Jumat, 03 Desember 2010

Revolusi Teknologi dan Perang: Masuknya Era Perang Virtual

Review Artikel "Virtual War" dalam Virtual War: Kosovo and Beyond oleh Michael Ignatieff

Robin Riwanda Mandagie,



Masuknya gelombang revolusi dan teknologi pada sistem militer membawa suatu perubahan yang besar pada sistem militer itu sendiri. Perubahan yang besar dan sistemik ini menjadi kontroversial karena struktur militer yang sudah "pakem" menjadi serba efisien, presisi tinggi, dan efektif, yang mana membuat resorce untuk militer yang dulu membutuhkan banyak sekali sumber daya, dengan adanya revolusi teknologi, baik sumber daya, waktu, dan strategi menjadi lebih sederhana dan efektif. Michael Ignatieff mengambil suatu contoh kasus revolusi teknologi yang terjadi di sistem militer Amerika Serikat, yaitu Revolution in Military Affairs (RMA). Review ini akan membahas bagaimana militer Amerika Serikat sebagai founder dari revolusi militer, menghadapi shifting structure dalam lembaga militernya, dan serta membahas bagaimana revolusi teknolgi yang terjadi di militer Amerika Serikat membawa dunia pada "sistem perang" yang baru, yaitu perang virtual.

Kebutuhan manusia untuk segala sesuatu yang simple, efisien, dan efektif telah membawa masyarakat dunia pada era revoulsi informasi dan teknologi yang sedang berlangsung pada saat ini. Compression dalam segala aspek-pun mulai di-invent oleh para scientists, dan militer termasuk dalam aspek yang terkena dampak revolusi teknologi dan informasi. Keinginan untuk efisiensi sumber daya dan meningkatkan efektifitas dalam berperang memang diinginkan oleh semua negara, akan tetapi Amerika Serikat-lah yang pertamakali mengimplementasikan cara-cara bagaimana untuk membuat peperangan menjadi efisien dan efektif. Michale Ignatieff mencontohkan dalam artikelnya ketika Amerika Serikat menghancurkan jembatan Thanwa di Vietnam pada tahun 1972. Saat inilah ditemukannya Peluru Kendali (Rudal). Rudal ini ditembakkan dari pesawat yang mana rudal ini dikendalikan oleh seorang teknisi dari jarak jauh dengan kamera yang ditempelkan pada ujung rudal. Virtualisasi untuk menentukan target semacam ini bagi Ignatieff menjadi turning point dari classical engagement ke era perang virtual dengan precision weaponry. Presisi dan efisiensi pertempuran pada jembatan Thanwa membawa Amerika Serikat untuk lebih semangat dalam mengembangkan teknologi presisi dan efisiensi. Hal ini terlihat hanya dalam beberapa dekade Amerika Serikat telah mengembangkan beberapa peralatan tempur canggih yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebut saja cruise missile, unmaned drone, E-8 Joint Stars, dan lain sebagainya, adalah inovasi terbaru dalam militer Amerika Serikat. Prajurit tidak lagi bertarung dalam battlefiled, tetapi untuk meminimalisir korban dalam pihak sendiri dan pihak musuh (menghindari "pembunuhan yang tak perlu"), peperangan dilakukan melalui kamera, dan dengan teknologi presisi tinggi. Sehingga perang yang dahulunya "fakta" bagi para prajurit Amerika Serikat, dengan adanya revolusi teknologi dan RMA, perang menjadi "virtual" bagi prajurit dan segenap elemen militer Amerika Serikat.

Revolusi teknologi dalam militer Amerika Serikat secara integral tidak hanya terjadi pada peralatan perang saja, tetapi juga berdampak pada strategi militer Amerika Serikat. Kontroversi terjadi dalam hal ini, dimana dengan adanya RMA, berarti pengempisan bagi banyak divisi militer. Bilamana prajurit diperlukan ketika misil yang dilengkapi dengan rudal yang ditembakkan dari kejauhan ribuan mil dapat melululantahkan satu sasaran? Tentu saja pengempisan, karena hal itu berarti efisiensi. Demikian pula dengan pola penyerangan. Jika dulu Amerika Serikat sangat Clausewitzean dengan menerapkan "total war" (menyerang tepat pada musuh dan meluluhlantakan aspek militer musuh) dalam menghancurkan musuh, kini wacana tentang pergantian straegi yang lebih efisien mulai marak dibicarakan dikalangan pejabat Pentagon. Bagi Ignatieff virtual war tidak akan lengkap jika hanya diimplementasikan dengan shift dari pertempuran tradisional (battlefield battle) ke pertempuran virtual melalui kamera. Satu lagi elemen penting dari perang virtual adalah dengan mengacaukan informasi lawan, yakni bagaimana virtualisasi lawan menjadi target utama dalam suatu pertempuran. Ignatieff mengatakan bahwa strategi postmodern merupakan salah satu strategi utama dalam perang virtual, yang berarti memprioritaskan penyerangan pada nerve center musuh daripada ke musuh itu sendiri. Virtualisasi peperangan tidak hanya dimiliki Amerika Serikat (meskipun inisiatif pertama adalah Amerika Serikat). Maka dari itu strategi utama menyerang nerve center dari musuh membuat re-kreasi dari fog of war yang hilang akibat virtualisasi musuh. Dalam perang virtual misi utama adalah membuat musuh menjadi buta dengan menyerang nerve center seperti menebar virus ke sistem komputer lawan, menghancurkan sistem komunikasi, dan sistem pembangkit listrik. Tanpa sarana berikut fog of war dapat dikreasikan kembali pada lawan.

Dengan maraknya virtualisasi dalam peperangan sebagaimana diutarakan oleh Ignatieff, maka akan lebih mudah bagi publik untuk mengetahui dan bahkan berpartisipasi dalam perang. Sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ignatieff bagaimana strategi postmodern itu bermain jika penyerangan terjadi pada nerve center dan disebarkan oleh media sehingga menciptakan suatu teror tertentu pada lawan. Pelibatan media disini menggeser konsepsi perang yang dahulu adalah generals-elit centric, kini mencapai irisan dengan public, jadi dapat disebut juga trinitas generals-elit-public centric dalam perang virtual, yang banyak melibatkan ranah kognitif dari publik. David S. Alberts dalam tulisannya Understanding Information Age Warfare membuat tipologi kerangka berpikir peran publik dalam perang virtual, dan membaginya dalam tiga domain, yaitu domain fisik, informasi, dan kognitif yang ketiganya saling berdampak satu dengan yang lainnya. [1]




Domain fisik disni berarti bagaimana realitas sesungguhnya yang terjadi di battlefield dimana strategi postmodern (penyerangan terhadap nerve system) dialkukan. Kemudian domain informasi adalah bagaimana media mem-virtualisasikan kondisi yang ada pada domain fisik. Disini (biasanya) strategi perang virtual dibentuk dengan visualisasi dari domain fisik yang dikemas sedemikan rupa yang akhirnya dapat berpengaruh pada domain kognitif dari persepsi orang yang menyaksikan virtualized reality yang disampakan oleh domain informasi.

Tulisan Ignatieff (hal 197 - no.7 ttg The Legal War) secara jelas mengkonfirmasi pernyataan David Alberts bahwa sangat penting untuk memasukkan taktik bagaimana merebut public acceptance dalam strategi postmodern didalam perang virtual. Bagaimana mengemasnya, sehingga merebut apresiasi publik dan membuat suatu perang virtual menjadi perang virtual yang legal.

Yang menjadi pelajaran adalah bagaimana memanfaatkan pengetahuan tentang virtual sehingga strategi untuk menggunakan atau menghadapi perang virtual ini dapat diglobalisasikan. Tidak dapat dinafikan memang perang virtual memang nyata, benar-benar nyata atau paling tidak secara virtual memang nyata adanya. Sejauh virtualisasi itulah yang dibawa oleh revolusi teknologi terhadap nature perang. Dengan melibatkan publik, maka strategi perang dalam perang virtual hampir secara kompatibel dapat digunakan secara global. Yang menjadi pertanyaan untuk direnungkan lebih lanjut, dengan kompatibilitas yang memungkinkan, dapatkah Indonesia menggunakan strategi perang virtual dengan Malaysia jika traditional war engagement tidak mungkin dilakukan? Ingat, perang vitual bukanlah tentang peralatan canggih seperti unmanned drone milik Amerika Serikat, memang itu salah satu alat perang virtual, tetapi seperti yang dikatakan oleh Ignatieff, bahwa perang virtual adalah peperangan yang dilakukan di dipean kamera, monitor, dan diarahkan langsung pada will to fight dari lawan. Sangat mugkin dilakukan Indonesia, tetapi bagaimana metode dan caranya, tentu mebutuhkan penelitan yang advanced dalam hal ini.





Referensi

Ignatieff, Michael. (2000). "Virtual War". Virtual War: Kosovo and Beyond. New York: Picador

Alberts, David S., [et al.]. (2001). Understanding Information Age Warfare. CCRP Publications

Tidak ada komentar:

Posting Komentar