rodham Clinton, scheduled to follow Ahmadinejad to the U.N. stage later Monday, suggested over the weekend he was coming to New York "to divert attention and confuse the issue."

"We're not going to permit Iran to try to change the story from their failure to comply" with the NPT, she said on Sunday's "Meet the Press" on NBC.

She was expected to announce a new U.S. initiative on stockpile "transparency" that would provide previously undisclosed details about the size of the U.S. nuclear arsenal.

Opening the conference, U.N. Secretary-General Ban Ki-moon directly challenged Tehran.

"The onus is on Iran to clarify the doubts and concerns about its program," the U.N. chief told the delegates.

He called on the Tehran government "to fully comply with Security Council resolutions" demanding that it halt enrichment, which Washington and others contend is meant to produce the nuclear fuel for bombs in violation of Iran's NPT obligations.

Later, Yukiya Amano, head of the U.N. watchdog International Atomic Energy Agency, said his inspectors could not confirm all of Iran's nuclear material is devoted to peaceful activities. He called on Iran to "clarify activities with a possible military dimension."

While delegates assess the state of the NPT in U.N. conference halls, American and European diplomats will be working elsewhere to reach agreement with the sometimes reluctant China and Russia on a fourth round of U.N. Security Council economic penalties to impose on Iran.

Ahmadinejad, the only head of state participating in the conference, complained that the U.S. and its allies were pressuring Iran "on the false pretext of probable diversions in their peaceful nuclear activities without providing even a single credible proof to substantiate their allegation."

The Iranian leader reiterated his country's support for establishing a nuclear weapons-free zone in the Middle East, an Arab-backed idea aimed at Israel's unacknowledged nuclear arsenal of perhaps 80 bombs. He also called on the U.S. to dismantle its tactical nuclear weapons on NATO bases in Europe.

Ahmadinejad's presence came at the start of a four-week diplomatic marathon meant to produce a consensus final document pointing toward ways to better achieve the NPT's goals of checking the spread of nuclear weapons, while working toward reducing and eventually eliminating them.

The treaty is regarded as the world's single most important pact on nuclear arms, credited with preventing their proliferation to dozens of nations since it entered into force in 1970.

Treaty members gather every five years to discuss new approaches to problems, by agreeing, for example, that the IAEA should be strengthened. The only countries that are not treaty members are India, Pakistan, North Korea, all of which have nuclear arsenals or weapons programs, and Israel, which has an unacknowledged nuclear arsenal.

At three of seven past conferences, delegates failed to produce a declaration, including in 2005, at a time when the U.S. administration, under President George W. Bush, was unenthusiastic about arms control talks.

Obama has steered the U.S. back onto a negotiating track, including with a new U.S.-Russian agreement to reduce their thousands of long-range nuclear arms. Despite that, Libran N. Cabactulan, the Philippine diplomat who is president of this 2010 NPT conference, said he finds the No. 1 goal of many treaty nations is to press the NPT nuclear powers — also including Britain, France and China — to move more rapidly toward disarmament.

Reference: Hanley, Charles J. (2010). On UN stage, Iran leader rejects nuclear charges. http://news.yahoo.com/s/ap/20100503/ap_on_re_us/un_nuclear_treaty accessed today

Konstruktivisme: Jembatan Antara Realisme dan Liberalisme Strukutral. Dekonstruksi Konsep Anarki

Prolog
Teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang unik. Teori ini disebut sebagai teori yang unik karena “ontologi yang sebenarnya” dari teori ini adalah konstruksi pemikiran manusia. Von Glaserfed mengasumsikan bahwa konstrukivisme adalah sebuah filsafat manusia yang emphasize bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi pemikiran manusia. Jadi singkat kata, pengetahuan yang dipandang oleh kebanyakan orang sebagai “acuan” dan bersifat obyektif, maka menurut Glaserfeld, pengetahuan itu bersifat subyektif yang berasal dari subyektifitas dan konstruksi pemikiran manusia penanam nilai-nilai normatif dalam sebuah “pengetahuan”[1]. Teori konstruktivisme banyak memiliki obyek kajian yang sangat berkaitan dengan bagaimana sugesti dari pemikiran setiap manusia itu begitu kuat dan hal ini dapat menyebabkan nilai-nilai positif tersendri dan menciptakan modernitas didalamnya[2].
Terminologi teori konstruktivisme pertama kali, secara umum diketahui bahwa digunakan oleh seorang psikolog bernama Jean Piaget. Jean Piget terkenal dengan kontribusinya pada teori konstruktivisme dalam terminologi “adaptasi kognitif”. Bagi Piget, konstruksi pemikiran manusia itu pada dasarnya sama dengan organisme-organisme yang ada didunia ini yang in case ingin bertahan hidup, maka perlu adaptasi didalamnya. Piglet menganalogikan sistem adaptasi ini kedalam konstruksi pemikiran manusia.
Lantas apa hubunganya dengan teori hubungan internasional? Adakah koherensi antara pengertian konstruktivisme secara umum dengan aplikasinya terhadap teori Ilmu Hubungan Internasional? Untuk mengetahui koherensi antara konstruktivisme dengan Ilmu Hubungan Internasional, perlu kita lihat kajian teoritis mengenai perdebatan realis dengan liberalis akan konsep “sistem internasional yang anarki”. Jika ditarik suatu pemikiran konstruktivis dari konsep tersebut maka ada suatu tesis dan postulat yang menarik seperti yang diungkapkan oleh Alexander Wendt yang menyatakan bahwa konsep mengenai sistem anarki internasional adalah “sesuatu” yang dibuat oleh aktor negara. Maka dari itu, berhubungan dengan teori-teori Ilmu Hubungan Internasional, terutama (neo)realis dan (neo)liberalis, akan dielaborasi lebih lanjut mengenai konsep pemikiran konstruktivisme dalam ranah Hubungan Internasional dan peran rasionalisme dalam “tuaian” kritik yang didapatnya sehingga konstruktivisme menjadi teori yang begitu populer bagi obyek ontologi Ilmu Hubungan Internasional

Overview Konstruktivisme dan Rasionalisme
Berbicara mengenai konstruktivisme tidak lepas dari bagaimana perkembangan konsep akan pemikiran-pemikiran konstruktivisme yang lahir dari kritiknya terhadap rasionalisme. Realisme dan liberalisme sama-sama setuju bahwa teori dan konsep rasionalisme adalah sebuah disposisi teoritis yang dimana interaksi negara secara interasional dapat dijelaskan. Maka dari itu, kedua teori ini (realisme dan liberalisme) “mengamini” pernyataan rasionalis bahwa sistem internsional yang anarki lah yang mendeterminasi perilaku dari negara. Singkat kata, rasionalisme adalah suatu terminologi yang menjadi suatu teori yang overlaps antara realisme dan liberalisme[3]. Hal inilah yang menjadi obyek kritik dari teoritisi konstruktivisme. Konstruktivisme mengkritik hal ini “habis-habisan” terutama dalam sistem anarki yang ditawarkan oleh rasionalisme. Kritik terhadap rasionalisme inilah yang akhirnya memunculkan suatu “jembatan” dalam perdebatan panjang antara realisme dan liberalisme dalam ranah sistem anarki internasional. Konstruktivisme menawarkan suatu alternatif konsep yang cukup “mengguncang” keadaan psikologi dari dua kelompok ini (realisme dan liberalisme, yang tergabung dalam satu pemikiran “rasionalisme” menurut orang-orang konstruktivis)[4]. Berikut ini adalah tabel pemebda antara pembahasan konstruktivisme dan rasionalisme
Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
- Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
- Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
- Menekankan pentingnya kekuatan Ide
- Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
- Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”

- Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
- Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
- Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
- Menekankan pentingnya kekuatan materi
- Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
- Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan materi dan hasil
- Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
- Struktur dan intersubyektivitas
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
- Individual-centrism
- Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
- Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
- Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI
-
- Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
- Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-
Sumber : Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37. Diambil dari :

http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html

Argumen via Media Realisme dan Idealisme: Anarchy Is What State Make Of It.
Dalam perkembangannya, sebagai suatu teori yang dominan dalam kajian studi Ilmu Hubungan Internasional, baik realisme dan liberalisme percaya bahwa sistem internasional itu bersifat anarki[5]. Baik secara struktural (neorealisme & neoliberalisme) ataupun tidak. Bagi pemikir konstruktivis, pernyataan ini hanyalah sebuah justifikasi belaka dari dua kalangan rasional ini, baik liberal maupun realis. Berbeda dengan pemikiran (neo)liberal dan (neo)realis yang berasumsi bahwa sistem internasional yang anarki lah yang menjadi faktor determinan bagi sikap suatu negara. Dalam asumsi neoliberal (yang berbau ideal), sistem anarki internasional adalah suatu sistem yang bersifat “memaksa” negara-negara dibawah sistem interansional itu saling berkooperasi dan bekerjasama berdasarkan prinsip interdependensi. Sedangkan asumsi (neo)realis adalah sistem anarki internasional bersifat konfliktual dan sekali lagi “memaksa” negara-negara dibawah sistem anarki internasional untuk saling bersifat agresif-preventif agar dapat survive dalam sistem internasional yang anarki. Sebenarnya asumsi inilah yang menjadi landasan pemikiran konstruktivis dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional. Menanggapi asumsi dari (neo)realis maupun neoliberalis, konstruktivisme hampir sama dengan asumsi awal konstruktivisme yang diungkapkan Von Glaserfeld, berasumsi bahwa, terminologi sistem internasional yang anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) dikonstruksikan oleh “keadaan psikologis” negara itu sendiri. Artinya adalah bagaimanapun sifat sistem internasional itu, baik konfliktual maupun kooperatif, hal tersebut terdeterminasikan oleh bagaimana cara state atau negara itu bertindak. Tentunya hal-hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan psikologis dari setiap negara. Dalam hal ini, Alexander Wendt memiliki versi dari konstruktivisme yang lebih radikal, yaitu konstruktivisme yang juga mengkritik asumsi konstruktivisme “reguler” yang menyatakan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”. Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”[6]

Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor[7]

Dari semua ekspalanasi yang ada, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konstruktivisme menjadi sebuah pemikiran dan paradigma yang populer dikalangan akademisi Ilmu Hubungan Internasional akibat keunikannya dalam memberikan terobosan dalam mengkrtitik kerangka berpikir baik dari rasionalisme, realisme, dan liberalisme. Dengan adanya suatu konsepsi baru mengenai konsep sistem internasional yang anarki menyebabkan lahirnya suatu breakthrough bagi pemikiran yang terkotakkan oleh liberalisme dan realisme. Akibat breakthrough yang dilakukan oleh konstruktivisme, lahir beberapa pemikiran seperti modernisme, postmodernisme, dan teori-teori mengenai gender[8]. Dengan sikap yang seperti “menjembatani” antara realis dan neoliberal dalam konsep sistem anarki internasionalnya, konstruktivisme memposisikan dirinya berada diantara neoliberalisme dan realisme, dengan demikian konstruktivisme dapat juga disebut sebagai suatu teori yang bersifat alternative theory.

[1] Ernst von Glasersfeld (1987) The construction of knowledge, Contributions to conceptual semantics. W Norton & Co Incorporated. 1st edition
[2] Slezak Peter. (2000) "A Critique of Radical Social Constructivism", in D.C. Philips, (ed.) 2000. Constructivism in Education: Opinions and Second Opinions on Controversial Issues. The University of Chicago Press.
[3] Andrew Linklater, (1996), Rationalism. Theory of International Relations. Macmillan Press Ltd. London
[4] Walter Kaufmann (2008). From Plato to Derrida. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall
[5] Robin Mandagie (2009). Realisme dan Neorealisme: Paham Dominan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Jurnal minggu ke-1 mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Universitas Airlangga.
[6] Alexander Wendt (1992). Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics.
[7] Maja Zehfuss, (2002), “Constructivism in International Relations : The Politics of Reality”, Cambridge University Press, Cet.
[8] http://ajideni.blogdrive.com/archive/1.html diakses pada 12 Mei 2009

Dinamika Regionalisme Timur Tengah

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Robin Riwanda Mandagie


prolog
Salah satu kawasan yang memiliki anomali atau keanehan yang menyebabkan adanya terminologi “pengecualian” atau exception adalah kawasan timur tengah, atau yang sering disebut sebagai middle east. Kawasan ini sering disebut sebagai kawasan yang dimana realisme dipandang sebagai suatu teori yang paling pantas digunakan untuk mendeskripsikan keadaan dan sirkumstansi politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi didalamnya.[1] Esai ini akan menjelaskan titik-titik permasalah apa saja yang ada di timur tengah dan bagaimana usaha-usaha kaum idealis timur tengah dalam membangun perdamaian di timur tengah. Untuk mengawali bahasan esai kali ini, secara etimologi akan dideskripsikan bagaimana terminologi timur tengah menjadi suatu hal yang baku jika kita merujuk pada negara-negara arab.

Etimologi “Timur Tengah”
Membahas mengenai hal ini secara umum dapat kita ketahui bahwasannya dunia memakai frase “timur tengah” untuk menunjuk pada negara-negara yang ada di jazirah arabia. Dengan menggunakan metode dekonstruktif terhadap pemahaman teks dengan merujuk pada konteks yang ada, akan dapat kita ketahui bahwa tekstualitas “timur tengah” lahir dari kontekstualitas yang ada pada saat itu. Terminologi timur tengah menjadi populer dikalangan bangsa Eropa ketika Alfred Thayer Mahan menggunakan terminologi ini untuk menunjuk pada negara-negara arab. Hal ini bertamabah populer ketika para official Inggris yang ada di India juga menggunakan terminologi ini dalam merujuk kepada Timur Tengah. Kritik pun bermunculan pada terminologi “timur tengah” ini karena banyak pihak yang menilai bahwa terminologi timur tengah ini bersifat eurosentris.

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Dalam seminar dan workshop mengenai timur tengah yang diadakan oleh Mediterranean Social and Politic Research dengan pembicara oleh Matteo Legranzi (Univeristas Oxford, Inggris) dan Cilja Harders (Universitas Ruhr, Jerman), dapat diambil suatu poin bahwa kebangkitan regionalisme yang terjadi pada kawasan timur tengah ini, lebih banyak terjadi pada organisasi-organisasi sub-regional.[2] Regional identity awarness juga banyak bermunculan di timur tengah, dan organisasi-organisasi sub-regional-lah yang mengalami banyak kemajuan. Organisasi-organisasi seperti Gulf Cooperation Council (GCC). GCC adalah salah satu organisasi sub-regional yang mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan merupakan organisasi regional yang paling banyak mendapatkan sorotan dan bahkan bargaining position yang kuat dalam sistem internasonal, dan juga dinilai sebagai organisasi regional inisiatif yang paling sukses.[3] Tujuan utama terbentuknya GCC (1981) pada saat itu dapat kita lihat sebagai respon preventif terhadap gejolak-gejolak perang yang terjadi pada saat itu seperti revolusi Iran, perang Irak-Iran, dan perang teluk. Kooperasi regional oleh negara-negara yang berada disekitar teluk Arab itu memang ditekanan dalam penjagaan keamanan regional daerah teluk.
Meskipun demikian, terdapat pula intensi dan tendensi pada GCC untuk bergerak kearah yang progresif, yaitu mengembangkan kerjasama di bidang ekonomi pula. Hal ini terlihat dari negara-negara anggota GCC yang lebih “mengalihkan” pandanganya terhadap Gulf Organization for Industrial Consulting (GOIC) yang terbentuk lebih dulu, yaitu pada 1976. Dengan meredanya ketegangan yang ada pada daerah teluk, tidak mengherankan jika GCC yang terbentuk dengan kepentingan keamanan lebih banyak dialihkan pada GOIC yang lebih ditujukan pada kepentingan ekonomi.
Salah satu organisasi sub-regional timur tengah yang terlihat “eksist” (karena banyak menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa barat) adalah Arab Maghreb Union (AMU). AMU adalah salah satu organisasi sub-regional yang terbentuk pada tahun1989 dengan motivasi yang hampir sama dengan GCC yaitu sebagai tindakan preventif regional terhadap permasalahan keamanan (konflik sahara barat). Tetapi berbeda dengan GCC yang dalam kooperasi ekonominya lebih “dialihkan” pada GOIC, AMU menangani kerjasama-kerjasama yang lebih kompleks daripada GCC. Bukan hanya permasalahan keamanan, tetapi juga integrasi ekonomi dan integrasi secara sosio-kultural.[4] Tetapi konflik pun kerap terjadi dalam internal AMU sendiri. Anggota-anggota AMU juga tidak terlepas dari konflik kepentingan dan mengarah pada pertanyaan “siapakah yang menjadi hegemon?”. Hal ini terimplikasikan oleh konflik yang pernah terjadi pada Algeria dengan anggota AMU lainnya. Pada tahun1994, Algeria berusaha untuk memindahakan kepresidenan AMU ke Libya. Tentunya hal ini menyebabkan ketegangan diplomatik antara Algeria dengan anggota AMU lainnya terutama Maroko dan Libya itu sendiri.
Meskipun organisasi-organisasi sub-regional dipandang lebih banyak memiliki beberapa aspek yang secara signifikan progresif, kita tidak dapat semerta-merta mengalihkan pandangan kita terhadap organisasi regional yang ada di timur tengah. Arab League (AL) adalah salah satu organisasi regional tertua yang ada di timur tengah (terbentuk pada 1945). AL adalah organisasi regional yang turut berjuang dalam kemerdekaan palestina[5] dengan demikian hal ini menjadikan Israel sebagai salah satu musuh dari AL. Tetapi dalam prakteknya kinerja AL kurang begitu terasa dalam berbagai hal, termasuk dalam usahanya memerdekakan Palestina. Suara dan kekompakan dari AL baru begitu terasa ketika akhir-akhir ini Israel melancarkan serangan balasan roket Hammas dalam Operation Cast Lead (Hebrew: מבצע עופרת יצוקה‎) pada tanggal 26 Desember 2008.

Sumber Permasalahan Timur Tengah
Ada dua hal utama yang menjadi perhatian dalam kawasan timur tengah ini baik secara regional maupun secara internasional. Dua hal utama penyebab konflik yang banyak terjadi di timur tengah adalah, pertama, permasalahan minyak. Sedangkan yang kedua adalah perebutan kota Jerusalem diantara ketiga kelompok yang mengatasnamakan agama samawi (Judaisme, Kristenan, & Islam). Dua permasalahan ini telah menjadi bahasan yang sangat kontroversial karena kedua masalah inilah yang menjadi dasar konflik yang berkelanjutan mulai dari dua dekade ini. Jika kita menelusuri dua sumber permasalahan ini dengan metode pembacaan teks dengan pertimbangan kontekstual maka akan dapat kita ketahui bahwasannya permasalahan mengenai minyak di jazirah arabia dan keseluruhan timur tengah dimulai sejak keberhasilan Nova Scotian Abraham Pineo Gesner pada tahun 1854 dalam mengkonversikan minyak mentah menjadi kerosin (kerosene) dan ditemukannya sumber minyak yang besar pada jazirah arabia. Setelah berkembangnya peristiwa 1854, minyak menjadi salah satu komoditas yang menjadi perebutan negara-negara, baik besar maupun kecil.[6] Kepentingan-kepentingan negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat terhadap negara-negara produsen minyak yang ada di timur tengahpun meningkat secara drastis. Dengan intervensi-intervensi politik yang sering dilakukan Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah menyebabkan adanya sentimen-sentimen anti Amerika yang timbul pada masyarakat timur tengah. Ditambahkan dengan konviksi agama, masyarakat timur tengah menajdi semakin anti dengan Amerika Serikat oleh karena intervensi yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah mengenai permasalahan kepentingan minyak.
Permasalahan kedua yang menjadi permaslahan utama dalam dinamika dimensi keamanan yang ada dalam problematika timur tengah adalah Jerusalem. Mengapa Jerusalem? Jerusalem menjadi obyek perebutan dari Israel dan negara-negara arab oleh karena Jerusalem mempunyai beberapa sisi strategis jika Jerusalem jatuh kedalam salah satu pihak. Merujuk pada kerangka berpikir Mackinder mengenai heartland, dapat dianalogikan bahwa heartland disini adalah Jerusalem (Meskipun dalam teori Mackinder heartland merupakan salah satu bagian dari Eropa timur). Jerusalem memiliki posisi strategis karena Jerusalem merupakan pintu gerbang antara Eropa dan Timur Tengah. Meskipun secara geografis Jerusalem termasuk dalam kawasan timur tengah, tetapi dengan kondisi geografis yang mengkondisikan Jerusalem berada diantara dua “spesies” kultur yang jauh berbeda antara kultur Eropa dan Arab, maka secara kultural, Jerusalem memiliki kekayaan kultural yang besar. Selain itu, kondisi Jerusalem yang terletak dekat dengan teluk mediterania, secara historis dan kontemporer, Jerusalem memiliki asupan perdagangan yang cukup besar pula. Secara klasik (jaman medieaval) dari perspektif Eropa, dalam menguasai jazirah arabia, maka sebagai pintu masuk harus menguasai Jerusalem terlebih dahulu. Sedangkan dari perspektif negara-negara timur tengah, untuk menguasai eropa, maka harus melalui Jerusalem terlebih dahulu. Selain faktor geopolitik, permasalahan ideologi agama yang ada di Jerusalem juga mempengaruhi negara-negara dalam memperebutkan Jerusalem (Karena Jerusalem merupakan pusat perpaduan okupasi dari 3 agama besar). Tidak mengeherankan jika penguasa-penguasa jaman dahulu (hingga sekarang) memperebutkan Jerusalem demi alasan politis.
Perjuangan utopis Israel dan Palestina dalam mencapai kesepakatan perdamaian pun sampai sekarang tak kunjung mencapai suatu tahap solusi. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin berhasil mengadakan suatu proses dalam normalisasi hubungan antara Israel dengan Palestina. Hal ini terlihat dari Israel-Palestine Liberation Organization letters of recognition yang adalah sebuah seri dari surat menyurat resmi antara Yitzhak Rabin dengan Yasir Arafat, Chairman dari Palestine Liberation Organisation (PLO).[7] Tetapi setelah semenjak Yitzhak Rabin terbunuh pada 4 November 1995, proses perdamaian antara Israel dan Palestina hanya tinggal kenangan saja.

Sumber:
Schulz, Helena Lindholm & Michael Schulz. (1996). The Middle East - exception or embryonic regionalism?
Department of Peace and Development Research. Goteberg University.
http://www.eui.eu/RSCAS/Research/Mediterranean/mspr2006/pdf/WS01.pdf. diakses pada 24 Mei 2009

Aarts, P. (1997). The Middle East: a region without regionalism or the end of exceptionalism? Draft text for workshop on `The Political Economy of Regionalisation', University of Amsterdam, 18-19 December 1997.
Aggad, Faten. "The Maghreb Union: Will the Haemorrhage Lead to Demise?" African Insight. April 6, 2004.
http://avalon.law.yale.edu/20th_century/arableag.asp diakses pada 25 Mei 2009
Hyne, Norman J. (2001). Nontechnical Guide to Petroleum Geology, Exploration, Drilling, and Production. PennWell Corporation.
http://www.usip.org/library/pa/israel_plo/oslo_09131993.html diakses pada 25 Mei 2009

Globalization in Constructing Global Realism: Distortion to The Concept of Sovereignty

Prologue
Globalization became the most discussed term when the cold war ended in the late 1980s and early 1990s. The changes that had occurred in almost all international political atmosphere affected most aspects of the international political analysis because of globalizaion. Many stated that the world is now unmeasured, nothing can measure the political behavior of the states, the actors themselves that are recognized by the system are not only the states, the concept of sovereignty distorted throughout the emerging of regional organizations whose regulations sometimes become a literal bond for the states as the members. If the international political system pre-coldwar could be positively analyzed by searching the relations of a phenomenon to the coldwar between the United States and Soviet Union, then after Soviet Union collapsed the opinion of the International Relations scholar became widely fragmented. The opinions that arose from the end of coldwar in measuring the polarity system varies from the unipolarity, multipolarity , and even some scholars define the current international political polarity in a condition of a nonpolarity. Although the terms of polarity varies in three, one thing for sure that this wide fragments of international political analysis indicates that the concept of anarchy is intensifying than before the coldwar ended. Why? Because now the states are not depended on two polars, they have their own way to determine their foreign policy without concerning the United States or Soviet Union, so that nowdays the international political system become more than just harder to be analyzed.

The high tension of the coldwar is not the main issue of the international political studies anymore. Now the international politics also concern about the political economy and political cultural aspects. One term that close to the post-coldwar phenomenon is globalization. Globalization could happen in many aspects. Poltical, economics, and cultural could be globalized. This globalization tendency is due to the system that is more anarchic than in the coldwar era, all the elements of the world try to globalize the world through the global integration (that is slowly being realized in UN). Many believe that the world try to stabilize the anarchic system in unclear polarity in international political system by constructing the global governance in United Nations through regional groupings and this many people who believe are not ordinary people, they are international figures, whose statements about the global governance issue initially hidden. This paper try to reveal the building of the supranationalistic government in UN through the regional groupings , and falsibility of the traiditional meaning of sovereignty to construct the new “breed” of sovereignty that sustaining the global governance.

Global Realism: The Way to Explain The Construction of “Neo” Sovereignty
Many international relations scholar question about the traditional concept, meaning, and definitions of the sovereignty. For the globalists and the market-neoliberalists the concept of sovereignty is the main barrier for them. This also happen in the humanitarian intervention dilemma in the United Nations. Although there such kinds of security community and collective security intergovernmental organization sometimes sovereignty be the barrier for their plan and agenda. In response to this problem, the states are avoiding the “open conflict” in explicitly turning the sovereignty into regional-global sovereignty by secretly and slowly omitting their national sovereignty in purpose of constructing a collective sovereignty. This phenomenon can be seen in the intensifying EU, (upcoming) ASEAN Community, and (upcoming)NAFTA-North American Union (NAU). Why these three regional organizations? Because they are the prefect examples of the construction of regional sovereignty that was a part of Lucio Levi’s regional groupings of supranationalistic organization. Global realism is the writer’s own term to define the condition the contemporary international political constellation. This global realism framework is a combination of two classical framework has been updated before. They are (neo) realism, (neo)liberalism, and conspiracy hypothesis. But it does not mean this frame of mind in between the two theories of realism and liberalism, global realism has its own postulate and standpoint, although many are drawn from realism and liberalism. Topics to be discussed to manifest the global realism is the formation of supranationality in supraregional “realm”, namely the establishment of one world government that will be under the frame of one world government.

Why is this frame of mind known as a global realism? Structurally, this framework uses several postulates (neo) realism, such as: Human beings are basically evil, collective security is a way to achieve perpetual peace, the international system which is anarchy is given, and high politics are major issues in International Relations. Although realism postulates dominant thinking within the framework of the global realism, there are several postulates of neo-liberalism like, insovereignty, the actors other than the states which are more influential than states, and the consolidation of state in a larger entity. In addition to liberalism, conspiracy theoretical framework also contributed to the formation of a global mindset is such realism: the existence of a conspiracy consisting of a few influential people in the world that the global international system design. War, peace, trade, and others are in the hands of some influential people.

in particular the global realism has its own postulate portion that constructed through theoretical postulates of mainstream theory. Postulates of global realism are that global realism has a basic assumption that the international system of post-cold war experience anomalies resulting from the loss of the opposing polarity (USSR) from U.S.A. As explained above, scholars widely argued that the international system is in a position of unipolarity, multipolarity, and there is also a statement that the international system at this point in nonpolarity conditions. The emergence of alternative theories also indicate that the international system which is the post-cold war international system is asystem nobody can predict nor measure. Global realism is an idealistic project that was driven from the realist assumption that the man is evil. By not trying to escape from "reality" that man is an evil entity, the global realism rely on collective security to cope with major problems humanity. But one thing that should be aware of is to apply the concept of collective global security in terms of thinking of realism is something that is impossible because the concept of security is a concept that is closely related to the sovereignty of a country. Therefore insovereignty (neoliberalism) is needed here to destruct the concept of sovereignty and replace it with neo-sovereignty which is a new concept of sovereignty, but in the level of global-structural analysis. What does that mean? Namely the establishment of sovereignty in the global level at the expense of state sovereignty and replace it with sovereignty in supranational organizations, which in the global ontology of realism is called the neo-sovereignty. This also is the "attempt" to overcome neorealism structural problems, namely the anarchic international system, therefore supranational governance is needed.

Conclusion: It Is All of Globalization
Does globalization have anything to do with the global realism? Indeed yes, etymologically global realism is the realism that is globalized within the “mainstream” of globalization. Because of the globalization phenomenon, the concept of global realism, sovereignty, insovereignty, neo-sovereignty become the most suitable way and theory to give an exposition, explanation, and solution to the current international political circumstances. The globalization as a process can not be avoided, it is an inevitable process that every entity in this world has to cope with. Therefore as an alternative way to cope with it, global realism is the most suitable and comprehensive way to give an explanation and solution towards anarchic system in post-coldwar international political system.

References:
Drehle. (2006). The Multipolar Unilateralist. http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/03/03/AR2006030302055.html accesed on October 17th 2009
Haas, Richard N. (2008). The Age of Nonpolarity: What Will Follow U.S Dominance. http://www.foreignaffairs.com/articles/63397/richard-n-haass/the-age-of-nonpolarity accesed on October 17th 2009
Levi, Lucio. (2005). The European Parliament for the Strengthening and Democratization of the UN. http://www.reformtheun.org/index.php/civil_society_statements/c35?theme=alt1 diakses pada 27 Juni 2009

Mandagie, Robin R (2009) One World Government dan Regionalisme: “Kajian Teoritis Mengenai Fenomena Integrasi Regional dalam Kasus ASEAN Commmunity serta Kajian Tendensi European Union dan North American Union Ke Arah Supranasionalitas.” Tugas Akhir HIK. Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Thompson, William R (1988) On Global War: Historical-Structural Approaches to The World Politics. Columbia, SC: University of South California Press.

Minggu, 02 Mei 2010

Kemunculan Multiple Authorities Sebagai "Ancaman" Postmodern Pada Sistem Keamanan Global dan Entitas Nation-State

Kemunculan Multiple Authorities Sebagai "Ancaman" Postmodern Pada Sistem Keamanan Global dan Entitas Nation-State

Review Artikel: Non Liberal Political Complexes and The New Wars, bab 7 dalam buku "Global Governance and The New Wars" Oleh Mark R. Duffield.

By Me

Apakah globalisasi membuat tatanan struktural keamanan yang ada sekarang berubah menuju sesuatu yang beyond what is modern, atau kembali beberapa langkah hingga menuju sistem keamanan tradisional yang bahkan tidak pernah terpikirkan masyarakat dalam keadaan "tradisional" itu tersebut? Pertanyaan seperti inilah yang menjadi bahan kajian para globalis, terutama para globalis yang banyak berkecimpung pada diskursus mengenai keamanan. Khusunya, yang akan dibahas lebih lanjut pada review ini adalah tulisan Duffiled yang berjudul "Non Liberal Political Complexes and The New Wars". Dalam tulisan ini Duffield banyak sekali mengkritik developmentalisme oleh karena tujuan awal dari developmentalisme yang semula adalah membangun keadaan suatu region agar kondisi semakin konstruktif, pada kenyataanya keadaan tidak seperti apa yang di idealismekan oleh orang-orang liberal dalam developmentalisme-nya. Dengan adanya globalisasi, menurut Duffield, permasalahan pembangunan di suatu negara atau kawasan tertentu merupakan tanggung jawab masyarakat global. Oleh sebab itu, semenjak berakhirnya perang dingin, "Marshal Plan" sudah bukan lagi milik dari negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) saja, tetapi juga menjadi milik masyarakat dunia, termasuk kawasan Eropa Timur yang kini dimanifestasikan dalam suatu terminologi bernama Humanitarian Aid.


Menurut Duffield, Himanitarian Aid atau bantuan kemanusiaan untuk pengembangan-pengembangan pada kawasan-kawasan miskin yang notabene negara-negara yang ada didalamnya dapat dikategorikan sebagai weak states ataupun failed states, semula ditujukan untuk tujuan-tujuan yang sangat idealis. Yaitu pembangunan untuk masyarakat global yang lebih baik, sebagaimana yang diimpikan oleh kaum developmentalis dan liberal peace. Tetapi pada kenyataanya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa apa yang diidealismekan tidak seperti apa yang terjadi pada lapangan. Bantuan-bantuan untuk kemanusiaan yang banyak mengalir pada berbagai bidang seperti finance sebagaimana yang digelontorkan International Monetart Funds (IMF) terhadap Rusia. Duffield memaparkan data bahwa jumlah nominal sebesar 20 Miliar Dollar Amerika Serikat mengalir keluar dari Rusia ke Eropa dan Amerika Serikat, dan bantuan yang diberikan IMF kepada Rusia & Eropa Timur tidak berarti lagi terutama bagi kaum optimis-globalis yang mendambakan Rusia & Eropa Timur akan sepenuhnya"terintegrasi" secara struktural dengan globalisasi melalui IMF. Lantas kemana uang sebanyak itu hilang? Duffield mengatakan bahwa hal tersebut terkait dengan korupnya- atau bahkan lemahnya pemerintah yang sovereign sehingga dana dapat bocor dengan mudah. Apakah hanya itu saja? Tentu saja tidak. Dalam artikelnya, Duffield menyebutkan bahwa globalisasi membuat dunia ini justru terserat pada fenomena yang disebut sebagai neo-medievalisme. Pernyataan Duffield ini didukung oleh Hedley Bull yang mengatakan pada salah satu bab yang terdapat di bukunya bahwasannya sistem keamanan internasional yang kompleks membuat sistem keamanan (atau ketertiban/order) nasional yang secara konvensional ter-sentralisasi, dalam era globalisasi ini justru mengalami de-sentralisasi. Mengapa sistem keamanan atau ketertiban menjadi begitu kompleks bagi Bull? Bull melihat apa yang dilihat oleh Duffield, yaitu struktur atau sistem keamanan nasional yang bertumpukan, ambigu, dan overlapping antara pemerintah (negara) dengan otoritas-otoritas lokal yang banyak didominasi warlords, pemberontak, mafia, gangster, triad, dll. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara weak atau failed saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Hal ini bagi Duffield menyebabkan semakin blurry-nya peran nation-states atau negara bangsa sebagai patron dan pemegang kontrak sosial dari warga-negaranya. Tidak sedikit warga negara pada negara tertentu yang membayar pajak pada negara, tetapi juga masih membayar protection money dari otoritas-otoritas lokal yang ada di daerahnya.


Menurut Duffield fenomena ini terjadi akibat dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi membuka banyak ruang agar demokrasi, liberalisme, dan rasa-kemanusiaan untuk semakin berkembang dalam pikiran masyarakat, demikian juga para optimis global dan kaum developmentalis. Tetapi dalam berbagai sirkumstansi hal ini justru menjadi blunder bagi optimisme dari kaum optimis itu sendiri. Dengan semakin tertanamnya demokrasi dan liberalisme, maka negara-negara yang dulunya otoritarian dituntut untuk mengurangi "represinya" demi kelancaran demokrasi. Kesempatan seperti inilah yang banyak digunakan oleh sentral-sentral power tertentu untuk bangkit dan going rogue secara massal. Bukan saja bekerja secara lokal pada region tersendiri, tetapi seiring bertambah kuatnya poros-poros kekuatan non-negara ini membuat peran negara sebagai penjaga law & order semakin pudar. Hal inilah yang dimaksudkan Duffield dan Bull sebagai neo-medievalisme, dimana sistem keamanan internasional secara global sedang memasuki dark-age yang baru. Bukan saja bertambah kuat dan membuat peran negara semakin kabur, poros-poros kekuatan non-negara ini juga membangun aliansi dengan poros-poros kekuatan di negara lain secara transnasional. Contoh dapat dilihat pada organisasi-organisasi terorisme dan kriminal seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, Sindikat Triad, dll. Sehingga peran negara sebagai kontraktor sosial yang menyediakan perlindungan bagi warga negaranya menjadi tidak lagi relevan. Perlindungan-perlindungan cenderung bersifat privat, dan disediakan oleh aktor-aktor yang secara legalitas tidak memiliki legitimasi layaknya sebuah negara.


"Peperangan" sudah memasuki tahap yang baru. Bukan lagi negara dengan negara yang sebagaimana menjadi tren tersendiri sebelum fenomena ini muncul. Mungkin fenomena ini akan menjadi pukulan yang terparah bagi kaum realis. Satu hal yang harus ditekankan disini adalah sistem keamanan global adalah suatu sistem yang sangat kompleks. Kajian ontologis yang hanya berkecimpung pada tataran negara tidak dapat menjelaskan fenomena ini dan juga memberikan solusi terhadapnya. "Peperangan" sekarang lebih terfokus pada tataran postmoderen, dimana ancaman tidak hanya datang dari negara lain (justru hal ini berkurang) tetapi lebih banyak datang dari organisasi-organisasi yang berperan sebagai poros-poros kekuatan yang mengancam entitas dari negara itu sendiri. inilah perang baru atau the new war.

Referensi:
Bull, Hedley. (1977). The Anarchical Society: Study of Order in World Politics. Columbia University Press.
Duffield, Mark R. (2001). Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security. "Non Liberal Political Complex & The New Wars". Zed Books

Sabtu, 01 Mei 2010

Selamatkan Bumi, Selamatkan Manusia: Sebuah Dilema Stabilitas

Review Artikel: Saving The Planet. Bab 6 dari Buku "Making Globalization Work" Oleh Joseph Stiglitz

Robin Riwanda Mandagie, 070710174

Joseph Stiglitz dalam tulisannya ini menekankan bahwa globalisasi tidak hanya berbicara mengenai permasalahan identitas, kultur, nasionalisme, keamanan, finansial, dan integrasi. Tetapi globalisasi juga membawa suatu permasalahan baru oleh karena meningkatnya ketergantungan pesatnya perekonomian pada konsumsi bahan bakar fosil. Stiglitz memulai tulisannya dengan memuat argumen-nya mengenai the error of the commons. Stiglitz berpadangan bahwasannya kesalahan manusia terbesar dalam semakin rusak-nya planet Bumi adalah karena sumber daya alam dipandang sebagai sesuatu yang common, atau dalam artikel ini Stiglitz menamainya dengan common goods. Seperti contoh sumber daya alam (SDA) seperti minyak bumi. providance minyak bumi oleh alam ini adalah gratis. Barangsiapa mampu dan memiliki peralatan canggih untuk mengeksploitasi minyak bumi, maka minyak bumi itu gratis bagi orang yang mampu mendapatkannya. Oleh karena pemikiran common goods seperti ini, menurut Stiglitz, hal ini mempercepat proses eksploitasinya, dan mau tidak mau eksploitasi minyak bumi yang dimulai sejak masa awal revolusi industri ini membuat semua sistem mulai dari politik, ekonomi,dan teknologi bergantung pada minyak bumi ini.

Solusi yang ditawarkan oleh Stiglitz ada dua. Yang pertama adalah memprivatisasi common goods, sehingga menjadi private goods. Sedangkan yang kedua adalah meng-governalize sumber daya alam yang ada, sehingga common goods menjadi public goods. Tetapi Stiglitz dalam memberikan rekomendasi-nya yang pertama terkesan pesimistis. Hal ini terlihat dari kalimat yang ditulisnya "In practice, however, privatization have always been marked by grace inequalities" dan "In Brazil, forest privatization have led to rapid deforestation".[1] Stiglitz cenderung condong terhadap solusi kedua, yaitu social control atau governalization terhadap suatu sumber daya alam. Tentu kontrol sosial terhadap sumber daya alam tidak akan berhasil jika dilakukan negara. Mengapa demikian? Yang ditakutkan oleh Stiglitz adalah jika sumber daya alam tersebut akan bias politik. Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Persia dimana konflik yang ada seakan tak berujung dan tidak ada penyelesain konkrit didalamnya. Hal ini menurut Stiglitz, yaitu kontrol sosial sumber daya alam oleh aktor negara, sangat berpotensi terhadap konflik dan harus dihindari. Kontrol sosial yang diidealkan oleh Stiglitz adalah collective action dari setiap entitas negara bangsa secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan sumber daya alam ini. Meskipun tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik, tetapi bagi Stiglitz permaslahan global harus diselesaikan dengan cara yang global pula. Sebagaimana global warming sebagai suatu fenomena global yang sampai saat ini terus diusahakan usaha-usaha global untuk menemukan solusinya.

Bagi Stiglitz fenomena globalisasi yang ter-signifikan adalah global warming. Globalisasi yang terjadi dalam bidang budaya, teknologi, dan informasi tidak sesignifikan apa yang terjadi dalam fenomena global warming. Mengapa demikian? dalam hal global warming setiap negara, kelompok, ataupun individu saling berbagi atmosfir yang sama. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, fenomena ini diakibatkan oleh overusing masyarakat bumi pada minyak bumi sehingga mau tidak mau, society dunia sangat tergantung pada sumber daya alam yang satu ini. Berbagai usaha untuk mencari alternatif dari energi minyak bumi-pun marak dilakukan oleh kaum environmentalis, tetapi tetap saja tidak ada suatu gebrakan yang dapat secara strukutural menggantikan ketergantungan masyarakat dunia terhadap minyak bumi. Dengan maraknya penggunaan minyak bumi secara global hal ini tentu menambah emisi karbon yang dihasilkan oleh dunia secara global.

Ukuran yang dilakukan oleh Stiglitz adalah tingkat keajuan perekonomian. Semakin maju perekonomian suatu negara, maka pesat pula industri yang maju dan berkembang didalamnya. Semakin berkembangnya suatu industri tentu hal tersebut membutuhkan bahan bakar minyak yang tidak sedikit. Menurut Stiglitz ada ketimpangan dalam hal ini. Dengan menggunakan ukuran yang diberikan oleh Stiglitz, maka negara penyumbang emisi karbon terbesar adalah negara-negara maju, terutama Amerika Serikat. Stiglitz menggambarkan sebuah dilema disini: Usaha-usaha global yang dilakukan masyarakat dunia adalah usaha yang konvensional. Permasalahan yang menyebabkan global warming adalah emisi karbon yang berlebihan sehingga ozon layer semakin tipis sehingga menimbulkan greenhouse effect. Penyelesaian yang diambil adalah dengan memotong jumlah emisi gas karbon. Dengan dipotongnya emisi gas karbon maka hal ini akan mengurangi aktifitas industri pada negara maju, terutama Amerika Serikat, penyumbang 25% gas karbon secara global. Dilemanya adalah negara besarlah yang menjadi obyek pemotongan emisi, dan akibatnya adalah penurunan aktifitas ekonomi. Bagi Stiglitz wajar saja Amerika Serikat tidak meratifikasi protokol Kyoto, karena hal tersebut dapat menyebabkan instabilitas perekonomian dalam negerinya. Bagi Stiglitz jika instabilitas perekonomian Amerika Serikat hanya berlaku bagi Amerika Serikat saja tidak akan menjadi masalah yang besar. Akan tetapi sistem finansial global yang ada pada saat ini memaksa dunia secara global merasakan apapun yang Amerika Serikat rasakan. Jika emisi gas karbon Amerika Serikat dipotong beberapa persen saja, maka instabilitas tidak hanya melanda Amerika Serikat, tetapi berdampak sistemik terhadap seluruh dunia. Disinilah menurut Stiglitz sebuah dilema yang selalu membuat perundingan apapun mengalami deadlock.

Akan tetapi seberapapun filantropisnya seorang Joseph Stiglitz, prespektif yang digunakan olehnya dalam menulis artikel Saving The Planet sangat tidak enviro-sentris. Secara pribadi reviewer lebih melihat bahwa tulisan Stiglitz lebih humano-sentris. Hal ini tertuang pada tulisan Stiglitz yang cenderung mengkhawatirkan stabilitas ekonomi, politik, dan berbagai macam variabel lainnya yang dapat menjadi sebuah distorsi yang menghalangi tercapainya suatu kesepakatan dalam menyelesaikan permasalahan global warming. Disatu sisi Stiglitz menawarkan solusi alternatif, yaitu pembebanan pajak secara kolektif dan common terhadap setiap ukuran emisi yang digunakan, maka secara tidak langsung para produsen emisi akan sedikit demi sedikit mengurangi emisi-nya dengan kapasitas yang tidak sampai menggocang sistem dan struktur yang ada. Tetapi tetap saja solusi Stiglitz lebih terlihat humano-sentris daripada enviro-sentris. Dan memang mustahil bagi seorang manusia untuk purely enviro-sentris.

Referensi:

Stiglitz, Joseph.(2006). Saving The Planet."Making Globalization Work" W.W Norton & Company.pg 163-164



[1] Joseph Stiglitz. (2006). Saving The Planet. "Making Globalization Work". W.W Norton & Company. hal 163-164