Jumat, 03 Desember 2010

Diskursus Pembentukan Global Government

Wacana Pembentukan Global Government

Robin Riwanda Mandagie



Diskursus mengenai global government bukanlah suatu hal yang baru dalam discourse realm Ilmu Hubungan Internasional. Sejak perang dunia ke-2 berakhir diskursus ini menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Sosiologi, dan berbagai macam disiplin ilmu. Tetapi yang perlu diketahui adalah bahwasannya sebelum perang dingin berakhir, wacana-wacana tentang global government masih dalam ranah heuristik, dimana proposal, usulan, dan prediksi memenuhi ranah tersebut. Albert Einstein, seorang scholar dalam ilmu pasti mengatakan “Do i fear the tyranny of a world government? Of course i do. But i fear still more the coming of another war” (dikutip dalam Ferris, 1983, p.40).



Sebuah Persoalan Kemanan Global

Pernyataan Einstein ini adalah pernyataan yang wajar dalam era post-war pada saat itu mengingat kehancuran luar biasa di berbagai belahan dunia akibat dua perang dunia sebelumnya. Bahkan dengan mengetahui potensi perang yang akan lebih hebat lagi (perang nuklir), Einstein mengungkapkan kekhawatiranya dalam kalimat yang diucapkannya tersebut. Pengandai-andaian tentang sebuah pemerintahan global yang dapat mencegah terjadinya perang terbuka yang berpotensi terjadi dalam perang dingin tidak hanya dilakukan oleh Einstein. Luis Cabrera (2010) dalam tulisannya “World Government: Renewed Debate, Persitent Challenges” mengatakan bahwa tidak sedikit scholar seperti Mauricio Nabuco, Clark M. Eichelberger, Roger N. Baldwin, dan lain sebagainya yang mengkhawatirkan greater perils dalam era perang dingin.

Setelah perang dingin berakhir dengan cara damai (maksudnya tidak jadi perang nuklir) yang mana pada era sebelum tahun 1970an tidak ada yang berani dengan tegas mempredikis hal ini, keadaan yang ada berubah. Wacana tentang pembentukkan global government tidak lagi dibentuk oleh karena ketakutan mengenai kehancuran oleh karena perang nuklir. Sejak berakhirnya perang dingin pada awal deakde 1990an, yang terjadi justru ketidakteraturan struktur dalam politik internasional. Ketidakteraturan ini ditandai dengan banyaknya perdebatan antar scholar Hubungan Internasional tentang bagaimana "rupa" dari struktur internasional dalam era post-coldwar ini. Jika dalam era coldwar manuver politik suatu negara bangsa dapat diukur dengan menarik "benang merah" pada negara patronnya (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka pada era post-coldwar manuver politik dari setiap negara-bangsa menjadi intangible dan hampir tidak dapat diukur sama sekali. Perdebatan yang mendapat perhatian besar pada era awal post-coldwar ini adalah perdebatan antara Alexander Wendt dan Kenneth Waltz, dimana Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics mengkritik "struktur internasional" yang disampaikan oleh Waltz (1979) dalam tulisannya Theory of International Politics. Masuknya argumen konstruktivisme sosial dalam Hubungan Internasional yang dipoinir oleh Wendt ini membawa harapan baru bagi para pemimpi global government. Harapan itu adalah bahwa struktur yang ada dapat di resturuksasi tergantung bagaimana para elit secara global dan kolektif menyadari seberapa penting restrukturisasi struktur internasional harus dilakukan.

Tetapi diluar perdebatan antara Wendt dan Waltz, Hedley Bull (1977) memprediksikan bahwa akhir dari coldwar tidak akan lead pada restrukturisasi struktur sebagaimana yang disampaikan oleh Alexander Wendt, tetapi akan menuju sruktur anarki yang tak terelakkan. Hedley Bull menyebut kondisi ini sebagai "Neomedievalisme", sebuah keadaan dimana negara-bangsa dalam sistem negara-bangsa moderen ini menjadi obselete, dalam arti negara bangsa akan kehilangan sovereignty, akuntabilitas, dan perannya sebagai pemegang kekuasaan otoritatif tertinggi dalam struktur internasional. Statement Bull ini didukung oleh Mark R. Duffield (2001) dalam tulisannya "Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security", Senada dengan Bull, Duffield melihat apa yang dilihat oleh Bull yaitu struktur atau sistem keamanan nasional yang bertumpukan, ambigu, dan overlapping antara pemerintah (negara) dengan otoritas-otoritas lokal yang banyak didominasi warlords, pemberontak, mafia, gangster, triad, dll. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara weak atau failed saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju sekalipun. Hal ini bagi Duffield menyebabkan semakin blurry-nya peran nation-states atau negara bangsa sebagai patron dan pemegang kontrak sosial dari warga-negaranya. Tidak sedikit warga negara pada negara tertentu yang membayar pajak pada negara, tetapi juga masih membayar protection money dari otoritas-otoritas lokal yang ada di daerahnya. Menurut Duffield fenomena ini terjadi akibat dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi membuka banyak ruang agar demokrasi, liberalisme, dan rasa-kemanusiaan untuk semakin berkembang dalam pikiran masyarakat, demikian juga para optimis global dan kaum developmentalis. Tetapi dalam berbagai sirkumstansi hal ini justru menjadi blunder bagi optimisme dari kaum optimis itu sendiri. Dengan semakin tertanamnya demokrasi dan liberalisme, maka negara-negara yang dulunya otoritarian dituntut untuk mengurangi "represinya" demi kelancaran demokrasi. Kesempatan seperti inilah yang banyak digunakan oleh sentral-sentral power tertentu untuk bangkit dan going rogue secara massal. Bukan saja bekerja secara lokal pada region tersendiri, tetapi seiring bertambah kuatnya poros-poros kekuatan non-negara ini membuat peran negara sebagai penjaga law & order semakin pudar. Hal inilah yang dimaksudkan Duffield dan Bull sebagai neo-medievalisme, dimana sistem keamanan internasional secara global sedang memasuki dark-age yang baru. Bukan saja bertambah kuat dan membuat peran negara semakin kabur, poros-poros kekuatan non-negara ini juga membangun aliansi dengan poros-poros kekuatan di negara lain secara transnasional. Contoh dapat dilihat pada organisasi-organisasi terorisme dan kriminal seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, Sindikat Triad, dll. Sehingga peran negara sebagai kontraktor sosial yang menyediakan perlindungan bagi warga negaranya menjadi tidak lagi relevan. Perlindungan-perlindungan cenderung bersifat privat, dan disediakan oleh aktor-aktor yang secara legalitas tidak memiliki legitimasi layaknya sebuah negara.





Global Government Melalui Apa?

Meskipun tidak pernah secara langsung mengkonfirmasi tentang adanya terminologi neo-medievalisme, Amitai Etzioni mengkonfirmasi dan sekaligus mengkhawatirkan tentang kondisi struktural yang sebagaimana dideskripsikan oleh Hedley Bull dan Mark R. Duffield. Etzioni beranggapan bahwa ancaman-ancaman postmodern seperti gerakan transnational non-state authorities seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Golden Crescent, Golden Triangle, Sindikat Mafia, dan Sindikat Triad, tidak akan dapat diatasi oleh negara-bangsa sebagai otoritas tertinggi dalam struktur saat ini. Maka itu menurut Etzioni diperlukannya suatu bentuk dari supranasionalisme, dengan kata lain global government yang dipimpin oleh sebuah hegemon. Etzioni melihat bahwasannya global war on terror yang dipimpin oleh Amerika Serikat membuat Amerika Serikat sangat berpotensi untuk menjadi sebuah pemimpin dalam sebuah global government (Amitai Etzioni, 2004). Begitu juga dengan Michael Mandelbaum yang mengatkan bahwa Amerika Serikat telah melakukan peran secara global yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah global government, yang tertinggal hanyalah legitimasi dari negara-bangsa lainnya kepada Amerika Serikat sebagai global government.

Jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Mandelbaum dan Etzioni, Strobe Talbott justru melihat kepemimpinan dan manuver unilateralisme Amerika Serikat justru menjadi stumbling block bagi terbentukknya integrasi global yang akan menuju pada global government. Talbott justru melihat bahwa unilateralisme Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. akan menimbulkan resistensi dari berbagai macam pihak, bahkan beberapa negara bangsa tidak akan segan untuk menyatakana ketidaksenangannya dengan unilateralisme Amerika Serikat, terutama dari dunia Muslim. (Talbott, 2008). Pada tulisan Talbott yang sebelumnya "The Birth of Global Nation" Talbott mengatakan:

"The best mechanism for democracy, whether at the level of the multinational state or that of the planet as a whole, is not an all powerful Leviathan or centralized superstate, but a federation, a union of separate states that allocate certain powers to a central government while retaining many others from themselves" (Talbott, 1993: 71)



Talbott dalam hal ini dengan jelas menolak existensi global government yang berlandaskan supranasionalisme hegemonial. Talbott lebih menghendaki global government yang berlandaskan konsensus secara global. Bagi Talbott, Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations (PBB/UN) adalah sebuah langkah yang ideal bagi terbentukknya global government.

Herbert George Wells memiliki pandangan yang berbeda dengan Talbott. Pada tulisan John S. Partington yang mengutip Wells, Wells mengatakan bahwa terbentukknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan PBB tidak akan membuat global government terbentuk oleh karena tidak akan efektif dalam menghilangkan unsur sovereignty pada setiap nation-states yang ada (dikutip dalam Partington, 2003: 237). Wells melihat bahwa integrasi Eropa akan lebih kuat sebagai dasar global government daripada PBB. Hal ini di endorse oleh Partington (2003) bahwa European Union (EU) telah mengkonfirmasi prediksi Wells, dan Partington melihat bahwa EU akan menjadi patron yang baik dalam pembentukkan global government yang berlandaskan federalisme daripada leviathan atau negara kuat yang koersif. Mungkin banyak scholar Hubungan Internasional (khususnya realis) yang akan melihat fenomena diskursus global government secara skeptis oleh karena sovereignty bagi negara-bangsa adalah hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi baik Partington maupun Wells sependapat bahwa economic interdepence yang nantinya akan lead pada economic integration akan menjadi faktor utama yang dapat membuat soverignty menjadi obsolete. Maka dari itu baik Partington maupun Wells tidak hesitate untuk memprediksi dan mencotohkan bahwa EU adalah patron dan contoh yang baik dalam mengeliminasi konsep sovereignty dalam negara. Maka dari itu tidak akan mengherankan jika integrasi regional yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya semakin marak terjadi terutama setelah coldwar berakhir. Yang patut menjadi pertanyaan renungan adalah adalah apakah intensifikasi integrasi regional yang marak terjadi (terutama oleh karena economic interdependence) berpotensi melenyapkan konsep sovereignty dan membentuk global government setelahnya? Tentu diperlukan penelitan yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini.



Referensi:

Cabrera, Luis. (2010). "Review Article: World Government: Renewed Debate, Persistent Challanges". European Journals of International Relations. Sage Publications

Bull, Hedley. (1977). The Anarchical Society: Study of Order in World Politics. Columbia University Press.

Duffield, Mark R. (2001). Global Governance and The New War: The Merging of Developement & Security. "Non Liberal Political Complex & The New Wars". Zed Books

Etzioni, Amitai. (2004). From Empire to Community: A New Approach to International Relations. Palgrave Macmillan. New York.

Ferris, T. (1983). "The Other Einstein". Science 83, 4(8), 34-40.

Mandelbaum, Michael. (2005). The Case for Goliath: How America Acts As the World's Government in the Twenty First Century. Public Affairs. New York.

Partington, John S. (2003). "H.G. Wells and The World State: A Liberal Cosmopolitan in Totalitarian Age". International Relations. Sage Publication.

Talbott, Strobe. (1992). "The Birth of Global Nation". Time, 20 Juli

Talbott, Strobe. (2008). The Great Experiment: The Story of Ancient Empires, Modern States, and the Quest for a Global Nation. Simon and Schuster. New York.

Waltz, Kenneth. (1979). Theory of International Politcs. McGraw Hill. New York.

Wendt, Alexander. (1992). "Anarchy is What States Makes of It: The Social Construction of Power Politics". International Organization. vol.46

Revolusi Teknologi dan Perang: Masuknya Era Perang Virtual

Review Artikel "Virtual War" dalam Virtual War: Kosovo and Beyond oleh Michael Ignatieff

Robin Riwanda Mandagie,



Masuknya gelombang revolusi dan teknologi pada sistem militer membawa suatu perubahan yang besar pada sistem militer itu sendiri. Perubahan yang besar dan sistemik ini menjadi kontroversial karena struktur militer yang sudah "pakem" menjadi serba efisien, presisi tinggi, dan efektif, yang mana membuat resorce untuk militer yang dulu membutuhkan banyak sekali sumber daya, dengan adanya revolusi teknologi, baik sumber daya, waktu, dan strategi menjadi lebih sederhana dan efektif. Michael Ignatieff mengambil suatu contoh kasus revolusi teknologi yang terjadi di sistem militer Amerika Serikat, yaitu Revolution in Military Affairs (RMA). Review ini akan membahas bagaimana militer Amerika Serikat sebagai founder dari revolusi militer, menghadapi shifting structure dalam lembaga militernya, dan serta membahas bagaimana revolusi teknolgi yang terjadi di militer Amerika Serikat membawa dunia pada "sistem perang" yang baru, yaitu perang virtual.

Kebutuhan manusia untuk segala sesuatu yang simple, efisien, dan efektif telah membawa masyarakat dunia pada era revoulsi informasi dan teknologi yang sedang berlangsung pada saat ini. Compression dalam segala aspek-pun mulai di-invent oleh para scientists, dan militer termasuk dalam aspek yang terkena dampak revolusi teknologi dan informasi. Keinginan untuk efisiensi sumber daya dan meningkatkan efektifitas dalam berperang memang diinginkan oleh semua negara, akan tetapi Amerika Serikat-lah yang pertamakali mengimplementasikan cara-cara bagaimana untuk membuat peperangan menjadi efisien dan efektif. Michale Ignatieff mencontohkan dalam artikelnya ketika Amerika Serikat menghancurkan jembatan Thanwa di Vietnam pada tahun 1972. Saat inilah ditemukannya Peluru Kendali (Rudal). Rudal ini ditembakkan dari pesawat yang mana rudal ini dikendalikan oleh seorang teknisi dari jarak jauh dengan kamera yang ditempelkan pada ujung rudal. Virtualisasi untuk menentukan target semacam ini bagi Ignatieff menjadi turning point dari classical engagement ke era perang virtual dengan precision weaponry. Presisi dan efisiensi pertempuran pada jembatan Thanwa membawa Amerika Serikat untuk lebih semangat dalam mengembangkan teknologi presisi dan efisiensi. Hal ini terlihat hanya dalam beberapa dekade Amerika Serikat telah mengembangkan beberapa peralatan tempur canggih yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebut saja cruise missile, unmaned drone, E-8 Joint Stars, dan lain sebagainya, adalah inovasi terbaru dalam militer Amerika Serikat. Prajurit tidak lagi bertarung dalam battlefiled, tetapi untuk meminimalisir korban dalam pihak sendiri dan pihak musuh (menghindari "pembunuhan yang tak perlu"), peperangan dilakukan melalui kamera, dan dengan teknologi presisi tinggi. Sehingga perang yang dahulunya "fakta" bagi para prajurit Amerika Serikat, dengan adanya revolusi teknologi dan RMA, perang menjadi "virtual" bagi prajurit dan segenap elemen militer Amerika Serikat.

Revolusi teknologi dalam militer Amerika Serikat secara integral tidak hanya terjadi pada peralatan perang saja, tetapi juga berdampak pada strategi militer Amerika Serikat. Kontroversi terjadi dalam hal ini, dimana dengan adanya RMA, berarti pengempisan bagi banyak divisi militer. Bilamana prajurit diperlukan ketika misil yang dilengkapi dengan rudal yang ditembakkan dari kejauhan ribuan mil dapat melululantahkan satu sasaran? Tentu saja pengempisan, karena hal itu berarti efisiensi. Demikian pula dengan pola penyerangan. Jika dulu Amerika Serikat sangat Clausewitzean dengan menerapkan "total war" (menyerang tepat pada musuh dan meluluhlantakan aspek militer musuh) dalam menghancurkan musuh, kini wacana tentang pergantian straegi yang lebih efisien mulai marak dibicarakan dikalangan pejabat Pentagon. Bagi Ignatieff virtual war tidak akan lengkap jika hanya diimplementasikan dengan shift dari pertempuran tradisional (battlefield battle) ke pertempuran virtual melalui kamera. Satu lagi elemen penting dari perang virtual adalah dengan mengacaukan informasi lawan, yakni bagaimana virtualisasi lawan menjadi target utama dalam suatu pertempuran. Ignatieff mengatakan bahwa strategi postmodern merupakan salah satu strategi utama dalam perang virtual, yang berarti memprioritaskan penyerangan pada nerve center musuh daripada ke musuh itu sendiri. Virtualisasi peperangan tidak hanya dimiliki Amerika Serikat (meskipun inisiatif pertama adalah Amerika Serikat). Maka dari itu strategi utama menyerang nerve center dari musuh membuat re-kreasi dari fog of war yang hilang akibat virtualisasi musuh. Dalam perang virtual misi utama adalah membuat musuh menjadi buta dengan menyerang nerve center seperti menebar virus ke sistem komputer lawan, menghancurkan sistem komunikasi, dan sistem pembangkit listrik. Tanpa sarana berikut fog of war dapat dikreasikan kembali pada lawan.

Dengan maraknya virtualisasi dalam peperangan sebagaimana diutarakan oleh Ignatieff, maka akan lebih mudah bagi publik untuk mengetahui dan bahkan berpartisipasi dalam perang. Sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ignatieff bagaimana strategi postmodern itu bermain jika penyerangan terjadi pada nerve center dan disebarkan oleh media sehingga menciptakan suatu teror tertentu pada lawan. Pelibatan media disini menggeser konsepsi perang yang dahulu adalah generals-elit centric, kini mencapai irisan dengan public, jadi dapat disebut juga trinitas generals-elit-public centric dalam perang virtual, yang banyak melibatkan ranah kognitif dari publik. David S. Alberts dalam tulisannya Understanding Information Age Warfare membuat tipologi kerangka berpikir peran publik dalam perang virtual, dan membaginya dalam tiga domain, yaitu domain fisik, informasi, dan kognitif yang ketiganya saling berdampak satu dengan yang lainnya. [1]




Domain fisik disni berarti bagaimana realitas sesungguhnya yang terjadi di battlefield dimana strategi postmodern (penyerangan terhadap nerve system) dialkukan. Kemudian domain informasi adalah bagaimana media mem-virtualisasikan kondisi yang ada pada domain fisik. Disini (biasanya) strategi perang virtual dibentuk dengan visualisasi dari domain fisik yang dikemas sedemikan rupa yang akhirnya dapat berpengaruh pada domain kognitif dari persepsi orang yang menyaksikan virtualized reality yang disampakan oleh domain informasi.

Tulisan Ignatieff (hal 197 - no.7 ttg The Legal War) secara jelas mengkonfirmasi pernyataan David Alberts bahwa sangat penting untuk memasukkan taktik bagaimana merebut public acceptance dalam strategi postmodern didalam perang virtual. Bagaimana mengemasnya, sehingga merebut apresiasi publik dan membuat suatu perang virtual menjadi perang virtual yang legal.

Yang menjadi pelajaran adalah bagaimana memanfaatkan pengetahuan tentang virtual sehingga strategi untuk menggunakan atau menghadapi perang virtual ini dapat diglobalisasikan. Tidak dapat dinafikan memang perang virtual memang nyata, benar-benar nyata atau paling tidak secara virtual memang nyata adanya. Sejauh virtualisasi itulah yang dibawa oleh revolusi teknologi terhadap nature perang. Dengan melibatkan publik, maka strategi perang dalam perang virtual hampir secara kompatibel dapat digunakan secara global. Yang menjadi pertanyaan untuk direnungkan lebih lanjut, dengan kompatibilitas yang memungkinkan, dapatkah Indonesia menggunakan strategi perang virtual dengan Malaysia jika traditional war engagement tidak mungkin dilakukan? Ingat, perang vitual bukanlah tentang peralatan canggih seperti unmanned drone milik Amerika Serikat, memang itu salah satu alat perang virtual, tetapi seperti yang dikatakan oleh Ignatieff, bahwa perang virtual adalah peperangan yang dilakukan di dipean kamera, monitor, dan diarahkan langsung pada will to fight dari lawan. Sangat mugkin dilakukan Indonesia, tetapi bagaimana metode dan caranya, tentu mebutuhkan penelitan yang advanced dalam hal ini.





Referensi

Ignatieff, Michael. (2000). "Virtual War". Virtual War: Kosovo and Beyond. New York: Picador

Alberts, David S., [et al.]. (2001). Understanding Information Age Warfare. CCRP Publications

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Penjajahan Struktural Moderen: Neo-Feudalisme Informasi, Privatisasi, dan Hak Cipta

Review "Introduction" dalam Information Feudalism: Who Owns the Knowledge Economy. Oleh Peter Drahos & John Braithwaite

Robin Riwanda Mandagie



Dalam tulisannya "The Knowledge Economy” dalam Intellectual Capital, Thomas A. Stewart (1997) menjelaskan bagaimana informasi dapat menjadi substansi yang esensial dalam suatu komoditas, sehingga suatu komoditas tersebut dapat memiliki nilai yang dapat ditentukan oleh pemegang paten secara tidak terbatas. Kemampuan untuk mendeterminasi nilai ini bahkan dapat mentranformasi informasi menjadi suatu komoditas tersendiri, nilai dari hasil determinasi sang pemilik paten hanya mendapat check and balances dari konstelasi permintaan terhadap informasi yang dimiliki secara eksklusif oleh sang pemilik paten. Hal inilah yang secara spesifik dikhawatirkan oleh Drahos dan Braithwaite (2002) dalam tulisan yang kali ini di-re(interpretasi)view oleh penulis. Drahos dan Braithwaite mengkhawatirkan akan bagaimana hak eksklusif terhadap determinasi nilai oleh sang pemilik paten dan hak cipta yang tidak terbatas ini dapat menimbulkan suatu bentuk baru dari feudalisme di jaman medieval.

Drahos dan Braithwaite memulai tulisannya dengan redikotomi antara feudalisme medieval dan feudalisme informasi (neo-feudalisme). Feudalisme medieval adalah keadaan dimana petani, pemilik tanah, dan pekerja kasar menyerahkan kebebasan dan tanah-tanah yang mereka miliki untuk diserahkan pada tuan-tuan tanah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dari subyek submitance. Dengan demikian segala sesuatu yang mereka lakukan di tanah (yang dulu mereka punyai) sang tuan tanah (feudal), adalah hak dari sang pemilik tanah. Segala bentuk resources yang dulu common goods menjadi pirvate goods pada feudalisme medieval ini. Keadaan seperti ini tentu tidak berbeda jauh dengan bagaimana adanya hak cipta dan paten mengubah sources dari common goods menjadi private goods. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi, dalam berbagai macam manifestasinya seperti metode, teori, komoditas, ataupun pengetahuan (semata) berada pada hak privat dimana penggunaan terhadapnya, akan sama seperti penggunaan terhadap segala sesuatu yang ada diatas tanah sang pemilik tanah dalam era medieval. Hal inilah yang bagi Drahos dan Braithwatie dikhawatirkan akan menjadi suatu bentuk eksploitasi korporat tersendiri yang dapat menimbulkan inequalitas dalam masyarakat informasi. Penulis lebih suka dengan label: penjajahan struktural moderen.

Lantas bagaimana dengan tulisan-tulisan akademisi dalam jurnal ilmiah, atau novel-novel dan cerpen karangan seseorang? Jika hak rekognisi terhadap karya cipta seseorang dapat hak eksklusif apakah hal ini tetap dapat dikatakan sebagai sebuah eksploitasi atau penjajahan struktural yang moderen? Tentu tidak. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa adalah sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa Intellectual property rights berbahaya dalam level individual. Tapi lebih dari berbahaya jika diaplikasikan dalam level global dengan manifestasi dan eksekusi power dari hak cipta tersebut dalam tangan sebuah korporat mutlinasional. Drahos dan Braithwaite mengkonfirmasi pernyataan penulis "penjajahan struktural moderen" dengan contoh bagaimana Afrika Selatan pada masa pemerintahan Nelson Mandela mengalami penjajahan struktural moderen oleh karena hak paten dan hak cipta.

Drahos dan Braithwaite menyebutkan bahwa secara umum Afrika Selatan diketahui sebagai suatu negara yang memiliki angka penyakit HIV AIDS yang tinggi. Tentu tidak diragukan pula berapa orang yang sudah meninggal akibat terjangkit oleh HIV AIDS di Afrika. Dengan keadaan yang demikian, pada tanggal 12 Desember 1997 Presiden Mandela menanda tangani undang-undang dalam penyediaan obat paten dengan yang murah dengan cara mengimpor obat paten dari pasar termurah dengan biaya yang minim dalam hak cipta terhadap obat-obat paten tersebut. Hal ini mengundang kemarahan dari korporat-korporat yang memiliki hak paten terhadap Mandela dan menuntut Mandela dalam persidangan di Pretoria, Afrika Selatan.

Kasus Afirka Selatan dalam masa pemerintahan Mandela adalah salah satu contoh bagaimana kedaulatan negara sekalipun menjadi terdistorsi dengan adanya hak paten dan cipta. Salah satu rezim global yang menjadi alat untuk mengkokohkan peran hak paten dan cipta untuk terus melakukan eksploitasi dan feudalisme struktural adalah "Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights" (TRIPS), yang menjadi salah satu rezim hak cipta intelektual dalam wadah "World Trade Organization" (WTO). Inequalitas sangat terlihat pada rezim TRIPS. Drahos dan Braithwaite menuliskan bahwa yang banyak diuntungkan dari TRIPS bukanlah negara-negara berkembang yang memegang kemampuan-kemampuan inovasi. Meskipun ada usaha-usaha untuk melakukan inovasi, negara-negara berkembang ini akan berhadapan dengan barriers hak-hak cipta dan paten untuk melakukan riset. Perlu diketahui bahwasannya metode-metode penelitian secara umum dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara-negara berkembang pada keadaan terjebak dalam eksploitasi oleh negara-negara maju yang memegang hak paten pada informasi-informasi penting untuk melakukan kemajuan. Drahos dan Braithwaite juga menyebutkan bahwa negara-negara yang paling diuntungkan oleh TRIPS adalah Amerika Serikat dan negara-negara major pada "European Union" (EU). Hal ini menunjukkan betapa feudalisme informasi pada masa ini lebih "kejam" daripada feudalisme lahan era medieval. Dampak eksploitatif lebih masif karena scope feudalisme ini terjadi antar negara-bangsa, dalam kata lain kontur eksploitasi-nya bersifat global, dengan "indoktrinasi" mindset pada TRIPS, sehingga ketika TRIPS secara faktual mengekspoitasi, obyek hegemoni (negara berkembang dan masyarakatnya) beranggapan bahwa TRIPS justru melindungi beberapa hak intelekutalitas mereka.

Kepenguasaan terhadap aset. Aspek inilah yang bergeser dari feudalisme lahan pada feudalisme informasi. Kepenguasaan aset-aset yang intagible ini telah merubah paradigma public goods secara keseluruhan. Asumsi mengenai public goods sebagaimana dikatakn oleh Drahos dan Braithwaite adalah seperti ini "Barang (atau sesuatu) yang boleh dikategorikan privat adalah sesuatu yang akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara massal sedangkan yang boleh dikategorikan milik umum adalah yang tidak akan mengalami depresiasi ketika digunakan secara masal". Lantas apakah hak paten dan cipta harus dihapuskan? Tentu saja tidak sampai se-ekstrim itu. Penulis lebih pada pembatasan terhadap penggunaan hak paten dan cipta, yang teknisnya dapat di riset dan dibicarakan lebih lanjut dan sustainable.

Referensi:

Drahos, Peter & John Braithwaite. (2002). "Introduction". Who Owns Knowledge Economy?. Earthscan Publication: London

Stewart, Thomas A. (1997). “The Knowledge Economy”.dalam Intellectual Capital. Currency Book: New York