Sabtu, 01 Mei 2010

Selamatkan Bumi, Selamatkan Manusia: Sebuah Dilema Stabilitas

Review Artikel: Saving The Planet. Bab 6 dari Buku "Making Globalization Work" Oleh Joseph Stiglitz

Robin Riwanda Mandagie, 070710174

Joseph Stiglitz dalam tulisannya ini menekankan bahwa globalisasi tidak hanya berbicara mengenai permasalahan identitas, kultur, nasionalisme, keamanan, finansial, dan integrasi. Tetapi globalisasi juga membawa suatu permasalahan baru oleh karena meningkatnya ketergantungan pesatnya perekonomian pada konsumsi bahan bakar fosil. Stiglitz memulai tulisannya dengan memuat argumen-nya mengenai the error of the commons. Stiglitz berpadangan bahwasannya kesalahan manusia terbesar dalam semakin rusak-nya planet Bumi adalah karena sumber daya alam dipandang sebagai sesuatu yang common, atau dalam artikel ini Stiglitz menamainya dengan common goods. Seperti contoh sumber daya alam (SDA) seperti minyak bumi. providance minyak bumi oleh alam ini adalah gratis. Barangsiapa mampu dan memiliki peralatan canggih untuk mengeksploitasi minyak bumi, maka minyak bumi itu gratis bagi orang yang mampu mendapatkannya. Oleh karena pemikiran common goods seperti ini, menurut Stiglitz, hal ini mempercepat proses eksploitasinya, dan mau tidak mau eksploitasi minyak bumi yang dimulai sejak masa awal revolusi industri ini membuat semua sistem mulai dari politik, ekonomi,dan teknologi bergantung pada minyak bumi ini.

Solusi yang ditawarkan oleh Stiglitz ada dua. Yang pertama adalah memprivatisasi common goods, sehingga menjadi private goods. Sedangkan yang kedua adalah meng-governalize sumber daya alam yang ada, sehingga common goods menjadi public goods. Tetapi Stiglitz dalam memberikan rekomendasi-nya yang pertama terkesan pesimistis. Hal ini terlihat dari kalimat yang ditulisnya "In practice, however, privatization have always been marked by grace inequalities" dan "In Brazil, forest privatization have led to rapid deforestation".[1] Stiglitz cenderung condong terhadap solusi kedua, yaitu social control atau governalization terhadap suatu sumber daya alam. Tentu kontrol sosial terhadap sumber daya alam tidak akan berhasil jika dilakukan negara. Mengapa demikian? Yang ditakutkan oleh Stiglitz adalah jika sumber daya alam tersebut akan bias politik. Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Persia dimana konflik yang ada seakan tak berujung dan tidak ada penyelesain konkrit didalamnya. Hal ini menurut Stiglitz, yaitu kontrol sosial sumber daya alam oleh aktor negara, sangat berpotensi terhadap konflik dan harus dihindari. Kontrol sosial yang diidealkan oleh Stiglitz adalah collective action dari setiap entitas negara bangsa secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan sumber daya alam ini. Meskipun tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik, tetapi bagi Stiglitz permaslahan global harus diselesaikan dengan cara yang global pula. Sebagaimana global warming sebagai suatu fenomena global yang sampai saat ini terus diusahakan usaha-usaha global untuk menemukan solusinya.

Bagi Stiglitz fenomena globalisasi yang ter-signifikan adalah global warming. Globalisasi yang terjadi dalam bidang budaya, teknologi, dan informasi tidak sesignifikan apa yang terjadi dalam fenomena global warming. Mengapa demikian? dalam hal global warming setiap negara, kelompok, ataupun individu saling berbagi atmosfir yang sama. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, fenomena ini diakibatkan oleh overusing masyarakat bumi pada minyak bumi sehingga mau tidak mau, society dunia sangat tergantung pada sumber daya alam yang satu ini. Berbagai usaha untuk mencari alternatif dari energi minyak bumi-pun marak dilakukan oleh kaum environmentalis, tetapi tetap saja tidak ada suatu gebrakan yang dapat secara strukutural menggantikan ketergantungan masyarakat dunia terhadap minyak bumi. Dengan maraknya penggunaan minyak bumi secara global hal ini tentu menambah emisi karbon yang dihasilkan oleh dunia secara global.

Ukuran yang dilakukan oleh Stiglitz adalah tingkat keajuan perekonomian. Semakin maju perekonomian suatu negara, maka pesat pula industri yang maju dan berkembang didalamnya. Semakin berkembangnya suatu industri tentu hal tersebut membutuhkan bahan bakar minyak yang tidak sedikit. Menurut Stiglitz ada ketimpangan dalam hal ini. Dengan menggunakan ukuran yang diberikan oleh Stiglitz, maka negara penyumbang emisi karbon terbesar adalah negara-negara maju, terutama Amerika Serikat. Stiglitz menggambarkan sebuah dilema disini: Usaha-usaha global yang dilakukan masyarakat dunia adalah usaha yang konvensional. Permasalahan yang menyebabkan global warming adalah emisi karbon yang berlebihan sehingga ozon layer semakin tipis sehingga menimbulkan greenhouse effect. Penyelesaian yang diambil adalah dengan memotong jumlah emisi gas karbon. Dengan dipotongnya emisi gas karbon maka hal ini akan mengurangi aktifitas industri pada negara maju, terutama Amerika Serikat, penyumbang 25% gas karbon secara global. Dilemanya adalah negara besarlah yang menjadi obyek pemotongan emisi, dan akibatnya adalah penurunan aktifitas ekonomi. Bagi Stiglitz wajar saja Amerika Serikat tidak meratifikasi protokol Kyoto, karena hal tersebut dapat menyebabkan instabilitas perekonomian dalam negerinya. Bagi Stiglitz jika instabilitas perekonomian Amerika Serikat hanya berlaku bagi Amerika Serikat saja tidak akan menjadi masalah yang besar. Akan tetapi sistem finansial global yang ada pada saat ini memaksa dunia secara global merasakan apapun yang Amerika Serikat rasakan. Jika emisi gas karbon Amerika Serikat dipotong beberapa persen saja, maka instabilitas tidak hanya melanda Amerika Serikat, tetapi berdampak sistemik terhadap seluruh dunia. Disinilah menurut Stiglitz sebuah dilema yang selalu membuat perundingan apapun mengalami deadlock.

Akan tetapi seberapapun filantropisnya seorang Joseph Stiglitz, prespektif yang digunakan olehnya dalam menulis artikel Saving The Planet sangat tidak enviro-sentris. Secara pribadi reviewer lebih melihat bahwa tulisan Stiglitz lebih humano-sentris. Hal ini tertuang pada tulisan Stiglitz yang cenderung mengkhawatirkan stabilitas ekonomi, politik, dan berbagai macam variabel lainnya yang dapat menjadi sebuah distorsi yang menghalangi tercapainya suatu kesepakatan dalam menyelesaikan permasalahan global warming. Disatu sisi Stiglitz menawarkan solusi alternatif, yaitu pembebanan pajak secara kolektif dan common terhadap setiap ukuran emisi yang digunakan, maka secara tidak langsung para produsen emisi akan sedikit demi sedikit mengurangi emisi-nya dengan kapasitas yang tidak sampai menggocang sistem dan struktur yang ada. Tetapi tetap saja solusi Stiglitz lebih terlihat humano-sentris daripada enviro-sentris. Dan memang mustahil bagi seorang manusia untuk purely enviro-sentris.

Referensi:

Stiglitz, Joseph.(2006). Saving The Planet."Making Globalization Work" W.W Norton & Company.pg 163-164



[1] Joseph Stiglitz. (2006). Saving The Planet. "Making Globalization Work". W.W Norton & Company. hal 163-164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar