Jumat, 30 September 2011

Pluralisme di Ujung Tanduk?

“yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme?” (bahan renungan)

Sebuah Wacana Sensitif

Ketika kata “pluralisme” disajikan pada telinga anda, kira-kira apa yang pertama kali muncul dalam benak anda? Keberagaman? Kebersamaan? Atau bahkan ketidakpastian dalam memilih suatu iman kepercayaan secara spesifik? Arti dan definisi dari kata pluralisme ini begitu luas dan multi-interpretatif, bahkan karena begitu multi-interpretatifnya kata ini, salah satu institusi keagamaan yang ada di Indonesia mengharamkan terminologi pluralisme. Yang menjadi pertanyaan adalah, kalau bukan pluralisme yang “katanya” haram, lantas bagaimana kita menghadapi bangsa Indonesia yang sedemikian plural ini? Apa yang dapat kita gunakan sebagai pemersatu bagi bangsa yang kadar pluralitas-nya cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Tentu pengartian yang berbeda tidak saja membawa wacana yang sensitif ini pada perdebatan panas, tetapi juga berpotensi berujung pada aksi-aksi kekerasan bernuansa SARA yang dalam satu dekade ini menjadi semakin intensif.

Meningkatnya intensifitas isu dan bahkan insiden berbau SARA dalam waktu dekat ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di berbagai belahan Indonesia. Pro kontra adalah suatu hal yang tidak terelakkan mengingat definisi mengenai pluralisme pun masih kabur. Sebagian menyatakan haram, dan sebagian lagi menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu hal wajib demi menopang ke-bhinneka-an identitas di Indonesia. Kasus GKI Yasmin, Penusukan pendeta HKBP, Ahmadiyah, dan pengeboman Masjid di Cirebon, seharusnya dapat menjadi refleksi bagi kita, warga negara Indonesia. Bahwasannya ke-bhinneka-an kita memang benar-benar ada di ujung tanduk. Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya wacana pluralisme ini.

Redefinisi Pluralisme

Dengan keberadaan ke-bhinneka-an yang sedang berada pada ujung tanduk ini, maka seharusnya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme ini semakin digalakkan. Dengan digalakkan-nya diskusi dan dialog mengenai wacana pluralisme maka bukan tidak mungkin terjadi kesaling-pahaman antara mereka yang menganut paham fundamental dan liberal. Bagi penulis secara pribadi pluralisme bukan saja penting, tetapi adalah suatu keharusan untuk menjalani hidup bersosial pada masyarakat yang tingkat pluralitasnya begitu tinggi seperti di Indonesia ini, jika tidak perpecahan yang berlandaskan SARA di masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana paham pluralisme dapat menjadi plural ketika pluralisme menolak fundamentalisme? Maka dari itu perlu dilakukan redifinisi yang melibatkan mereka-mereka yang tidak setuju terhadap pluralisme sebagai paham pemersatu bangsa.

Redefinisi pluralisme bagi penulis dapat dilakukan dengan langkah pertama yaitu memahami penolakan kaum fundamentalisme terhadap terminologi pluralisme. Penolakan utama mereka adalah asumsi kasar pluralisme yang menolak adanya kebenaran tunggal. Penolakan terhadap kebenaran tunggal ini mengancam esensi keimanan yang utama dimata mereka. Bagi penulis penolakan mereka cukup rasional, tetapi untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia penulis kira, kita tidak harus sampai menolak adanya kebenaran tunggal.

Unsur pluralisme terpenting yang harus ditekankan pada kondisi yang ada di Indonesia adalah toleransi. Apakah bertoleransi harus menolak kebenaran tunggal? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak untuk percaya pada kebenaran tunggal tertentu, tetapi diiringi dengan semangat toleransi dan saling menghargai yang tinggi antar umat beragama.

Sebagai contoh realistis saja, seorang Kristen wajib hukumnya untuk mempercayai Yesus/Isa Almasih sebagai putra Allah sebagai sebuah kebenaran tunggal yang mutlak. Seorang Muslim tentu tidak sependapat, apalagi umat Hindu dan Buddha. Seorang Muslim wajib hukumnya untuk beriman pada Allah SWT dan nabi-Nya Muhammad SAW, yang tentu menolak kepercayaan Kekristenan bahwa Yesus adalah putra Allah. Tetapi lepas dari itu semua, adakah dari ajaran agama kita masing-masing yang mengajarkan membenci seseorang dan tidak toleran terhadap kegiatan ibadahnya oleh karena perbedaan paham akan kebenaran? Sebagai seorang yang mengamini sila pertama dari Pancasila tentu kita harus bersandar pada kebenaran tunggal tertentu. Dengan bersandar pada kebenaran tunggal tertentu maka wajib hukumnya kita menolak kebenaran tunggal yang ditawarkan agama lain, tetapi ketidak-setujuan kita janganlah menjadi penghalang untuk saling mengasihi dan menghormati satu dengan yang lainnya.

Perbedaan, Pluralisme, dan Kasih Sebagai Pemersatu

Pluralisme menjadi berbahaya jika kita terlalu ekstrim dalam memahami tanpa mencerna makna fundamental dari pluralisme itu sendiri. Setidaknya redefinisi pluralisme dapat menunjukkan pada kita bahwa toleransi dalam suatu perbedaan itu luar biasa indah. Ketika Hanung Bramantyo pada slogan dalam film terbarunya “?” (Tanda Tanya) mengatakan “Masih Pentingkah Perbedaan?”. Jika diperbolehkan berpendapat bagi penulis perbedaan itu penting. Kita ada karena kita berbeda. Tetapi lebih dari itu semua gunakanlah kasih dan toleransi sebagai pemersatu bangsa yang penuh dengan perbedaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar