Sabtu, 01 Mei 2010

Gambaran Singkat Neorealisme dan Realisme

Robin Riwanda Mandagie, 070710174

Gambaran Umum Realisme

Ketika seorang scholar Ilmu Hubungan Internasional membawa suatu bahasan tentang realisme, asumsi-asumsi yang tidak asing bagi telinga sesorang yang mempelajari Ilmu Hubungan Internasional adalah skeptisisme kaum realis terhadap kemajuan politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidapan politik domestik. Pandangan atau asumsi inilah yang menjadi tredemark dari realisme itu sendiri. Bahkan sampai saat ini pemikiran tersebut masih dipegang oleh teoritisi Hubungan Internasional yang terkenal. Baik dari masa lalu, maupun sampai sekarang.

Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme. Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.[1]

Ada banyak yang menjadi asumsi dasar yang menjadi ciri khas kaum realis. Salah satu ciri khas pandangan kaum realis adalah, pertama, kaum realis mempunyai pandangan yang pesimis mengenai sifat dasar manusia. Orang realis selalu menilai pada dasarnya manusia adalah jahat[2]. Kedua, kaum realis meyakini bahwa hubungan internasional pada dasarnya berpotensi menghasilkan konflik, dan konflik-konflik internasional yang terjadi akhirnya diselesaikan dengan perang. Yang tidak kalah pentingnya kaum realis menganggap suatu sistem internasional adalah sebuah sistem yang anarki. Pandangan ini muncul oleh karena tidak adanya Government above the states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalam sistem internasional yang anarki (Negara sebagai aktor utama) harus berjuang sedemikian mungkin untuk membangun kekuatan sehingga menciptakan balance of power. Dengan adanya konsep balance of power, maka hal ini menurut para kaum realis dapat mencegah terjadinya perang.

Realisme Klasik

Pemikiran mengenai realisme sendiri sudah muncul sejak jaman Yunani Kuno. Key Thinkers pada jaman itupun sudah banyak mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527), Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike Amerika Serikat pada masa postcontaintment Perang Dingin).[3]

Realisme Neoklasik

Hans J. Morgenthau adalah pencetus utama realisme neoklasik. Kutipan yang terkenal mengenai substansi pemikiran Morgenthau adalah “Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik”[4]. Disini Morgenthau banyak mengungkapkan kritisisme mengenai kepercayaan Woodrow Wilson mengenai kepercayaanya dalam menganalogikan dan “menyarankan” untuk mengaplikasikan etika pribadi kedalam etika politik[5]. Realisme neoklasik sendiri di definisikan oleh Baylis sebagai drive for power and the will to dominate that are held to be fundamental aspects of human nature[6].

Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Structural Realism)

Pada dasarnya substansi pemikiran kaum realis (klasik) masih menjadi dasar dalam pemikiran realisme baru (Neo Realisme) ini. Perbedaanya dengan realisme klasik maupun realisme neoklasik adalah pendekatan dari dua paham realisme sebelum neorealis adalah pendekatan yang non-sistemik. Pendekatan non-sistemik yang dimaksud adalah, yang “dipersalahkan” atas segala chaos yang terjadi di dunia internasional adalah actor ( baik state sebagai aktor utama maupun sifat dasar manusia Animus Dominandi ). Berbeda dengan pendahulunya, kaum neorealis lebih cenderung “mempersalahkan” sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Waltz menyatakan the international structure acts as a constraint on state behaviour, so that only states whose outcomes fall within an expected range survive[7] (penekanan bold ditambahkan oleh penulis). Jadi menurut hemat neorealis. Sistem internasional yang menentukan perilaku negara. Oleh karena sistem internasional (pada saat ini) dalam kondisi ketidakadaan government above the states, maka keadaan anarki yang menetukan perilaku setiap actor-aktornya, dalam perspektif realisme disebut sebagai state.

Kritik Terhadap Realisme

Realisme lahir dari kritiknya terhadap pemikiran utopis dari kaum idealis. Oleh karenanya secara harafiah, Realisme dapat juga dikatakan sebagai postidealis oleh karena pertentangan pemikiran yang terkandung dalam substansi pemikiran realisme.

Kritik merupakan hal yang wajar bagi setiap pemikir dan pemikiran-pemikiran politik dalam ruang lingkup internasional. Meskipun pada awalnya realisme lahir dari dekonstruksinya terhadap idealisme, realisme sendiri tidak lepas dari dekonstruksi oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat antitesis terhadap substansi pemikirannya. Bahkan redekonstruksi pun sering dilakukan oleh kaum idealis terhadap kaum realis untuk menjustifikasi argumennya (lihat Great Debate pertama). Salah satu kritik terpedas terhadap realisme adalah kritik yang disampaikan oleh Michael Doyle. Doyle adalah salah satu pendukung dari teori Democratic Peace. Dalam menyampaikan argumenya, Doyle mengatakan bahwa negara demokratis tidak pernah saling berperang dengan negara demokratis lainya. Pernyataannya ini ditulis dalam tulisannya Thucydidean Realism yang dimuat dalam Review of International Studies.



[1] http://theglobalpolitics.com/?p=14 diakses pada 17 Maret 2009

[2] Georg Sorensen & Robert Jackson, Introduction to International Relations, Oxford University Press, 1998.

[3] http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/09/18/realisme-dan-neo-realisme/ diakses pada 17 maret 2009

[4] H.J Morgenthau (1960). Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace.

[5] Willson mengungkapkan pendapatnya mengenai etika politik dan etika pribadinya pada pidatonya di Kongres AS, tahun 1917.

[6] Baylis, J & Smith, S & Ownes, P, The globalization of world politics, Oxford university press, USA, pg. 95

[7] Waltz, Kenneth Neal (1979). Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar