Senin, 27 Juni 2011

Libya: Antara Intervensi Kemanusiaan dan Global Governance

Robin Riwanda Mandagie

Penstudi Tata Kepemerintahan Global, Centre of Global and Strategic Studies (CSGS), Departemen Hubungan Internasional- Universitas Airlangga

Bad news is good news- Slogan ini menjadi sebuah realitas yang tidak dapat dihindari ketika media “mengeksploitasi” berita mengenai pergolakan yang terjadi di Mesir yang menuntut Mubarak untuk mundur dari kepemimpinannya. Bukan saja menjadi goodnews bagi media karena mendapat bahan headlines, tetapi juga bagi negara-negara lain dimana opresi dilakukan oleh kepala negara terhadap rakyatnya. Semangat emansipatoris, atau semangat pembebasan layaknya bagai sebuah domino sebagaimana diungkapkan pertama kali oleh presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 1954, Dwight Eisenhower, terjadi pada negara-negara diujung utara Afrika, mulai dari Maroko sampai Yaman, dan tidak terkecuali Libya. Yaitu penuntutan mundur terhadap Kolonel Muamar Gaddafi. Persoalan vertikal domestik antara pemimpin Libya dengan rakyatnya dengan sekejap menjadi persoalan global ketika AS dengan sekutunya membombardir Libya sejak 19 Maret 2011. Alasan utama AS dalam melakukan manuver militer adalah sederhana, oleh karena permintaan Liga Arab untuk memberlakukan no-flight zone di Libya pada 12 Maret 2011.

Dilema Intervensi Kemanusiaan

Pembenaran dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan berbagai negara anggota sekutu lainnya dalam membombardir Libya mungkin terkesan klise, yaitu intervensi kemanusiaan oleh karena beberapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dilkukan oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Tetapi latar belakang penyerangan pasukan sekutu ini di-backing oleh justifikasi yang kuat, yaitu resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada tahun 1973 untuk mencegah “ulah” Gaddafi lebih lanjut terhadap masyarakat di Benghazi. Frase “Take all necessary measures to protect civilian” ternyata diartikan secara literal oleh Amerika Serikat dan sekutunya ketika protes terjadi secara masal yang juga tidak lepas peran media dalam menyebarkan “virus protes” terhadap pemerintah pada negara-negara di sekitar kawasan Timur Tengah. J.L Hozgrefe (2003) dalam tulisannya “Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas” mengatakan bahwa intervensi kemanusiaan adalah tindakan yang melegalkan penggunaan senjata dan kekerasan militer untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah, bahkan melegalkan menyerang suatu Negara tertentu tanpa melihat prinsip-prinsip kedaulatan.

Disinilah poin penting dari dilema intervensi kemanusiaan, selain alasan-alasan mulia untuk melindungi warga sipil libya, tidak-mungkin-tidak AS tidak memiliki “udang dibalik batu”, yang tentunya tidak segampang itu AS dan sekutunya mau untuk mengeluarkan biaya operasi militer yang pastinya sangat mahal. Selain itu “maksud mulia” AS dan sekutunya untuk melindungi warga sipil Libya, justru dalam beberapa operasi militer terhitung sejak 19 Maret lalu, sudah puluhan, dan bahkan hamper mencapai ratusan korban warga sipil yang seharusnya mereka lindungi dari Gaddafi. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi kemanusiaan tidak hanya berbau politis, tetapi juga mengancam konsep kedaulatan negara-bangsa. Ditambah dengan era globalisasi, intervensi kemanusiaan menunjukkan konsep kedaulatan negara-bangsa sudah usang, digantikan oleh kedaulatan PBB, menuju suatu konsep global governance, atau suatu konsep tata kepemerintahan secara global.

Libya dan Global Governance: Sebuah Pintu Masuk dalam Menyadarkan Masyarakat Dunia

Sejak konsep tata kepemerintahan global atau global governance ini menjadi sesuatu yang booming ketika Preisden AS Woodrow Willson mengutarakan “The Fourteen Points”, yang merupakan cikal bakal dari pembentukan lembaga global governance terbesar saat ini, PBB, tidak sedikit yang bersikap pesimis akan efektifnya lembaga global governance, bahkan Dean Acheson, mantan menteri luar negeri AS mengatakan bahwa akan sangat idiot jika seseorang percaya pada efektifitas PBB (Carneiro, 2004). Tetapi kasus Libya, dan bahkan kasus-kasus intervensi kemanusiaan sebelum Libya menunjukkan bahwa era globalisasi membuat kepentingan dan persoalan domestik suatu Negara, menjadi suatu persoalan global, dan kasus Mesir yang kemudian berdampak pada Libya menunjukkan pada kita betapa senakin renta-nya konsep kedaulatan negara-bangsa, dan satu-satunya solusi yang dapat dipikirkan oleh Liga Arab dan kemudian diteruskan kepada DK-PBB adalah menerapkan konsep global governance dalam topeng intervensi kemanusiaan. Atas alasan apa? Tentu alasan utama mereka adalah stabilitas tatanan politik regional di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Tetapi tetap segala sesuatunya kembali kepada anda semua, para pembaca yang budiman. Apakah anda tetap percaya pada konsep tradisional-klasik tentang kedaulatan negara? Atau kasus Libya ini merupakan bukti bahwa dalam era globalisasi, sebuah tata kepemerintahan global sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas global? Silahkan memilih.


Referensi:

Holzgrefe. J.L.(2003). "The Humanitarian Intervention Debate." Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemnas. Ed. J.L. Holzgrefe and Robert O. Keohane. Cambridge: Cambridge University Press.

Carneiro, Robert L. (2004). "Political Unification of The World: Whether, When, and How-- Some Speculations". Cross-Cultural Research. Sage Publications

Tidak ada komentar:

Posting Komentar