Senin, 03 Mei 2010

Dinamika Regionalisme Timur Tengah

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Robin Riwanda Mandagie


prolog
Salah satu kawasan yang memiliki anomali atau keanehan yang menyebabkan adanya terminologi “pengecualian” atau exception adalah kawasan timur tengah, atau yang sering disebut sebagai middle east. Kawasan ini sering disebut sebagai kawasan yang dimana realisme dipandang sebagai suatu teori yang paling pantas digunakan untuk mendeskripsikan keadaan dan sirkumstansi politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi didalamnya.[1] Esai ini akan menjelaskan titik-titik permasalah apa saja yang ada di timur tengah dan bagaimana usaha-usaha kaum idealis timur tengah dalam membangun perdamaian di timur tengah. Untuk mengawali bahasan esai kali ini, secara etimologi akan dideskripsikan bagaimana terminologi timur tengah menjadi suatu hal yang baku jika kita merujuk pada negara-negara arab.

Etimologi “Timur Tengah”
Membahas mengenai hal ini secara umum dapat kita ketahui bahwasannya dunia memakai frase “timur tengah” untuk menunjuk pada negara-negara yang ada di jazirah arabia. Dengan menggunakan metode dekonstruktif terhadap pemahaman teks dengan merujuk pada konteks yang ada, akan dapat kita ketahui bahwa tekstualitas “timur tengah” lahir dari kontekstualitas yang ada pada saat itu. Terminologi timur tengah menjadi populer dikalangan bangsa Eropa ketika Alfred Thayer Mahan menggunakan terminologi ini untuk menunjuk pada negara-negara arab. Hal ini bertamabah populer ketika para official Inggris yang ada di India juga menggunakan terminologi ini dalam merujuk kepada Timur Tengah. Kritik pun bermunculan pada terminologi “timur tengah” ini karena banyak pihak yang menilai bahwa terminologi timur tengah ini bersifat eurosentris.

Dinamika Regionalisme Timur Tengah
Dalam seminar dan workshop mengenai timur tengah yang diadakan oleh Mediterranean Social and Politic Research dengan pembicara oleh Matteo Legranzi (Univeristas Oxford, Inggris) dan Cilja Harders (Universitas Ruhr, Jerman), dapat diambil suatu poin bahwa kebangkitan regionalisme yang terjadi pada kawasan timur tengah ini, lebih banyak terjadi pada organisasi-organisasi sub-regional.[2] Regional identity awarness juga banyak bermunculan di timur tengah, dan organisasi-organisasi sub-regional-lah yang mengalami banyak kemajuan. Organisasi-organisasi seperti Gulf Cooperation Council (GCC). GCC adalah salah satu organisasi sub-regional yang mengalami kemajuan yang sangat pesat, dan merupakan organisasi regional yang paling banyak mendapatkan sorotan dan bahkan bargaining position yang kuat dalam sistem internasonal, dan juga dinilai sebagai organisasi regional inisiatif yang paling sukses.[3] Tujuan utama terbentuknya GCC (1981) pada saat itu dapat kita lihat sebagai respon preventif terhadap gejolak-gejolak perang yang terjadi pada saat itu seperti revolusi Iran, perang Irak-Iran, dan perang teluk. Kooperasi regional oleh negara-negara yang berada disekitar teluk Arab itu memang ditekanan dalam penjagaan keamanan regional daerah teluk.
Meskipun demikian, terdapat pula intensi dan tendensi pada GCC untuk bergerak kearah yang progresif, yaitu mengembangkan kerjasama di bidang ekonomi pula. Hal ini terlihat dari negara-negara anggota GCC yang lebih “mengalihkan” pandanganya terhadap Gulf Organization for Industrial Consulting (GOIC) yang terbentuk lebih dulu, yaitu pada 1976. Dengan meredanya ketegangan yang ada pada daerah teluk, tidak mengherankan jika GCC yang terbentuk dengan kepentingan keamanan lebih banyak dialihkan pada GOIC yang lebih ditujukan pada kepentingan ekonomi.
Salah satu organisasi sub-regional timur tengah yang terlihat “eksist” (karena banyak menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa barat) adalah Arab Maghreb Union (AMU). AMU adalah salah satu organisasi sub-regional yang terbentuk pada tahun1989 dengan motivasi yang hampir sama dengan GCC yaitu sebagai tindakan preventif regional terhadap permasalahan keamanan (konflik sahara barat). Tetapi berbeda dengan GCC yang dalam kooperasi ekonominya lebih “dialihkan” pada GOIC, AMU menangani kerjasama-kerjasama yang lebih kompleks daripada GCC. Bukan hanya permasalahan keamanan, tetapi juga integrasi ekonomi dan integrasi secara sosio-kultural.[4] Tetapi konflik pun kerap terjadi dalam internal AMU sendiri. Anggota-anggota AMU juga tidak terlepas dari konflik kepentingan dan mengarah pada pertanyaan “siapakah yang menjadi hegemon?”. Hal ini terimplikasikan oleh konflik yang pernah terjadi pada Algeria dengan anggota AMU lainnya. Pada tahun1994, Algeria berusaha untuk memindahakan kepresidenan AMU ke Libya. Tentunya hal ini menyebabkan ketegangan diplomatik antara Algeria dengan anggota AMU lainnya terutama Maroko dan Libya itu sendiri.
Meskipun organisasi-organisasi sub-regional dipandang lebih banyak memiliki beberapa aspek yang secara signifikan progresif, kita tidak dapat semerta-merta mengalihkan pandangan kita terhadap organisasi regional yang ada di timur tengah. Arab League (AL) adalah salah satu organisasi regional tertua yang ada di timur tengah (terbentuk pada 1945). AL adalah organisasi regional yang turut berjuang dalam kemerdekaan palestina[5] dengan demikian hal ini menjadikan Israel sebagai salah satu musuh dari AL. Tetapi dalam prakteknya kinerja AL kurang begitu terasa dalam berbagai hal, termasuk dalam usahanya memerdekakan Palestina. Suara dan kekompakan dari AL baru begitu terasa ketika akhir-akhir ini Israel melancarkan serangan balasan roket Hammas dalam Operation Cast Lead (Hebrew: מבצע עופרת יצוקה‎) pada tanggal 26 Desember 2008.

Sumber Permasalahan Timur Tengah
Ada dua hal utama yang menjadi perhatian dalam kawasan timur tengah ini baik secara regional maupun secara internasional. Dua hal utama penyebab konflik yang banyak terjadi di timur tengah adalah, pertama, permasalahan minyak. Sedangkan yang kedua adalah perebutan kota Jerusalem diantara ketiga kelompok yang mengatasnamakan agama samawi (Judaisme, Kristenan, & Islam). Dua permasalahan ini telah menjadi bahasan yang sangat kontroversial karena kedua masalah inilah yang menjadi dasar konflik yang berkelanjutan mulai dari dua dekade ini. Jika kita menelusuri dua sumber permasalahan ini dengan metode pembacaan teks dengan pertimbangan kontekstual maka akan dapat kita ketahui bahwasannya permasalahan mengenai minyak di jazirah arabia dan keseluruhan timur tengah dimulai sejak keberhasilan Nova Scotian Abraham Pineo Gesner pada tahun 1854 dalam mengkonversikan minyak mentah menjadi kerosin (kerosene) dan ditemukannya sumber minyak yang besar pada jazirah arabia. Setelah berkembangnya peristiwa 1854, minyak menjadi salah satu komoditas yang menjadi perebutan negara-negara, baik besar maupun kecil.[6] Kepentingan-kepentingan negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat terhadap negara-negara produsen minyak yang ada di timur tengahpun meningkat secara drastis. Dengan intervensi-intervensi politik yang sering dilakukan Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah menyebabkan adanya sentimen-sentimen anti Amerika yang timbul pada masyarakat timur tengah. Ditambahkan dengan konviksi agama, masyarakat timur tengah menajdi semakin anti dengan Amerika Serikat oleh karena intervensi yang sering dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara timur tengah mengenai permasalahan kepentingan minyak.
Permasalahan kedua yang menjadi permaslahan utama dalam dinamika dimensi keamanan yang ada dalam problematika timur tengah adalah Jerusalem. Mengapa Jerusalem? Jerusalem menjadi obyek perebutan dari Israel dan negara-negara arab oleh karena Jerusalem mempunyai beberapa sisi strategis jika Jerusalem jatuh kedalam salah satu pihak. Merujuk pada kerangka berpikir Mackinder mengenai heartland, dapat dianalogikan bahwa heartland disini adalah Jerusalem (Meskipun dalam teori Mackinder heartland merupakan salah satu bagian dari Eropa timur). Jerusalem memiliki posisi strategis karena Jerusalem merupakan pintu gerbang antara Eropa dan Timur Tengah. Meskipun secara geografis Jerusalem termasuk dalam kawasan timur tengah, tetapi dengan kondisi geografis yang mengkondisikan Jerusalem berada diantara dua “spesies” kultur yang jauh berbeda antara kultur Eropa dan Arab, maka secara kultural, Jerusalem memiliki kekayaan kultural yang besar. Selain itu, kondisi Jerusalem yang terletak dekat dengan teluk mediterania, secara historis dan kontemporer, Jerusalem memiliki asupan perdagangan yang cukup besar pula. Secara klasik (jaman medieaval) dari perspektif Eropa, dalam menguasai jazirah arabia, maka sebagai pintu masuk harus menguasai Jerusalem terlebih dahulu. Sedangkan dari perspektif negara-negara timur tengah, untuk menguasai eropa, maka harus melalui Jerusalem terlebih dahulu. Selain faktor geopolitik, permasalahan ideologi agama yang ada di Jerusalem juga mempengaruhi negara-negara dalam memperebutkan Jerusalem (Karena Jerusalem merupakan pusat perpaduan okupasi dari 3 agama besar). Tidak mengeherankan jika penguasa-penguasa jaman dahulu (hingga sekarang) memperebutkan Jerusalem demi alasan politis.
Perjuangan utopis Israel dan Palestina dalam mencapai kesepakatan perdamaian pun sampai sekarang tak kunjung mencapai suatu tahap solusi. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin berhasil mengadakan suatu proses dalam normalisasi hubungan antara Israel dengan Palestina. Hal ini terlihat dari Israel-Palestine Liberation Organization letters of recognition yang adalah sebuah seri dari surat menyurat resmi antara Yitzhak Rabin dengan Yasir Arafat, Chairman dari Palestine Liberation Organisation (PLO).[7] Tetapi setelah semenjak Yitzhak Rabin terbunuh pada 4 November 1995, proses perdamaian antara Israel dan Palestina hanya tinggal kenangan saja.

Sumber:
Schulz, Helena Lindholm & Michael Schulz. (1996). The Middle East - exception or embryonic regionalism?
Department of Peace and Development Research. Goteberg University.
http://www.eui.eu/RSCAS/Research/Mediterranean/mspr2006/pdf/WS01.pdf. diakses pada 24 Mei 2009

Aarts, P. (1997). The Middle East: a region without regionalism or the end of exceptionalism? Draft text for workshop on `The Political Economy of Regionalisation', University of Amsterdam, 18-19 December 1997.
Aggad, Faten. "The Maghreb Union: Will the Haemorrhage Lead to Demise?" African Insight. April 6, 2004.
http://avalon.law.yale.edu/20th_century/arableag.asp diakses pada 25 Mei 2009
Hyne, Norman J. (2001). Nontechnical Guide to Petroleum Geology, Exploration, Drilling, and Production. PennWell Corporation.
http://www.usip.org/library/pa/israel_plo/oslo_09131993.html diakses pada 25 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar