Jumat, 03 Desember 2010

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Review "Introduction" dalam Information Feudalism: Who Owns the Knowledge Economy. Oleh Peter Drahos & John Braithwaite

Robin Riwanda Mandagie



Dalam tulisannya "The Knowledge Economy” dalam Intellectual Capital, Thomas A. Stewart (1997) menjelaskan bagaimana informasi dapat menjadi substansi yang esensial dalam suatu komoditas, sehingga suatu komoditas tersebut dapat memiliki nilai yang dapat ditentukan oleh pemegang paten secara tidak terbatas. Kemampuan untuk mendeterminasi nilai ini bahkan dapat mentranformasi informasi menjadi suatu komoditas tersendiri, nilai dari hasil determinasi sang pemilik paten hanya mendapat check and balances dari konstelasi permintaan terhadap informasi yang dimiliki secara eksklusif oleh sang pemilik paten. Hal inilah yang secara spesifik dikhawatirkan oleh Drahos dan Braithwaite (2002) dalam tulisan yang kali ini di-re(interpretasi)view oleh penulis. Drahos dan Braithwaite mengkhawatirkan akan bagaimana hak eksklusif terhadap determinasi nilai oleh sang pemilik paten dan hak cipta yang tidak terbatas ini dapat menimbulkan suatu bentuk baru dari feudalisme di jaman medieval.

Drahos dan Braithwaite memulai tulisannya dengan redikotomi antara feudalisme medieval dan feudalisme informasi (neo-feudalisme). Feudalisme medieval adalah keadaan dimana petani, pemilik tanah, dan pekerja kasar menyerahkan kebebasan dan tanah-tanah yang mereka miliki untuk diserahkan pada tuan-tuan tanah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dari subyek submitance. Dengan demikian segala sesuatu yang mereka lakukan di tanah (yang dulu mereka punyai) sang tuan tanah (feudal), adalah hak dari sang pemilik tanah. Segala bentuk resources yang dulu common goods menjadi pirvate goods pada feudalisme medieval ini. Keadaan seperti ini tentu tidak berbeda jauh dengan bagaimana adanya hak cipta dan paten mengubah sources dari common goods menjadi private goods. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi, dalam berbagai macam manifestasinya seperti metode, teori, komoditas, ataupun pengetahuan (semata) berada pada hak privat dimana penggunaan terhadapnya, akan sama seperti penggunaan terhadap segala sesuatu yang ada diatas tanah sang pemilik tanah dalam era medieval. Hal inilah yang bagi Drahos dan Braithwatie dikhawatirkan akan menjadi suatu bentuk eksploitasi korporat tersendiri yang dapat menimbulkan inequalitas dalam masyarakat informasi. Penulis lebih suka dengan label: penjajahan struktural moderen.

Lantas bagaimana dengan tulisan-tulisan akademisi dalam jurnal ilmiah, atau novel-novel dan cerpen karangan seseorang? Jika hak rekognisi terhadap karya cipta seseorang dapat hak eksklusif apakah hal ini tetap dapat dikatakan sebagai sebuah eksploitasi atau penjajahan struktural yang moderen? Tentu tidak. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa adalah sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa Intellectual property rights berbahaya dalam level individual. Tapi lebih dari berbahaya jika diaplikasikan dalam level global dengan manifestasi dan eksekusi power dari hak cipta tersebut dalam tangan sebuah korporat mutlinasional. Drahos dan Braithwaite mengkonfirmasi pernyataan penulis "penjajahan struktural moderen" dengan contoh bagaimana Afrika Selatan pada masa pemerintahan Nelson Mandela mengalami penjajahan struktural moderen oleh karena hak paten dan hak cipta.

Drahos dan Braithwaite menyebutkan bahwa secara umum Afrika Selatan diketahui sebagai suatu negara yang memiliki angka penyakit HIV AIDS yang tinggi. Tentu tidak diragukan pula berapa orang yang sudah meninggal akibat terjangkit oleh HIV AIDS di Afrika. Dengan keadaan yang demikian, pada tanggal 12 Desember 1997 Presiden Mandela menanda tangani undang-undang dalam penyediaan obat paten dengan yang murah dengan cara mengimpor obat paten dari pasar termurah dengan biaya yang minim dalam hak cipta terhadap obat-obat paten tersebut. Hal ini mengundang kemarahan dari korporat-korporat yang memiliki hak paten terhadap Mandela dan menuntut Mandela dalam persidangan di Pretoria, Afrika Selatan.

Kasus Afirka Selatan dalam masa pemerintahan Mandela adalah salah satu contoh bagaimana kedaulatan negara sekalipun menjadi terdistorsi dengan adanya hak paten dan cipta. Salah satu rezim global yang menjadi alat untuk mengkokohkan peran hak paten dan cipta untuk terus melakukan eksploitasi dan feudalisme struktural adalah "Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights" (TRIPS), yang menjadi salah satu rezim hak cipta intelektual dalam wadah "World Trade Organization" (WTO). Inequalitas sangat terlihat pada rezim TRIPS. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa yang banyak diuntungkan dari TRIPS bukanlah negara-negara berkembang yang memegang kemampuan-kemampuan inovasi. Meskipun ada usaha-usaha untuk melakukan inovasi, negara-negara berkembang ini akan berhadapan dengan barriers hak-hak cipta dan paten untuk melakukan riset. Perlu diketahui bahwasannya metode-metode penelitian secara umum dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara-negara berkembang pada keadaan terjebak dalam eksploitasi oleh negara-negara maju yang memegang hak paten pada informasi-informasi penting untuk melakukan kemajuan. Drahos dan Braithwaite juga menyebutkan bahwa negara-negara yang paling diuntungkan oleh TRIPS adalah Amerika Serikat dan negara-negara major pada "European Union" (EU). Hal ini menunjukkan betapa feudalisme informasi pada masa ini lebih "kejam" daripada feudalisme lahan era medieval. Dampak eksploitatif lebih masif karena scope feudalisme ini terjadi antar negara-bangsa, dalam kata lain kontur eksploitasi-nya bersifat global, dengan "indoktrinasi" mindset pada TRIPS, sehingga ketika TRIPS secara faktual mengekspoitasi, obyek hegemoni (negara berkembang dan masyarakatnya) beranggapan bahwa TRIPS justru melindungi beberapa hak intelekutalitas mereka.

Kepenguasaan terhadap aset. Aspek inilah yang bergeser dari feudalisme lahan pada feudalisme informasi. Kepenguasaan aset-aset yang intagible ini telah merubah paradigma public goods secara keseluruhan. Asumsi mengenai public goods sebagaimana dikatakn oleh Drahos dan Braithwaite adalah seperti ini "Barang (atau sesuatu) yang boleh dikategorikan privat adalah sesuatu yang akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara massal sedangkan yang boleh dikategorikan milik umum adalah yang tidak akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara masal". Lantas apakah hak paten dan cipta harus dihapuskan? Tentu saja tidak sampai se-ekstrim itu. Penulis lebih pada pembatasan terhadap penggunaan hak paten dan cipta, yang teknisnya dapat di riset dan dibicarakan lebih lanjut dan sustainable.

Referensi:

Drahos, Peter & John Braithwaite. (2002). "Introduction". Who Owns Knowledge Economy?. Earthscan Publication: London

Stewart, Thomas A. (1997). “The Knowledge Economy”.dalam Intellectual Capital. Currency Book: New York

Tidak ada komentar:

Posting Komentar