Jumat, 30 September 2011

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban: Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Garis-Gagal dan Benturan Peradaban

Reaksi Solidaritas Negara-Negara Arab Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Palestina

Perjuangan kemerdekaan Palestina yang begitu rumit akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan media, dan menjadi wacana yang menarik di kalangan penstudi Hubungan Internasional khususnya. Terutama ketika wacana ini masuk dalam PBB dan mendapat dukungan penuh dari negara-negara yang sebelumnya ragu, status-quo, dan bahkan tidak mendukung sama sekali Palestina menjadi salah satu anggota PBB yang memiliki hak suara secara penuh.

Babak Baru dan Fenomena Baru

Seperti yang dituliskan oleh A. Safril Mubah dalam Opini-nya di Jawa Pos tanggal 22 September 2011, perjalanan yang dilalui Palestina bukanlah hal yang mudah, berliku, dan justru cenderung terjal. Sejak terbunuhnya Yitzhak Rabin pada 4 November 1995, penulis sempat skeptis terhadap beberapa solusi dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Tetapi pada wacana Palestina dalam PBB kali ini berbeda. Dengan usaha untuk menembus PBB, kali ini dukungan terhadap upaya Palestina kian menguat. Mesir dan Turki yang enggan dalam mendukung kemerdekaan Palestina, kini menyatakan dukungan secara penuh pada Palestina. Solidaritas dari negara-negara Arab tidak pernah sekuat ini sehingga menyebabkan Israel dan Amerika Serikat (AS) terjepit dalam kontestasi politik global. Hal inilah yang mengingatkan penulis akan salah satu futurologis yang banyak dipuja tetapi banyak juga dicela oleh karena teori kontroversialnya, yaitu Samuel P. Huntington yang pernah meramalkan akan adanya “clash of civilization” yaitu benturan peradaban, dalam hal ini sebagaimana yang diramalkan oleh Huntington, ialah Arab versus Barat, tetapi dalam kasus ini penulis melihat bahwa term Arab versus Yahudi-Israel (dan pendukungnya- AS).

Garis Gagal Peradaban

Dalam menjelaskan konstelasi politik pada ramalan akan clash of civilization, Huntington menyampaikan suatu hal penting yang menjadi indikator akan clash tersebut yaitu fault-line atau garis gagal imajiner antar peradaban. Bagaimana kita dapat mengetahui garis gagal imajiner tersebut? Hal ini terlihat dari bagaimana reaksi negara-negara Arab, apakah mementingkan pilihan-pilihan rasional secara politis, atau kinship feeling antar sesama anggota Arab? Yang belum tentu memiliki keuntungan-keuntungan politis dan strategis didalamnya. Memang dukungan Mesir yang menjadi semakin tegas tidak lepas dari kondisi politik domestik setelah transisi rezim dari Husni Mubarak ke Omar Sulaiman. Tetapi secara sosiologis kinship feeling yang ada berkembang, apalagi kinship itu sebagai kepentingan politik dapat diakomodasi oleh rezim yang ada. Selain itu kinship terhadap Palestina semakin berkembang. Bukan saja antara Arab versus Israel, tetapi Islam versus Yahudi- Israel dan AS sebagai sekutunya. Hal ini terlihat dalam bagaimana semua negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam mendukung kemerdekaan dan pengakuan hak penuh Palestina di PBB.

Posisi Strategis Palestina

Entah perjuangan Palestina kali ini berhasil atau tidak, gelombang revolusi di negara-negara Arab menjadi trigger penting dalam menyulut kinship feeling di negara-negara Arab agar menjadi semakin solid dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Tentu saja hal ini membawa Palestina pada suatu babak dimana posisi tawar yang dimiliki oleh Palestina adalah suatu hal yang baru dan lebih kuat daripada sebelumnya. Jika negara-negara Arab pada akhirnya lebih memilih kinship feeling daripada kepentingan-kepentingan nasional dan pilihan-pilihan rasional yang menyebabkan dukungan terhadap Palestina bagai “tarik-ulur”, maka tidak diragukan lagi bahwasannya garis-gagal imajiner yang dibayangkan oleh Huntington benar adanya. Jika demikian, maka seharusnya hal ini dapat menjadi batu loncatan strategis yang sangat baik bagi Palestina yang telah sekian lama mengupayakan kemerdekaan dan hanya mendapatkan kekecewaan. Tetapi sekali lagi hal ini masih berupa wacana, penulis lebih senang melabelinya sebagai wacana posisi strategis Palestina, mengingat potensi apa yang akan terjadi pada Palestina di PBB dapat berupa opsi yang sangat luas dan tidak segampang itu diprediksikan.

Palestina nampaknya cukup cerdik dalam melihat fenomena ini, proposal agar Palestina dapat diterima sebagai anggota yang memiliki hak suara secara penuh, dan menyadari besar dukungan yang ada merupakan langkah awal Palestina menuju kemerdekaan. Ada baiknya mereka yang berkepentingan pada politik domestik palestina, yaitu Fatah dan Hamas meredakan konflik demi pencapaian yang lebih besar, yaitu kemerdekaan Palestina secara penuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar